TIMES JAKARTA, JAKARTA – Dengan kemajuan teknologi di era digital banyak media-media yang sebelumnya dalam bentuk cetak, baik itu koran, majalah, tabloid, atau elektronik baik radio atau televisi beramai-ramai berkonvergensi ke ranah digital.
Tidak hanya itu saja, mereka juga mulai menggunakan media sosial untuk menyentuh audiens mereka agar tetap memiliki kedekatan dan menerima informasi atau konten dari media.
Kondisi ini merupakan tantangan bagi institusi media sekaligus ujian bagi pemilik atau pekerjanya. Mereka dituntut untuk pada kondisi yang harus selalu melakukan inovasi dengan dinamika di sosial masyarakat atau dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat dari waktu ke waktu.
Melakukan inovasi berarti menunjukkan bahwa kemauan untuk melakukan hal-hal baru, sebaliknya jika tidak melakukannya akan memberikan dampak pada ketertinggalan dengan kompetitor.
Konvergensi juga mengajak media untuk ikut bergabung dalam menjelajahi dunia digital yang membuat mereka juga pada posisi yang simalakama. Everett Rogers melalui teorinya Diffusion of Innovations, menyebutkan posisi media tradisional saat ini dalam kondisi dilematis karena diwajibkan untuk menjadi early adopter atau early majority pada perkembangan teknologi digital agar mereka bisa terus bertahan. Kondisi bukan hal mudah karena memerlukan investasi, dinamika hirarki organisasi dan adaptasi terhadap budaya.
Kelayakan Media
Mungkin saja adanya konvergensi ini akibat dari perkembangan digital dan mengakibatkan pola konsumsi khalayak pada media massa. Tentunya ini juga akan memunculkan kelayakan media massa.
Yakni, mampu adaptif terhadap perkembangan zaman baik secara teknologi serta sosial. Kelayakan ini jelas menjadi pemicu bagi media agar terus dapat bertahan dan bertumbuh dari sisi komersil dan juga konten yang didistribusikan.
Harusnya media tidak memiliki permasalahan terkait kelayakan dalam menghadapi perkembangan teknologi, sehingga ketika ada penemuan terbaru terkait teknologi dan ada kaitannya dengan media massa, mereka sudah siap.
Henry Jenkins dalam bukunya Convergence Culture, menerangkan bahwasannya konvergensi tidak sekedar menggabungkan teknologi yang ada, tetapi juga adanya dinamika dalam budaya ketika khalayak mengkonsumsi dan produksi. Pernyataan ini relevan bagi insan media agar mereka dapat terus memahami kondisi dan menyampaikan pesan informatif.
Dalam perspektif kajian Ilmu Komunikasi, kecenderungan menurunnya minat masyarakat terhadap media massa khususnya mainstream media, salah satunya disebabkan karena media acap kali menyampaikan agenda tertentu, menyembunyikan informasi atau bias dalam menyajikan sebuah pesan.
Sehingga banyak pembaca khususnya pada generasi muda tidak terlalu percaya terkait objektivitas berita, sehingga berita yang dipilih lebih ke media sosial yang lebih terbuka, walaupun kebenarannya masih harus dipertanyakan lagi.
Karena itu, media harus bisa menyusun strategi untuk bisa adaptif dan berkolaborasi dengan tim, agar mampu menjawab tantangan, tanggung jawab agar tidak salah langkah dan merugikan instansi media secara profesional maupun bisnis.
Kriteria Kelayakan
Paling tidak ada tiga kriteria kelayakan media massa di era digital. Pertama, Adaptasi pada teknologi. Aspek ini berfokus pada media yang harus bisa melek teknologi di era digital dan mampu untuk beradaptasi dari waktu ke waktu, hadirnya teknologi baru, baik dari sudut pandang distribusi seperti blog, media sosial dan podcast hingga membuat konten menarik dan interaktif.
Kedua, Kekuatan Bisnis. Ini melihat sejauh mana media bisa bertahan dari sisi industri lewat berbagai model bisnis selain monetisasi di platform digital. Inovasi harus dilakukan media dengan menggabungkan pemasukan baik dari iklan digital, konten berbayar, langganan hingga kegiatan lain yang bisa memberi keuntungan bagi instansi media.
Ketiga, Kolaborasi audiens. Media perlu memberikan ruang bagi audiens untuk ikut berkomunikasi hingga menciptakan interaksi dua arah di ruang digital seperti di media sosial, komentar hingga citizen jurnalis. Hal ini sesuai dengan teori Uses and Gratification yang menopang pemenuhan partisipasi dari audiens.
Dari paparan itu, kelayakan media tidak boleh diabaikan begitu saja dan terlalu nyaman pada kondisi yang ada. Kelayakan harus dimaknai sebagai kekuatan untuk terus hadir di tengah masyarakat yang haus akan informasi yang jelas, integritas dan berimbang. (*)
***
*) Oleh : Mirza Azkia Muhammad Adiba, M.Sos., Dosen Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |