TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di tengah derasnya arus globalisasi industri, Indonesia berada di persimpangan sejarah baru. Setelah dua dekade terjebak dalam paradoks “negara kaya sumber daya tapi miskin nilai tambah”, kini muncul seruan untuk melangkah lebih jauh dari sekadar Made in Indonesia menuju Create in Indonesia. Sebuah pergeseran paradigma: dari manufaktur berbasis buruh murah menuju ekonomi berbasis ide, riset, dan kreativitas.
Dalam dua dekade terakhir, dunia menyaksikan bagaimana China mengubah wajah industrinya. Setelah sukses dengan Made in China, Beijing berani meluncurkan agenda Create in China 2025 menjadikan inovasi dan teknologi sebagai tulang punggung kemandirian. Kini, negeri Tirai Bambu menguasai 32% pangsa pasar global panel surya, 70% baterai EV dunia, dan hampir separuh produksi kendaraan listrik global (IEA, 2024).
Amerika Serikat tak mau kalah dengan CHIPS and Science Act yang menggelontorkan lebih dari USD 280 miliar untuk membangun kedaulatan riset dan teknologi. Jepang melangkah lebih halus dengan ekonomi kreatif berbasis budaya, sedangkan Korea Selatan menjadikan creative convergence sinergi antara industri teknologi, hiburan, dan riset sebagai motor ekonomi.
Indonesia, di tengah kekayaan biodiversitas dan potensi manusia muda yang melimpah, justru masih berputar di orbit lama: ekspor bahan mentah, impor nilai tambah. Hilirisasi memang mulai berjalan dari nikel hingga bauksit, namun hilirisasi yang sejati bukan sekadar membangun pabrik peleburan, melainkan mencipta ekosistem riset, inovasi, dan desain produk yang melahirkan cita rasa bangsa di pasar global.
Di sinilah peluang besar itu menanti: kebangkitan ekonomi hijau berbasis sumber daya hayati “green gold economy”. Indonesia memiliki lebih dari 40 ribu spesies tanaman obat dan atsiri, namun baru sekitar 200 yang dimanfaatkan industri.
Komoditas seperti nilam, gambir, cengkih, jahe merah, dan minyak kayu putih sejatinya adalah harta tak ternilai. Nilam Indonesia, misalnya, memasok 90% kebutuhan parfum dunia, tetapi 80% diekspor dalam bentuk minyak mentah tanpa merek. Nilai tambah yang hilang mencapai triliunan rupiah setiap tahun.
Begitu pula gambir asal Sumatera Barat yang berpotensi menjadi bahan utama kosmetik alami dan industri farmasi hijau. Bila diolah dengan riset dan branding, nilam dan gambir bukan sekadar produk tani, melainkan green intellectual property yang mampu menciptakan kelas menengah baru di desa. Inilah konsep hilirisasi tahap ketiga: bukan hanya mengolah bahan mentah, tapi juga menciptakan narasi, merek, dan pasar global berbasis keberlanjutan.
Hilirisasi Baru: Dari Pabrik ke Laboratorium
Data Kementerian Perindustrian (2025) menunjukkan, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB masih stagnan di kisaran 18,75%, jauh di bawah ambisi 25% sebagaimana target Making Indonesia 4.0.
Sementara Global Innovation Index 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 61 dunia, tertinggal dari Malaysia (36) dan Vietnam (43). Artinya, akselerasi hilirisasi belum sepenuhnya bertumpu pada riset dan kreativitas.
Diperlukan arah baru: hilirisasi berbasis laboratorium, bukan sekadar smelterisasi. Pemerintah perlu memberi insentif fiskal untuk research-based entrepreneurship, menghubungkan universitas, UMKM, dan industri melalui innovation hub.
Skema matching fund yang selama ini berjalan bisa ditingkatkan menjadi Innovation Sovereign Fund dana abadi riset industri yang dikelola profesional dengan prinsip transparansi dan hasil jangka panjang.
Di sinilah ide baru muncul: membangun Bio-Creative Industry Zone (BCIZ) di daerah sentra hayati seperti Aceh (nilam), Kalimantan (gaharu dan rotan), serta Sulawesi (pala dan cengkih). Kawasan ini bukan sekadar pabrik, melainkan ekosistem kolaboratif antara petani, startup, peneliti, dan pelaku kreatif untuk mencipta produk global “rasa Indonesia” parfum, kosmetik, farmasi, dan fashion alami yang berdaya saing internasional. Inilah hilirisasi tahap lanjut: riset, merek, dan gaya hidup.
Dari Bahan Mentah ke Kekayaan Intelektual
Kunci transisi menuju Create in Indonesia terletak pada perlindungan kekayaan intelektual dan branding nasional. Jepang dan Korea membuktikan, nilai ekonomi tidak hanya tercipta dari barang, tapi dari makna di balik barang.
Produk “made in Japan” bukan sekadar elektronik, tapi simbol mutu dan disiplin. Produk “made in Korea” bukan hanya kosmetik, tapi representasi gaya hidup dan aspirasi global.
Indonesia bisa mengangkat “rasa nusantara” sebagai kekuatan naratif baru. Parfum berbahan nilam Aceh, sabun herbal Lombok, atau minyak atsiri Papua dapat membawa nilai budaya ke pasar dunia.
Untuk itu, perlu creative industrial diplomacy-perluasan pasar melalui branding, pameran internasional, dan sertifikasi halal berstandar global. Di era pasca-pandemi, identitas dan nilai lokal justru menjadi magnet ekonomi baru.
Hilirisasi sejati menuntut keberanian politik dan desain kebijakan jangka panjang. Pemerintah mesti memperluas skema insentif super-tax deduction untuk kegiatan riset dan inovasi, bukan hanya industri besar.
Perguruan tinggi perlu bertransformasi dari “menara gading” menjadi “rumah produksi ide”. Sementara dunia usaha harus belajar menanamkan investasi jangka panjang dalam intangible capital-pengetahuan, desain, dan reputasi.
Rakyat Indonesia memiliki modal sosial besar: gotong royong, kearifan lokal, dan kreativitas tanpa batas. Bila seluruh potensi ini dipertemukan dalam ekosistem inovasi nasional, maka Create in Indonesia bukan lagi jargon, melainkan jalan menuju kedaulatan ekonomi sejati.
Perjalanan ini bukan semata urusan teknologi, melainkan soal keberanian untuk mencipta. Hilirisasi yang sesungguhnya bukan sekadar mencetak baja dan nikel, tapi menyalakan bara ide dan inovasi. China telah membuktikan bahwa bangsa besar tidak hanya memproduksi, tapi juga mencipta.
Kini giliran Indonesia membangun ekonomi penciptaan sebuah era di mana riset, nilai budaya, dan kreativitas menjadi sumber kekayaan baru bangsa. Dan mungkin, di masa depan, label Create in Indonesia” bukan hanya tanda asal barang, tapi tanda peradaban: bahwa bangsa ini telah belajar mencipta, bukan sekadar meniru.
***
*) Oleh : Edi Setiawan, Dosen dan Peneliti FEB Univeritas Muhammadiyah Prof DR HAMKA.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |