https://jakarta.times.co.id/
Opini

Penumpang Gelap Anggaran Pendidikan

Jumat, 22 Agustus 2025 - 18:13
Penumpang Gelap Anggaran Pendidikan Rifqi Fadhillah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta dan Biro Pendidikan PB PMII.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto baru saja mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dengan fanfare besar-besaran tentang komitmennya terhadap pendidikan. Anggaran pendidikan yang mencapai Rp 757,8 triliun terbesar dalam sejarah Indonesia diumumkan dengan kebanggaan sebagai pemenuhan janji konstitusional. 

Namun, di balik angka megah ini tersembunyi cerita yang lebih kelam tentang distorsi prioritas dan pengabaian amanat konstitusi yang justru mengkhianati esensi pendidikan itu sendiri, pendidikan yang kembali menjadi korban politik anggaran.

Yang paling mengganggu dari anggaran pendidikan terbesar sepanjang sejarah ini adalah fakta bahwa 44,2 persennya atau Rp 335 triliun disedot untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program yang menyasar 82,9 juta penerima manfaat ini memang terdengar mulia di permukaan, tetapi menjadi masalah fundamental ketika dibiayai dari anggaran pendidikan yang seharusnya ditujukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, bukan sekadar menyediakan konsumsi.

Pendidikan mestinya menjadi investasi jangka panjang untuk mencetak generasi emas 2045. Tetapi, bagaimana mungkin generasi emas bisa diwujudkan jika hampir separuh anggaran pendidikan justru "disedot" oleh program yang sesungguhnya bukan inti dari agenda pembelajaran? 

MBG memang penting untuk menunjang kesehatan siswa, tetapi menempatkannya dalam keranjang anggaran pendidikan jelas keliru. Ini sama saja dengan membohongi publik: pendidikan terlihat mendapat kue terbesar, padahal sebagian besar habis untuk membiayai program populis.

Mengabaikan Amanat Konstitusi dan Putusan MK

Secara konstitusional, pendidikan dijamin oleh UUD 1945 Pasal 31 agar didanai negara. Janji untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi amanat mutlak. Namun, ketika hampir separuh anggaran "pendidikan" justru digunakan untuk makan, pangkal protes tak bisa disembunyikan.

Para pengamat pendidikan telah menyoroti bahwa kebijakan ini secara terang-terangan mengabaikan amanat konstitusi. Pasal 31 UUD 1945 jelas mewajibkan negara menyediakan pendidikan dasar gratis, bukan makan gratis. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dengan tegas menyatakan bahwa "tidak ada perintah makan gratis dalam konstitusi kita".

Lebih parah lagi, kebijakan ini juga mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 dan 111/PUU-XXIII/2025 yang menyatakan negara wajib menyediakan pendidikan dasar tanpa pungutan. 

Alih-alih mematuhi putusan MK dengan memprioritaskan anggaran untuk pendidikan dasar gratis dan berkualitas, pemerintah justru memilih menggunakan hampir setengah anggaran pendidikan untuk program yang tidak langsung terkait dengan peningkatan kualitas pembelajaran.

Kesenjangan yang Mencolok dalam Prioritas Anggaran

Ketidakseimbangan dalam alokasi anggaran pendidikan ini terlihat begitu jelas ketika membandingkannya dengan program-program lain. Anggaran MBG yang mencapai Rp 335 triliun sangat kontras dengan alokasi untuk tunjangan guru non-PNS yang hanya Rp 19,2 triliun, padahal guru adalah ujung tombak peningkatan kualitas pendidikan. 

Begitu juga dengan anggaran untuk pembangunan dan renovasi sekolah yang hanya Rp 22,5 triliun, sementara setiap hari program MBG menghabiskan Rp 1,2 triliun.

Prioritas yang terbalik ini semakin terlihat dengan rencana pembangunan Sekolah Rakyat yang hanya dialokasikan Rp 24,9 triliun untuk 200 lokasi baru dan operasional 200 lokasi lainnya, sementara untuk MBG saja dianggarkan Rp 335 triliun. 

Demikian pula dengan program beasiswa LPDP yang hanya mendapat Rp 25 triliun untuk 4.000 mahasiswa, angka yang sangat kecil dibandingkan dengan mega-proyek MBG.

Apakah kita rela kualitas guru, pemerataan sarana prasarana, transformasi digital pendidikan, dan riset akademik kembali dianaktirikan? Faktanya, selama ini problem utama pendidikan Indonesia bukanlah sekadar perut kenyang, melainkan mutu pembelajaran, rendahnya kompetensi literasi-numerasi, dan minimnya penghargaan terhadap tenaga pendidik. Menggeser Rp 335 triliun ke MBG sama saja menutup mata terhadap akar persoalan itu.

Problem Efektivitas dan Sustainability Program

Program MBG juga menyisakan pertanyaan besar tentang efektivitas dan keberlanjutannya. Dengan anggaran yang naik hampir 5 kali lipat dari Rp 71 triliun pada 2025.

Apakah mekanisme distribusi dan pengawasan sudah dipersiapkan dengan matang? Apakah tidak lebih baik dana sebesar itu dialokasikan untuk membangun infrastruktur pendidikan yang permanen dan berkualitas?

Pengamat pendidikan meragukan efektivitas program ini dalam menyelesaikan masalah fundamental pendidikan Indonesia. Alih-alih menciptakan "generasi emas", kebijakan ini justru berpotensi melahirkan "generasi cemas" yang tergantung pada program instan tanpa pembenahan sistemik terhadap kualitas pendidikan secara menyeluruh.

Masalah tata kelola dan dampak nyata juga perlu jadi batalion kritik. Banyak laporan keracunan dan temuan makanan tidak higienis seperti kasus belatung di menu MBG di SMK Tambakboyo, Tuban, atau keracunan massal di Sragen, Sleman, Cianjur, dan NTT. 

Ini memperlihatkan bahwa program yang besar tapi tak aman adalah bom waktu: anggaran jumbo tanpa kontrol bisa menciderai korban paling lemah anak-anak.

Politik Anggaran dan Janji Kampanye

Tidak dapat dipungkiri bahwa program MBG erat kaitannya dengan janji kampanye Presiden Prabowo Subianto. Namun, menjadikan anggaran pendidikan sebagai "sapi perah" untuk membiayai janji kampanye jelas merupakan pengkhianatan terhadap semangat konstitusi di bidang pendidikan.

Kritik publik yang menyebut kebijakan ini bisa menjadikan generasi emas berubah menjadi generasi cemas patut didengar. Anggaran pendidikan seharusnya digunakan untuk mencetak manusia Indonesia yang unggul, berdaya saing global, dan adaptif menghadapi tantangan zaman, bukan sekadar untuk konsumsi jangka pendek. 

Jika pemerintah serius dengan visi besar 2045, maka MBG harus dibiayai lewat pos lain, misalnya anggaran perlindungan sosial atau kesehatan, bukan dengan membonceng anggaran pendidikan.

Seperti dalam klarifikasi yang disampaikan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana,  bahwa anggaran Rp 335 triliun itu merupakan angka gabungan dari fungsi pendidikan dan kesehatan, bukan seluruhnya ditanggung oleh anggaran pendidikan. 

Klarifikasi ini membuka pertanyaan serius: jika memang bersifat lintas sektor, mengapa ditempatkan di pos pendidikan? Ini menciptakan kesan MBG menjadi "penumpang gelap" yang menyelundup di dalam anggaran pendidikan menyisihkan sekolah, guru, dan sarana belajar demi piring makan.

Mendefinisikan Ulang Prioritas Pendidikan

Anggaran pendidikan terbesar dalam sejarah Indonesia seharusnya menjadi momentum untuk lompatan besar dalam peningkatan kualitas pendidikan nasional. Sayangnya, euphoria angka Rp 757,8 triliun justru mengaburkan distorsi prioritas yang terjadi.

Program MBG telah menjadi "penumpang gelap" yang menyedot hampir setengah dari anggaran pendidikan tanpa kepastian dampak positifnya terhadap peningkatan kualitas pendidikan. 

Pemerintah perlu mengkaji ulang alokasi ini dan mengembalikan anggaran pendidikan pada tujuan utamanya: memastikan akses pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai amanat konstitusi.

Sudah waktunya kita berpikir jernih: apakah kita ingin dikenal sebagai bangsa yang menghabiskan triliunan rupiah untuk program makan sesaat, atau bangsa yang membangun sistem pendidikan berkualitas yang menghasilkan generasi unggul yang mampu bersaing di tingkat global? Jawabannya menentukan masa depan Indonesia di decades mendatang. (*)

***

 

*) Oleh : Rifqi Fadhillah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta dan Biro Pendidikan PB PMII.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.