TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di tengah dinamika politik nasional, kehadiran pemuda selalu dijadikan simbol harapan bangsa sebagai generasi penerus. Sementara idealisme mereka perlahan dikekang oleh kepentingan bayang-bayang negara. Bagaimana tidak, dalam sistem politik yang timpang memperlihatkan loyalitas lebih dominan dibanding gagasan.
Disitulah pemuda kadang terjebak dengan realitas politik hari ini. Terdapat bayangan kekuasaan yang dapat menentukan arah politik diluar mekanisme yang sebenarnya. Itulah kemudian yang disebut dengan shadow state.
Dalam istilah akademik, shadow state tidak muncul sebagai fenomena yang baru. Melainkan sudah ada semenjak realitas kekuasaan hadir dan bekerja dibalik layar. Apabila arah politik ditentukan berdasarkan aturan formal, maka shadow state sebaliknya. Ia merupakan jaringan elit politik yang mempengaruhi kebijakan tanpa akuntabilitas publik.
Fenomena inilah yang menciptakan ilusi, keputusan seakan-akan diambil secara demokratis padahal sudah ditentukan di ruang tertutup. Berdasarkan hal tersebut membuat pemuda dilema, bahkan jargon sebagai “agen perubahan” hanya menjadi simbol semata.
Lanskap politik hari ini menggambarkan pudar nya peran strategis pemuda dalam politik nasional. Meskipun bisa ikut aktif di organisasi, media sosial, atau bahkan partai politik namun jika tidak mempunyai kesadaran kritis maka akan dimanfaatkan melalui penjinakan idealismenya.
Jika dilihat dari kacamata pendidikan partai politik, seharusnya dapat menjadi wadah bagi pemuda sebagai generasi pemimpin. Beberapa kenyataan memperlihatkan kaderisasi partai politik tidak lagi berbasis gagasan tapi bertransformasi ke sistem patronase. Kompetensi terhadap loyalitas lebih berarti dibanding kompetensi dan gagasan.
Pemuda kerap mencoba untuk masuk kedalam sistem namun terbentur kedalam dua hal yang saling bertolak belakang. Pertama, ingin mempertahankan idealisme nya namun memiliki risiko tersingkir.
Kedua, mengikuti alur sistem namun itu bukan jati dirinya. Akhirnya banyak pemuda mengambil jalan untuk menghindari politik walaupun mereka berbakat. Tapi mereka lebih memilih jalur yang lebih aman tanpa ruang untuk menentukan arah kebijakan.
Ironisnya, kondisi ini justru melanggengkan shadow state. Regenerasi yang gagal menciptakan sirkulasi elite membuat kekuasaan berputar di lingkar yang sama, sementara kaum muda hanya menjadi simbol penyegaran, bukan agen perubahan.
Di tengah rapuhnya sistem politik formal, bukan berarti pemuda kehabisan energi semangat juangnya. Perlawanan terhadap sistem yang timpang sepatutnya harus diperbaiki. Gerakan komunitas independen muncul sebagai perlawanan terhadap shadow state yang tumbuh.
Kekuatan pemuda terletak pada keberaniannya menolak normalisasi ketidakadilan. Perlawanan terhadap shadow state tidak harus melalui konfrontasi langsung, tetapi bisa dimulai dengan membangun kesadaran kritis, melihat politik tidak sekadar sebagai perebutan kekuasaan, melainkan arena perjuangan etis.
Tantangan terbesar bagi pemuda bukan hanya menolak kekuasaan yang menindas, tetapi menolak menjadi bagian dari sistem yang korup secara kultural. Bayang-bayang kekuasaan tidak akan hilang hanya dengan pergantian rezim, ia hanya akan sirna ketika ada keberanian kolektif untuk menyalakan cahaya.
Pemuda harus menjadi cahaya itu bukan sekadar slogan kampanye, tetapi kesadaran politik yang hidup. Karena ketika cahaya padam, bayang-bayang akan mengambil alih segalanya.
***
*) Oleh : Muh. Asdar Prabowo, Mahasiswa Magister Strategi Perang Semesta, Fakultas Strategi Pertahanan, Universitas Pertahanan Republik Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |