https://jakarta.times.co.id/
Opini

Tom Lembong, Korban Absurditas Rezim Pemberantasan Korupsi

Jumat, 25 Juli 2025 - 07:33
Tom Lembong, Korban Absurditas Rezim Pemberantasan Korupsi A. Fahrur Rozi, Akademisi dan Pegiat Konstitusi.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Vonis 4,6 tahun yang dijatuhkan kepada Tom Lembong atas kasus importasi gula patut diuji secara koheren. Bagi orang yang menyaksikan langsung kasusnya, vonis tersebut seolah menjadi proyeksi percaturan politik yang diwujudkan dalam bentuk penghukuman.

Terlepas dari hiruk-pikuk asumsi yang mendominasi publik saat ini, Tom Lembong sebenarnya menjadi korban sistemik dari rezim pemberantasan korupsi. Ini adalah sisi gelap yang menjadikan hukum tidak lagi berpihak pada kebenaran, dan menjadikan palu hakim diseret pada logika-etika nominal.

Dalam vonisnya, hakim menuduhkan Tom dengan dua unsur jerat korupsi, yaitu “kerugian negara” dan “memperkaya orang lain”. Dua dalil hakim yang tidak benar-benar dengan utuh diuji validitasnya.

Pertama, Tom dihukum atas kebijakan yang dia ambil selama menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Kebijakan itu mengakibatkan kerugian negara sebesar 194 miliar. 

Semua orang tau, kebijakan Tom berhenti ketika ia menyetujui kuota impor gula kepada perusahaan swasta. Tidak ada niat jahat, tas atau amplop berisi uang, proyek fiktif, atau permainan anggaran.

Tetapi kebijakan yang merugikan negara telah mendaur ulang kesalahan administratif Tom sebagai tindak pidana. Suatu kebijakan yang awalnya dimaksudkan sebagai suatu kebajikan, berujung buruk hingga menjeratnya sebagai seorang koruptor.

Kedua, Tom dihukum akibat memperkaya orang lain yang tidak sepeserpun ia nikmati keuntungannya. Tidak ada jejak suap dan transaksi bagi hasil yang saling menguntungkan. Begitu pula tidak ada kedekatan dinasti sebagai tindakan nepotisme dengan pihak yang diperkaya.

Di sinilah letak logika absurd vonis Tom Lembong dalam mengakumulasi norma dan fakta. Tidak mungkin menghukum kebijakan pejabat negara yang tidak didasari pada niat jahat (mens rea). Ini adalah murni kesalahan administratif-teknis di lingkungan kementerian.

Maka, jika setiap kebijakan yang dapat merugikan negara dianggap sebagai tindak pidana korupsi, kewenangan tidak ubahnya kutukan. Logika ini akan membunuh karakter pemerintahan yang baik (good governance) dengan bayang-bayang jerat pidana korupsi.

Padahal, dalam tatanan sistem pemerintahan modern, ada ruang administratif pejabat negara yang memungkinkan baginya melakukan diskresi kebijakan. Sistem semacam ini pun diadopsi melalui UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Selanjutnya, tidak pula mungkin menghukum orang atas tuduhan memperkaya orang lain yang tidak memiliki causal verband dengannya. Tidak ada motif, kedekatan, dan relasi kausal yang mendorong seseorang memperkaya seseorang lainnya.

Logika ini tentu tidak dapat diuji secara koheren sebagai suatu kebenaran. Ada loncatan logis yang mengakibatkan orang yang tidak bersalah dikorbankan atas dasar adanya kerugian negara yang dapat memperkaya orang lain.

Di saat bersamaan, ketentuan norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU 31/1999 tentang Tipikor juga tidak memberikan kepastian. Pasalnya, pasal tersebut gagal memberikan kualifikasi kerugian seperti apa yang dapat dijerat dengan korupsi.

Tidak semua tindakan yang merugikan keuangan negara adalah kejahatan korupsi. Ia juga bisa berbentuk maladministrasi. Tindakan merugikan keuangan negara dapat dikatakan sebagai kejahatan korupsi bila ia dilakukan dengan niat untuk memperkaya dengan cara suap menyuap, penggelapan, curang, atau gratifikasi.

Akan tetapi, bila tindakan yang dianggap merugikan negara terjadi atas kesalahan administrasi, maka sebuah tindakan merugikan keuangan dan perekonomian negara tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan korupsi. 

Melainkan sebatas maladministrasi saja. Karena itu, penyelesaiannya pun juga harus diselesaikan secara administratif, bukan secara pidana sebagaimana tindak pidana korupsi (tipikor) pada umumnya.

Simons dalam “Leerboek Van Nederlandsche Strafrecht” (1929) menyebutkan, jika suatu rumusan pasal tidak menyebut bentuk kesalahan, maka kesalahan dalam pasal tersebut harus diartikan sebagai kesengajaan.

Rumusan pasal korupsi saat ini tidak menyebutkan adanya bentuk kesalahan, apakah kealpaan atau kesengajaan. Sering kali penerapannya menihilkan adanya pembuktian unsur kesalahan berupa kesengajaan atau niat jahat (mens rea) yang menyebabkan kerugian negara.

Sedangkan unsur kesengajaan sendiri harus bersifat “willens” dan “wettens”. Dalam artian, perbuatan merugikan tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu ada tidaknya unsur kehendak untuk melakukan, serta mengetahui akibat yang akan ditimbulkan.

Bangunan konstruksi hukum demikian yang absen dari kasus Tom Lembong. Kerugian negara dan memperkaya orang lain dijadikan kaidah absolut untuk menjeratnya sebagai tindak pidana korupsi. 

Padahal, hukum bertujuan untuk memberikan efek jera terhadap suatu kesalahan sebagai proyeksi dari niat jahat dan unsur kesengajaan yang melekat pada perilaku seseorang.

Di sinilah letak absurditas rezim pemberantasan korupsi. Rumusan norma hukum yang ada bersifat lentur untuk diinterpretasikan sesuai selera. Pasal itu akhirnya menjadi senjata ampuh untuk menundukkan siapa saja. 

Pada saat yang bersamaan, penegak hukum seperti Jaksa dan Hakim justru tunduk pada logika absurd dalam mengakumulasi norma dan fakta. Kerugian negara dan memperkaya orang lain menjadi realitas yang ditelan mentah-mentah. Menjadi alasan rapuh dan absurd untuk menghukum kebijakan mantan pejabat negara.

Akibatnya, dakwaan Jaksa menjadi suara sumbang yang justru menjauh dari keadilan, dan palu Hakim justru memberikan justifikasi sebagai suatu kebenaran. Jadilah kebenaran formal yang nir nilai keadilan.  

Di sini, Tom Lembong sejatinya menjadi korban dari absurditas rezim pemberantasan korupsi. Akibat rumusan normanya bersifat absurd, sehingga turunan logika penegak hukumnya menjadi absurd pula. (*)

***

*) Oleh : A. Fahrur Rozi, Akademisi dan Pegiat Konstitusi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.