https://jakarta.times.co.id/
Opini

Pilkada di Titik Nadir

Selasa, 30 Desember 2025 - 14:33
Pilkada di Titik Nadir Sigit Hartono, Arah Muda Progresif.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sejatinya bukan sekadar ritual lima tahunan untuk mencoblos di balik bilik suara. Ia adalah jantung demokrasi lokal, tempat kedaulatan rakyat berdenyut dan kekuasaan publik dilahirkan secara sah. 

Dalam kerangka konstitusi, Pilkada menjadi perwujudan nyata Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945: kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan menurut hukum. 

Potret Pilkada hari ini justru menunjukkan demokrasi yang kelelahan terjepit dalam desain keserentakan paksa, diburu tenggat waktu, dan kini dihadapkan pada wacana regresif pemilihan kepala daerah melalui DPRD.

Alih-alih memperkuat demokrasi, situasi ini menyeret Pilkada ke titik nadir: antara kekacauan administratif dan ancaman amputasi hak konstitusional warga negara.

Masalah mendasar Pilkada bermula sejak di hulu: tahap verifikasi pencalonan. Secara normatif, undang-undang memberikan mandat kepada KPU untuk melakukan penelitian yang cermat dan menyeluruh terhadap keabsahan dokumen calon. Namun dalam praktik, verifikasi kerap menjelma formalitas administratif sekadar mencocokkan berkas, bukan menguji kebenaran materiel.

Akibatnya, pintu masuk demokrasi menjadi rapuh. Dokumen krusial seperti ijazah, status hukum, hingga syarat dukungan lolos tanpa pengujian substantif. Lemahnya filter ini memicu “banjir sengketa” di hilir. 

Data Pilkada 2024 mencatat 310 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) diregistrasi Mahkamah Konstitusi. Ironisnya, mayoritas perkara tidak lagi memperdebatkan selisih suara, melainkan cacat administratif pencalonan yang seharusnya selesai di tingkat KPU atau Bawaslu.

Mahkamah Konstitusi pun dipaksa menjadi “bengkel administrasi” peran yang sesungguhnya melampaui desain konstitusionalnya sebagai penjaga kemurnian suara rakyat.

Akar persoalan verifikasi yang lemah tidak dapat dilepaskan dari desain tahapan yang berhimpitan. Pilkada 2024 digelar ketika bara sengketa Pemilu Nasional masih menyala di MK. Jeda antara penetapan hasil pemilu nasional dan dimulainya tahapan Pilkada hanya hitungan hari.

Dalam ruang waktu yang sempit itu, KPU dibebani verifikasi dokumen, sinkronisasi data antarlembaga, hingga perbaikan administrasi. Secara teoritis, kondisi ini disebut administrative overload: beban kerja masif dalam waktu singkat yang secara otomatis menurunkan akurasi. 

Demokrasi dipaksa berlari sprint, padahal ia membutuhkan napas panjang. Kekacauan di hulu inilah yang kemudian menjalar ke hilir, melahirkan ketidakpastian hukum dan delegitimasi hasil pemilihan.

Jalan Pintas yang Menyesatkan

Di tengah carut-marut tersebut, muncul wacana mengembalikan Pilkada ke DPRD dengan dalih efisiensi anggaran dan stabilitas politik. Sekilas terdengar rasional, namun sejatinya ini adalah langkah mundur yang berbahaya.

Pemilihan melalui DPRD merupakan amputasi terhadap hak konstitusional warga negara. Memang, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menggunakan frasa “dipilih secara demokratis”. Namun sejak 2005, demokrasi lokal telah dimaknai secara progresif melalui pemilihan langsung. Menarik kembali hak pilih rakyat ke ruang parlemen daerah melanggar prinsip non-retrogression pantangan mundur dalam demokrasi.

Lebih dari itu, sistem ini mereduksi kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan elite. Kepala daerah tidak lagi lahir dari kontrak sosial dengan warga, melainkan dari negosiasi tertutup fraksi partai. Demokrasi berubah menjadi transaksi, dan jabatan publik berisiko diperdagangkan dalam pasar gelap kekuasaan.

Demokrasi tidak bisa ditakar dengan logika bisnis yang semata menghitung biaya. Menghemat anggaran dengan memangkas hak pilih justru berpotensi melahirkan kerugian yang jauh lebih besar. Kepala daerah hasil pemilihan DPRD akan memiliki utang budi kepada partai, bukan kepada rakyat. Risiko korupsi kebijakan, manipulasi APBD, dan keputusan pro-elite semakin menguat.

Penting pula membedakan biaya penyelenggaraan pemilu dengan biaya politik kandidat. Pilkada via DPRD mungkin memangkas logistik KPU, tetapi justru melipatgandakan biaya transaksi gelap yang sulit diawasi publik.

Demokrasi tidak seharusnya dipaksa memilih antara sistem yang melelahkan atau sistem yang mematikan kedaulatan rakyat. Jalan keluarnya bukan mundur, melainkan berbenah.

Pertama, perkuat verifikasi dengan teknologi autentikasi data terintegrasi agar pemeriksaan dokumen berjalan cepat dan akurat. 

Kedua, atur ulang jadwal dengan masa jeda yang rasional antara Pemilu Nasional dan Pilkada, agar penyelenggara tidak bekerja di bawah tekanan waktu. 

Ketiga, tegaskan keseimbangan peran lembaga: KPU menjaga integritas proses, MK menjaga kemurnian hasil.

Kualitas demokrasi tidak boleh dikorbankan demi efisiensi semu. Jika taruhannya adalah legitimasi pemimpin dan kepercayaan publik, maka keberanian untuk mereformasi sistem di hulu adalah keniscayaan. Menyerahkan nasib daerah ke ruang rapat tertutup parlemen bukan solusi itu justru mengantar demokrasi ke senja paling gelapnya.

***

*) Oleh : Sigit Hartono, Arah Muda Progresif.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.