https://jakarta.times.co.id/
Opini

RKUHAP dan Jalan Buntu Reformasi Kepolisian

Rabu, 19 November 2025 - 14:00
RKUHAP dan Jalan Buntu Reformasi Kepolisian Rendi Herinarso, Koordinator Isu Hukum dan HAM BEM PTMA Indonesia.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Keresahan publik kembali memuncak ketika DPR RI mengesahkan RKUHAP dalam rapat paripurna pada Senin, 18 November 2025. Keputusan ini, yang diambil secara tergesa dan minim transparansi, menimbulkan gelombang kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil. Proses legislasi yang seharusnya bersifat deliberatif justru tampak dilakukan dalam ruang yang sempit, tertutup, dan sarat kontradiksi.

DPR mengklaim bahwa 99,9 persen substansi RKUHAP telah disusun berdasarkan masukan masyarakat. Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, bahkan menyebut ada hampir 100 kelompok masyarakat sipil yang didengar pandangannya. Namun, narasi keterbukaan ini runtuh ketika fakta-fakta prosedural diurai.

Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, menjelaskan bahwa undangan audiensi pada Mei 2025 yang sejatinya sebatas forum dialog justru diklaim DPR sebagai rapat dengar pendapat umum (RDPU). Dalam pertemuan itu, LBH bahkan tidak menyampaikan masukan substantif, tetapi kehadiran mereka tetap dicatat sebagai legitimasi formal proses legislasi.

Ironisnya, klaim mengenai “masukan masyarakat” justru dibantah oleh DPR sendiri. Dalam pernyataannya, Komisi III mengakui bahwa banyak masukan tidak diakomodasi dengan alasan adanya tarik-menarik kepentingan politik di tubuh parlemen.

Pernyataan Habiburokhman bahwa “inilah realitas parlemen” memperlihatkan bahwa yang bekerja di balik penyusunan RKUHAP bukanlah aspirasi publik, melainkan logika oligarki yang mengutamakan kepentingan elite.

Lebih problematis lagi, DPR menuding bahwa informasi publik mengenai pasal-pasal bermasalah dalam RKUHAP adalah hoax. Padahal, pasal-pasal tersebut jelas mengandung persoalan serius yang berdampak langsung pada hak-hak warga negara.

Memperluas Diskresi, Memperkecil Pengawasan

Dalam RKUHAP, salah satu persoalan paling fundamental muncul dari perluasan kewenangan undercover buy dan controlled delivery yang diatur dalam Pasal 16. Dua metode yang sebelumnya sangat terbatas dan hanya digunakan dalam kasus tindak pidana khusus seperti narkotika kini dibuka menjadi metode penyelidikan umum.

Artinya, aparat dapat menyusup, memancing, bahkan menciptakan situasi seolah-olah sebuah tindak pidana terjadi, tanpa pengawasan hakim dan tanpa parameter yang jelas. Ketika mekanisme kontrol dihilangkan, penyelidikan yang seharusnya berfungsi mencegah tindak pidana justru berubah menjadi alat untuk menciptakan potensi tindak pidana itu sendiri.

Dalam banyak pengalaman di negara-negara dengan sistem hukum serupa, kewenangan seperti ini sangat mudah bergeser menjadi praktik entrapment: menunggu, memancing, lalu memproses warga negara yang mungkin tidak pernah berniat melakukan pelanggaran hukum. Ini bukan hanya persoalan teknis hukum, melainkan persoalan etika negara: apakah aparat boleh menciptakan kejahatan demi membuktikan adanya kejahatan?

Pergeseran lain yang tidak kalah problematik muncul dalam Pasal 5, ketika aparat diberikan kewenangan untuk menangkap, menahan, menggeledah, dan melarang seseorang meninggalkan tempat pada tahap penyelidikan tahap yang secara definisi bahkan belum memastikan apakah tindak pidana benar-benar terjadi.

Ketika tindakan koersif yang merampas kebebasan individu dilakukan tanpa dasar kepastian hukum, negara bergerak ke wilayah yang sangat rawan: tindakan penegakan hukum bergeser menjadi tindakan pre-emptive yang represif. Di tahap penyelidikan, ketidakpastian seharusnya menjadi alasan kehati-hatian, bukan alasan untuk memperluas kekuasaan.

Namun, RKUHAP justru merumuskan ketentuan yang memungkinkan aparat bertindak seolah-olah sudah ada bukti kuat, padahal sebenarnya belum ada apa-apa. Dalam keadaan seperti ini, garis batas antara pencegahan dan pelanggaran hak-hak warga negara menjadi kabur.

Ketentuan mengenai penangkapan lebih dari 1×24 jam, sebagaimana diatur dalam Pasal 90 dan 93, juga memperlihatkan arah legislasi yang mengabaikan kritik publik. Selama bertahun-tahun, batas waktu penangkapan yang panjang dan fleksibel telah menjadi sumber penyalahgunaan kewenangan, mulai dari intimidasi, pemaksaan pengakuan, hingga penelantaran kasus.

Namun, RKUHAP tidak memperbaiki masalah struktural ini. Pemerintah dan DPR seolah memilih mempertahankan keleluasaan aparat untuk menahan seseorang tanpa proses pengawasan yang ketat.

Dalam praktik sehari-hari, warga negara sering kali tidak memiliki kuasa apa pun ketika haknya dirampas di ruang-ruang penyelidikan yang tertutup dan tidak transparan. Dengan mempertahankan celah hukum ini, RKUHAP pada dasarnya mengesahkan kembali pola-pola lama yang bertentangan dengan asas due process of law.

Pelanggaran terhadap hak privasi semakin diperlebar melalui ketentuan mengenai penyadapan, penyitaan, penggeledahan, dan pemblokiran dalam Pasal 105, 112A, 132A, dan 124. RKUHAP memberikan diskresi luas kepada aparat untuk melakukan intrusi terhadap ruang pribadi seseorang hanya berdasarkan subjektivitas penyidik.

Lebih mengkhawatirkan lagi, penyadapan diperbolehkan merujuk pada undang-undang yang bahkan belum eksis. Bagaimana mungkin tindakan intrusif sebesar penyadapan, yang dalam sistem hukum modern manapun selalu memerlukan izin hakim, dibuka ruangnya tanpa dasar hukum yang jelas?

Ketentuan semacam ini bukan hanya berbahaya, tetapi juga melanggar logika hukum yang paling sederhana. Negara tidak boleh diberi kewenangan merampas privasi dengan dasar yang bahkan belum dibentuk. Hal ini menunjukkan bahwa RKUHAP tidak hanya lemah secara substansi, tetapi juga kacau secara metodologis.

Keseluruhan ketentuan ini memperlihatkan arah legislasi yang tidak berpihak pada perlindungan hak asasi warga negara. RKUHAP tidak memperkuat kontrol publik; sebaliknya, ia mencabut satu per satu pagar yang selama ini menjaga negara agar tidak melampaui batas kekuasaannya.

Kewenangan yang diperbesar tanpa pengawasan, ruang abu-abu yang diperluas tanpa batas etis, serta hilangnya mekanisme akuntabilitas menjadikan regulasi ini bukan sebagai pedoman penegakan hukum yang adil, tetapi sebagai instrumen yang berpotensi mengancam keamanan warga negara dari tindakan aparat itu sendiri.

Di titik ini, harus dipertanyakan: apakah RKUHAP benar-benar dirancang untuk memperbaiki sistem peradilan pidana, ataukah justru untuk memperkokoh negara dalam posisinya yang semakin jauh dari rakyat?

Jika hukum dibentuk tanpa kesadaran akan perlindungan hak-hak dasar, maka hukum itu tidak lagi menjadi pagar bagi kebebasan, tetapi menjadi pintu masuk bagi penyalahgunaan kuasa yang dilegalkan.

Kontradiksi dengan Semangat Reformasi Kepolisian

Pemerintah dan DPR sebelumnya menyatakan bahwa salah satu tujuan utama pembaharuan KUHAP adalah mendorong reformasi kepolisian. Namun, substansi RKUHAP justru bertolak belakang dengan agenda tersebut.

Koalisi masyarakat sipil menilai bahwa alih-alih melakukan reformasi, pemerintah dan DPR sedang mempercepat lahirnya sebuah sistem hukum yang memperkuat monopoli kewenangan kepolisian.

Sejak UU KUHAP 1981 diberlakukan, ketidakjelasan batas kewenangan aparat telah melahirkan berbagai praktik penyiksaan, salah tangkap, diskriminasi penegakan hukum, rekayasa kasus, hingga impunitas struktural. RKUHAP, yang seharusnya menjadi koreksi atas kegagalan lama ini, justru memperluas diskresi kepolisian dan memperkuat pola pemusatan kekuasaan.

Dengan tambahan kewenangan yang minim pengawasan, kepolisian berpotensi menjadi lembaga superpower dalam sistem hukum pidana. Mekanisme checks and balances yang menjadi fondasi negara hukum kian tergerus oleh struktur regulasi baru yang mengutamakan efisiensi penindakan di atas perlindungan hak.

Koalisi masyarakat sipil menegaskan bahwa pengesahan RKUHAP hanya akan menciptakan jalan buntu: menutup rapat harapan reformasi kepolisian yang selama ini digaungkan dan mengunci masa depan penegakan hukum dalam lingkaran otoritarianisme baru.

Dengan melihat keseluruhan konteks politik, proses legislasi, dan substansi pasal-pasal bermasalah, sulit untuk mengatakan bahwa RKUHAP disusun dengan orientasi pada kepentingan publik.

RKUHAP tidak hanya bermasalah secara substansial, tetapi juga secara etis dan politis. Ia memperlihatkan wajah legislasi yang meminggirkan masyarakat sipil, mengabaikan kritik substantif, dan sekaligus memperkuat dominasi oligarki keamanan.

RKUHAP, jika tetap diberlakukan, bukan hanya mengancam hak-hak warga negara, tetapi juga mengubur gagasan reformasi kepolisian yang telah diperjuangkan hampir dua dekade.

Dalam lanskap demokrasi yang semakin tergerus, esensi negara hukum harus kembali ditegakkan: bahwa kewenangan negara harus selalu diawasi, dibatasi, dan diarahkan untuk melindungi rakyat, bukan sebaliknya.

 

***

*) Oleh : Rendi Herinarso, Koordinator Isu Hukum dan HAM BEM PTMA Indonesia.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.