TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di ruang persegi, berdiri sosok yang setiap hari mengulang rutinitas yang sama, yakni menyalakan spidol, menulis di papan, lalu mengurai ilmu dengan suara lantang. Ia adalah guru. Figur yang berperan sempurna sebagai sosok panutan.
Figur yang menjadi harapan masyarakat agar ia menjadi teladan moral tanpa cela bagi anak-anaknya. Figur yang di hadapan muridnya selalu menyungging senyum dibalut pakaian sederhana yang disetrika rapi. Namun, di balik senyum itu ada pikiran yang tidak pernah tenang dan saling bersautan.
Menjadi guru pada zaman modern bukan sekadar menyampaikan materi pelajaran. Guru dihadapkan pada dilema ganda. Di satu sisi, tanggung jawab moral untuk mendidik dan membentuk karakter peserta didik.
Di sisi yang lain, beban administrasi yang kadang membelenggu serta realitas kebutuhan hidup baik kebutuhan finansial maupun pengembangan profesional. Dilema ini mencerminkan konflik antara idealisme, birokrasi, dan pragmatisme.
Dilema guru hari ini dapat dibaca dalam tiga lapis yang saling berkelindan. Pertama, tanggung jawab moral sebagai panggilan. Kedua, beban administratif sebagai tuntutan sistem. Ketiga, kebutuhan hidup sebagai realitas sosial-ekonomi.
Erving Goffman, dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1956), menulis: “In the theater of everyday life, individuals perform roles for an audience, concealing parts of themselves backstage.”
Dalam kutipan tersebut, Goffman memakai analogi teater untuk menjelaskan kehidupan sosial. Setiap orang tampil (front stage) untuk memenuhi ekspektasi publik, tapi menyembunyikan sisi asli (back stage).
Teori ini begitu relevan dengan profesi guru. Di hadapan murid-muridnya mereka memainkan peran ideal, sementara di balik layar mereka bergulat dengan kenyataan hidup yang keras dan kesejahteraan yang jauh dari kata layak.
Hook ini membuka mata kita pada dilema besar yang menimpa guru di Indonesia. Guru Indonesia hari ini adalah aktor yang dipaksa memainkan dua panggung sekaligus.
Mereka dituntut untuk selalu tampil sempurna, menjadi teladan moral, dan motor peradaban. Tetapi kenyataannya negara sering kali abai pada kebutuhan dasar yang memungkinkan mereka menjalankan peran tersebut.
Seorang filsuf Prancis, Albert Camus menulis dalam bukunya berjudul The Myth of Sisyphus (1942): “There is no fate that cannot be surmounted by scorn.”Artinya hidup bisa ditanggung karena manusia melawan keputusasaan.
Tapi, bukankah terlalu kejam jika para guru kita dipaksa menanggung hidup seperti Sisyphus? Dipaksa mendorong batu pengetahuan ke puncak gunung peradaban, sementara perut mereka sendiri keroncongan?
Tanggung Jawab Moral sebagai Panggilan
Mengajar bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menegaskan: “Education is freedom, the practice of freedom.” Pendidikan adalah jalan pembebasan. Maksudnya guru bukan hanya pengajar, tetapi pembebas manusia dari kebodohan dan penindasan.
Tanggung jawab moral seorang guru tidak berhenti pada penyampaian materi pelajaran. Guru adalah teladan, pengasuh, bahkan pengganti orang tua di sekolah. Seperti kata Ki Hadjar Dewantara dalam Bagian Pertama: Pendidikan (1935): “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Guru adalah teladan di depan, penggerak di tengah, dan pendorong di belakang.
Ungkapan ini menegaskan bahwa esensi guru ada pada keteladanan. Dan keteladanan adalah sebuah tanggung jawab moral yang sangat berat. Ada dimensi spiritual, sosial, sekaligus emosional yang harus terus dijaga. Dan kenyataannya, tanggung jawab moral itu sering berhadapan dengan realitas getir.
Data dari BPS (Badan Pusat Statistik, 2023) menunjukkan bahwa masih banyak guru honorer di Indonesia yang menerima gaji di bawah Rp1 juta per bulan. Angka ini jauh dari upah minimum regional di banyak daerah.
Ironi memang tapi itu nyata. Di saat tanggung jawab moral guru tidak bisa diukur dengan angka, kesejahteraan mereka justru selalu dihitung dengan kalkulator anggaran.
Analoginya sederhana, seorang koki hebat tidak bisa membuat hidangan mewah dari garam dan air saja. Selanjutnya, bagaimana mungkin anak yang akan menjadi penerus kehidupan bangsa akan tumbuh dengan gizi intelektual yang sehat jika “kokinya” yaitu guru diberi bahan baku yang begitu minim?
Guru sebagai Pegawai Bukan Pendidik
Selain tanggung jawab moral, guru juga terjebak dalam jeratan administrasi. Guru di Indonesia kerap lebih banyak mengurus berkas ketimbang mengurus murid.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan guru di Indonesia kian menjauh dari hakikat mengajar. Menurut laporan World Bank (2018), “Teachers at the Crossroads”, guru di Indonesia menghabiskan rata-rata lebih dari 40% waktunya untuk urusan administratif, bukan untuk mengajar atau menyiapkan pembelajaran.
Filsuf Jerman, Max Weber, dalam Economy and Society (1922), pernah menekankan bahaya birokrasi yang terlalu kaku: “Bureaucracy develops the more perfectly, the more it is ‘dehumanized.’” Artinya, semakin birokratis sistem, semakin hilang sisi kemanusiaannya.
Inilah yang kini menimpa para guru. Mereka lebih sibuk mengisi form, laporan kinerja, akreditasi, dan angka kredit daripada mendidik anak didiknya dengan penuh jiwa. Alhasil, guru yang seharusnya menjadi pendidik malah beralih menjadi pegawai administrasi.
Administrasi pendidikan memang diperlukan sebagai alat kontrol dan akuntabilitas. Tetapi jika berlebihan, justru melumpuhkan esensi pendidikan itu sendiri.
Argument ini juga didukung oleh survei dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek, 2022) yang menyebutkan bahwa 62% guru merasa kewalahan dengan urusan administrasi dan hampir 40% waktu kerja guru tersita untuk hal tersebut.
Hal ini menyebabkan mereka mengurangi waktu yang seharusnya dipakai untuk menyiapkan materi atau melakukan pendekatan pedagogis. Akhirnya, ruang bagi inovasi kelas semakin menyempit. Bila dibiarkan, guru akan kehilangan identitas sebagai pendidik dan akan tergantikan oleh citra “pegawai pencatat.”
Kebutuhan Guru sebagai Realitas Sosial dan Dasar Kehidupan
Guru kerap disebut “pahlawan tanpa tanda jasa.” Sebutan itu terdengar indah, tetapi sekaligus menyakitkan. Apa artinya pahlawan jika pengorbanannya tidak pernah dihargai secara layak?
John Rawls, dalam A Theory of Justice (1971), menegaskan: “Justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought.” Keadilan, bagi Rawls, berarti memberi keberpihakan pada mereka yang memikul beban besar demi kepentingan umum.
Dan guru termasuk dalam kategori tersebut. Kata “tanda jasa” yang layak bukan sekadar pujian dalam upacara, melainkan kesejahteraan konkret yang menjamin kehidupan mereka.
Lebih jauh, John Dewey dalam Democracy and Education (1916) menulis: “Education is a social process; education is growth; education is not a preparation for life but is life itself.” Artinya pendidikan bukan sekadar bekal menuju kehidupan, melainkan kehidupan itu sendiri.
Dengan kata lain, guru adalah akar dari kehidupan. Bila akar tidak mendapat pupuk dan air yang cukup, maka kehidupan sosial itu rapuh sejak akarnya.
Ini fakta, BPS (2023) menunjukkan gaji guru honorer di banyak daerah masih berkisar Rp500.000–Rp1.000.000 per bulan, jauh di bawah kebutuhan hidup layak.
Tak sedikit guru mencari pekerjaan sampingan sebagai ojek, pedagang, atau pengajar les privat demi bertahan hidup.
Bagaimana mungkin mereka bisa total menjalankan amanah moral dan administratif bila kebutuhan dasarnya tak terpenuhi?
Semua tanggung jawab moral dan beban administrasi bermuara pada satu hal, yakni kebutuhan hidup. Guru, sebagaimana manusia lain, membutuhkan sandang, pangan, papan, kesehatan, dan masa depan yang layak.
Bahkan filsuf Yunani, Aristoteles, dalam Politics (350 SM), menegaskan bahwa manusia adalah zoon politikon (makhluk sosial). Sebagai makhluk sosial guru juga memerlukan pemenuhan kebutuhan material agar bisa menjalankan perannya dalam masyarakat.
Data global pun menguatkan hal ini. Menurut laporan UNESCO (2021), Global Education Monitoring Report, kesejahteraan guru merupakan faktor paling penting dalam kualitas pendidikan.
Negara-negara dengan gaji guru yang tinggi seperti Finlandia, Korea Selatan, dan Singapura menunjukkan prestasi pendidikan terbaik di dunia.
Sementara itu, di Indonesia, banyak guru justru harus bekerja sambilan sebagai ojek online, pedagang kecil, bahkan buruh tani, untuk menambah penghasilan.
Padahal, menurut Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005, guru berhak atas penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Realitasnya, hak itu lebih sering tinggal pasal di atas kertas. Sangat ironis.
Terakhir, bangsa tanpa guru ibarat kapal tanpa nakhoda. Tetapi bangsa yang membiarkan gurunya miskin adalah kapal yang rela menghancurkan nakhodanya sendiri.
Maka dari itu, menaikkan gaji guru dan meringankan bebannya bukanlah sekadar urusan teknis anggaran. Ia adalah investasi peradaban, keadilan moral, dan tanggung jawab negara.
***
*) Oleh : Nafi’atul Ummah, Kader Muda Nahdlatul Ulama (NU) dan Guru MJG Sa’adatu Atholibin.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |