TIMES JAKARTA, JAKARTA – Proses pemilu tidak pernah usai. Meskipun KPU telah menyelesaikan seratus persen penyelenggaraan pilkada serentak 2024, siklus elektoral tidak memiliki titik akhir karena sifatnya yang berkelanjutan.
Saat ini kita memasuki fase evaluasi terhadap seluruh pekerjaan kepemiluan dalam rangka melakukan perbaikan ke depan. Belajar dari pengalaman lebih relevan daripada mengulangi dari awal.
Demokrasi adalah urusan semua orang. Gema dan pelajarannya terus berjalan. Saatnya menoleh ke belakang dengan kejernihan hati, dan menatap ke depan dengan kebijaksanaan. Demokrasi yang sehat lahir dari keberanian bersama untuk mengoreksi diri dan memperbaiki sistem yang belum sempurna.
Dalam konteks inilah, kaidah hukum yang menjadi dasar bagi tata kelola pemilu adalah memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik (al-muhafazhah 'alal qadimish shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).
Cara pandang reformatif ini memberikan pijakan moral bahwa setiap proses yang memiliki dampak negatif maka dilakukan perbaikan. Sementara yang positif terus dipertahankan.
Kaidah ini juga menjadi penopang dalam membangun tatanan sosial-politik yang lebih matang. Dari sinilah kita memperbaiki demokrasi Indonesia dengan menjaga nilai-nilai luhur pemilu, sekaligus berani memperbarui kebijakan dan mekanisme yang kurang relevan dengan semangat perbaikan. Mempertahankan yang baik, memperbaiki yang buruk.
Di antara perbaikan dari pengalaman buruk adalah terkait dengan penyusunan daftar pemilih. Dari pengalaman pemilu 2019, penetapan daftar pemilih oleh KPU dilakukan hingga tiga kali akibat rekomendasi perbaikan dari Bawaslu dan masukan dari peserta pemilu. Kondisi ini potensial mengganggu penetapan produksi logistik pemilu dan distribusinya hingga ke pelosok daerah.
Berdasarkan pengalaman itulah, KPU bersama jajarannya berjuang keras menetapkan daftar pemilih bukan sekadar administrasi, tetapi sebuah perjalanan panjang yang melibatkan koordinasi intensif dengan pemerintah daerah, kepolisian, hingga lembaga terkait di seluruh pelosok negeri.
Aparatur KPU turun langsung ke lapangan, memverifikasi faktual daftar pemilih, mengecek domisili, mencatat pemilih pemula, dan memastikan warga yang sebelumnya belum terdaftar tidak tertinggal serta menguji validitas data pemilih yang pindah dan meninggal dunia.
Penyusunan daftar pemilih 2024 juga mempertimbangkan risiko yang menyertainya. Penetapan daftar pemilih membawa tanggung jawab besar terhadap pelindungan data pribadi sehingga mengelola data ini dengan sangat hati-hati.
Jika dikelola sembarangan, risiko penyalahgunaan bisa muncul, baik untuk tujuan politik maupun kriminal. KPU menggunakan enkripsi, pembatasan akses, serta audit berkala agar transparansi tidak mengorbankan privasi warga.
Kinerja yang mendasarkan perbaikan dari yang buruk itulah kemudian membuahkan hasil. Pendaftaran pemilih yang maksimal menghasilkan partisipasi yang meningkat. Berdasarkan data KPU RI (2024), tingkat partisipasi nasional mencapai 82,5%, naik dari 81,97% pada 2019. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti bahwa rakyat percaya pada proses demokrasi.
Ini adalah mempertahankan nilai lama yang baik dan meningkat bersama dengan kontribusi banyak pihak di luar penyelenggara pemilu. Sosialisasi pemilih berkesinambungan dengan pengawasan partisipatif serta pendidikan politik dalam setiap tahapan.
Menjaga kebaikan juga berdampak pada partisipasi perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki. Pemilih dalam negeri laki-laki tercatat berjumlah 101.467.243 (49,97%), perempuan 101.589.505 (50,03%). Untuk pemilih luar negeri, laki-laki 751.260 (42,92%), perempuan 999.214 (57,08%).
Totalnya, laki-laki 102.218.593 (49,91%) dan perempuan 102.588.719 (50,09%). Angka ini menegaskan peran signifikan perempuan dalam demokrasi Indonesia, sekaligus mengingatkan bahwa Pemilu adalah hak setiap warga, tanpa diskriminasi gender.
Selain itu, usaha keras KPU juga berpengaruh pada partisipasi pemilih muda yang memiliki peran penting dalam Pemilu 2024. Rincian pemilih muda mencapai angka 58,38% pemilih dari keseluruhan pemilih di Indonesia.
Jumlah tersebut tergambar 67.909.820 atau 33, 44 % dari kelompok milenial atau Gen Y (usia 28-43 tahun) dan 50.645.669 atau 24,94 % berasal dari generasi Z (usia 17-27 tahun).
Partisipasi pemilih muda sangat menentukan untuk modalitas arah demokrasi Indonesia. Di tengah tantangan seperti mobilitas tinggi, skeptisisme terhadap politik, dan akses informasi yang timpang masih perlu diatasi untuk meningkatkan partisipasi mereka secara maksimal.
Sisi lain, pemilu 2024 juga mengajarkan kita banyak hal tentang tata kelola pemilu yang kompleks. Bawaslu RI menyatakan, terdapat lebih dari 4.000 dugaan pelanggaran administratif, etik, dan pidana, termasuk pelanggaran netralitas aparatur dan penyelenggara negara.
Sementara itu, hingga Maret 2025, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mencatat sedikitnya 32 penyelenggara pemilu yang diberhentikan karena pelanggaran etik.
Dalam pengalaman ini, qadim ghair shalih pengalaman buruk berupa politik uang, politisasi SARA, kampanye hitam, penyebaran hoaks, dan netralitas penyelenggara harus benar-benar ditinggalkan. Demokrasi tidak akan sehat jika disandera oleh pelanggaran pemilu dan praktik curang. Praktik yang bisa dilakukan oleh semua orang.
Tantangan yang tak kalah penting lainnya adalah keterbatasan literasi politik. Di tengah gempuran informasi yang masif, media digital dan media sosial mempengaruhi pola pikir dan tindakan pemilih sepanjang tahapan pemilu. Pendidikan politik berkelanjutan dibutuhkan agar warga negara memiliki ketahanan dalam menjadi aktor utama dalam proses demokrasi yang panjang.
Pemilu 2024 mengajarkan bahwa demokrasi bukan sekadar prosedur memilih, tetapi sarana menjaga integrasi bangsa. Kaidah mempertahankan kebaikan dan mengambil yang lebih baik mengajarkan keseimbangan antara menjaga nilai lama dengan membuka diri terhadap inovasi baru dan masukan para pihak. Perbaikan tidak dimulai dari nol, tetapi dari pengalaman bersama sebelumnya.
Evaluasi sinergis antara penyelenggara, pengawas, peserta dan semua aktor yang memiliki pengalaman selama pemilu serentak menjadi titik bersama untuk mewujudkan proses kematangan demokrasi yang bermartabat. Setiap suara dihargai, setiap hak dipenuhi dan setiap proses dijaga integritasnya.
Berani memperbaiki sistem yang rentan dan membangun tata kelola yang lebih berintegritas. Tidak takut berbenah diri dan bersedia belajar lebih baik lagi. Selalu belajar dari pengalaman.
***
*) Oleh : M. Afifuddin, Ketua KPU RI.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |