TIMES JAKARTA, JAKARTA – Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di era globalisasi ibarat laju kapal yang semakin cepat di tengah samudera luas. Kecerdasan buatan, otomasi, dan bioteknologi mendorong efisiensi yang luar biasa, tetapi juga menghadirkan arus deras berupa disrupsi sosial, banjir hoaks, polarisasi opini, hingga alienasi manusia dari nilai kemanusiaannya sendiri.
Dalam kondisi seperti ini, kemajuan Iptek tanpa etika bagaikan kapal tanpa kompas melaju kencang, namun kehilangan arah. Di sinilah Pancasila berperan bukan sebagai rem kemajuan, melainkan sebagai sistem navigasi agar laju teknologi tetap berada pada jalur kemanusiaan.
Dalam praktiknya, banyak inovasi teknologi hari ini dikembangkan dengan orientasi efisiensi teknis dan profit semata. Algoritma dirancang untuk memaksimalkan klik, sistem otomasi untuk menekan biaya tenaga kerja, dan kecerdasan buatan untuk menggantikan pengambilan keputusan manusia.
Sayangnya, aspek moral sering kali tertinggal. Persoalan privasi data, bias algoritma, dan dehumanisasi kerja menjadi konsekuensi yang tidak terelakkan. Pancasila menawarkan kerangka nilai agar kemajuan Iptek tidak tercerabut dari akar etika.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menempatkan Iptek sebagai wujud tanggung jawab manusia kepada Sang Pencipta. Inovasi bukan sekadar kemampuan teknis, melainkan amanah moral.
Teknologi seharusnya digunakan untuk memelihara kehidupan, bukan merusaknya. Perspektif ini menegaskan bahwa setiap riset, desain sistem, dan pengembangan teknologi perlu disertai kesadaran etis, bukan hanya kecanggihan logika.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memperkuat prinsip bahwa manusia harus tetap menjadi pusat dari setiap sistem teknologi. Dalam pendekatan human-centered design, teknologi dirancang untuk mendukung kemampuan manusia, bukan menggantikannya secara membabi buta.
Eksploitasi data pribadi, sistem pengawasan berlebihan, atau algoritma yang bersifat diskriminatif jelas bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Iptek yang beradab adalah Iptek yang menghormati martabat manusia sebagai subjek, bukan objek.
Tantangan berikutnya muncul pada sila Persatuan Indonesia. Di era digital, teknologi informasi sering kali menciptakan filter bubble yang mempersempit cara pandang dan memecah masyarakat ke dalam polarisasi ekstrem.
Alih-alih mempererat persatuan, media sosial justru kerap menjadi ruang konflik identitas. Oleh karena itu, Iptek perlu diarahkan untuk memperkuat integrasi nasional mempermudah konektivitas antarwilayah, memperluas akses pendidikan, serta menjadi sarana dialog, bukan provokasi.
Nilai kerakyatan dalam sila keempat menegaskan pentingnya demokrasi dalam pengelolaan teknologi. Di era big data, kedaulatan teknologi tidak boleh hanya dikuasai segelintir elite atau korporasi global. Kebijakan teknologi harus disusun secara partisipatif, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik. Data rakyat bukan sekadar komoditas, melainkan bagian dari hak warga negara yang harus dilindungi.
Sementara itu, sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengingatkan bahwa kemajuan Iptek tidak boleh memperlebar kesenjangan. Digital divide masih menjadi persoalan nyata, di mana akses teknologi dan literasi digital belum merata. Inovasi sejati adalah inovasi yang mampu menciptakan pemerataan kesejahteraan, bukan hanya efisiensi ekonomi.
Dalam pengembangan teknologi modern, dilema antara efisiensi dan etika menjadi isu yang semakin nyata. Cara pandang sistemik menunjukkan bahwa sebuah sistem tidak hanya tersusun atas mesin dan material, tetapi juga melibatkan manusia serta lingkungan di sekitarnya.
Ketika optimasi hanya berfokus pada kecepatan dan keuntungan, sementara faktor manusia dan dampak sosial diabaikan, teknologi justru berpotensi melahirkan masalah baru. Oleh karena itu, pendekatan industri berkelanjutan dan penerapan teknologi ramah lingkungan menjadi perwujudan konkret nilai Pancasila dalam menjaga keseimbangan antara produktivitas, kesejahteraan sosial, dan kelestarian alam.
Dalam konteks ini, mahasiswa dan Generasi Z memiliki peran sebagai nahkoda masa depan. Bukan sekadar konsumen teknologi, tetapi penjaga kompas nilai. Sikap kritis terhadap produk teknologi, integritas akademik dalam riset, serta keberanian menempatkan etika di atas efisiensi menjadi kunci agar kemajuan Iptek tidak kehilangan arah.
Iptek dan Pancasila bukanlah dua kutub yang saling bertentangan. Iptek memberi kecepatan, sementara Pancasila memberi arah. Dengan menjadikan Pancasila sebagai kompas etika, Indonesia dapat melangkah maju di era globalisasi tanpa kehilangan jati diri tidak hanya sebagai pasar teknologi dunia, tetapi sebagai bangsa yang menghadirkan kemajuan berkarakter dan beradab di panggung global.
***
*) Oleh : Haris Ainur Rofiq, Mahasiswa Teknik Industri, Universitas Sebelas Maret.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |