TIMES JAKARTA, JAKARTA – Fenomena menarik tengah terjadi di awal masa pemerintahan baru menuju 2029. Nama Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang baru beberapa bulan menjabat, mendadak mencuri sorotan publik.
Dari kebijakan yang mengguncang pasar hingga gaya komunikasinya yang blak-blakan, Purbaya tampil sebagai sosok teknokrat yang tak biasa keras pada angka, santai di depan kamera.
Di balik sorotan publik itu, kiprah Purbaya sejatinya sedang menjadi ujian besar bagi arah politik ekonomi nasional. Apakah Indonesia benar-benar sedang memasuki babak baru penyeimbangan antara populisme politik dan rasionalitas teknokratis?
Presiden Prabowo Subianto dikenal dengan orientasi populis-sosialis: gagasan makan bergizi gratis, subsidi pangan, dan penguatan ekonomi rakyat. Di sisi lain, Purbaya merepresentasikan ketegasan fiskal dan disiplin anggaran.
Duet Prabowo–Purbaya dengan cepat menimbulkan satu pertanyaan strategis: apakah ini bentuk keseimbangan antara ideologi “kiri” dan “kanan” dalam politik ekonomi Indonesia modern?
Purbaya muncul bukan sebagai birokrat konvensional, tetapi teknokrat yang berani menantang status quo. Ia menegur bank “malas” menyalurkan kredit, menggeser triliunan dana negara dari rekening pasif, dan menuntut efisiensi lembaga pemerintah.
Dalam istilah ekonomi politik, ini peran disciplinarian technocrat penjaga disiplin fiskal yang memandang stabilitas makro sebagai moral publik.
Tegas, tapi kontroversial. Setiap pemangkasan anggaran dan setiap transfer yang ditunda berarti gesekan politik. Ketegangan itu pecah ketika belasan gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) mendatangi kantornya.
Media menyebutnya “18 Gubernur Geruduk Menkeu”. Mereka memprotes rencana pemotongan Dana Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2026, yang dianggap akan menjerat fiskal daerah dan menghambat pembangunan.
Purbaya tak gentar. Ia dengan tenang menegaskan: “Daerah harus memperbaiki kualitas belanja publik sebelum menuntut tambahan anggaran.” Bahkan dengan gaya selorohnya yang khas, ia sempat mengatakan “takut dipukul gubernur” pernyataan ringan, tapi sarat makna. Di situ tergambar jelas, negara kini memasuki babak baru, di mana disiplin fiskal berdiri tegak di hadapan politik daerah.
Dalam politik ekonomi Indonesia, ideologi “kiri” dan “kanan” tak pernah hadir secara murni. “Kiri” berarti keberpihakan pada rakyat kecil dan intervensi negara. “Kanan” mengacu pada disiplin fiskal dan efisiensi anggaran.
Sepanjang sejarah, Indonesia bergerak di antara dua poros itu, mencari keseimbangan antara negara pembangunan ala Asia Timur dan populisme sosial khas demokrasi elektoral.
Prabowo membawa semangat kerakyatan yang kuat. Tapi untuk menyeimbangkan ambisi besar itu dengan realitas fiskal, ia membutuhkan figur seperti Purbaya. Sebaliknya, Purbaya juga butuh legitimasi politik Prabowo untuk melindungi kebijakan rasionalnya dari resistensi birokrasi dan kepentingan daerah.
Hubungan keduanya menyerupai dialektika klasik dalam ekonomi politik: antara moralitas redistributif dan disiplin teknokratis. Bila keduanya selaras, ini bisa menjadi kekuatan besar. Tapi bila berseberangan, hasilnya adalah tarik-ulur kebijakan yang melelahkan.
Jejak Purbaya tak bisa dilepaskan dari era Jokowi. Saat krisis COVID-19, ia menjadi Ketua LPS pilar penyelamat sistem keuangan nasional. Ia juga dikenal dekat dengan Luhut Binsar Pandjaitan, salah satu tokoh kunci ekonomi Jokowi.
Banyak yang melihat kehadiran Purbaya di kabinet Prabowo sebagai “jembatan kesinambungan” dari teknokrasi Jokowi menuju populisme Prabowo. Ia bukan sekadar Menteri Keuangan, melainkan simbol transisi halus antara dua rezim ekonomi.
Krisis kecil “aksi 18 gubernur” membuka perdebatan besar: siapa sesungguhnya yang berdaulat atas uang negara? Dua dekade desentralisasi fiskal memberi ruang luas bagi daerah, tapi banyak studi menunjukkan belanja daerah sering tidak efisien.
Purbaya menangkap kenyataan itu dengan tajam: negara tak bisa terus “menyiram uang” ke daerah tanpa tata kelola yang membaik. Namun ia juga tahu, setiap langkah efisiensi mengandung risiko politik.
Ketika teknokrasi bersinggungan dengan kepentingan elektoral, perlawanan pasti muncul. Kepala daerah dengan ambisi politik nasional tentu tak ingin kehilangan sumber daya.
Maka pertemuan panas di Kementerian Keuangan itu bukan sekadar urusan APBN, melainkan pertarungan simbolik antara pusat dan daerah, antara efisiensi dan patronase politik.
Purbaya tampil dingin namun tegas. Ia seolah siap menanggung biaya politik demi disiplin fiskal. Dalam konteks pemerintahan Prabowo yang cenderung populis, keberanian semacam ini bisa menjadi modal besar tapi juga sumber risiko politik.
Gaya kepemimpinan Purbaya sering disebut sebagai “koboi”: berani, blak-blakan, dan tak ragu melawan arus birokrasi. Dalam literatur kepemimpinan, gaya maverick ini biasanya muncul dalam situasi stagnan: pemimpin mengambil langkah cepat dan tegas, menggerakkan sistem yang mandek. Ia seperti pemimpin transformasional yang mengandalkan keberanian pribadi sebagai katalis perubahan.
Tapi gaya koboi juga menyimpan bahaya. Dalam sistem demokratis dan desentralistik seperti Indonesia, kebijakan yang terlalu agresif bisa memicu resistensi politik atau ketidakpastian pasar. Pemimpin koboi yang terlalu dominan sering melemahkan prosedur kelembagaan, karena semua bergantung pada keberanian pribadi, bukan sistem yang mapan.
Pengalaman internasional memberi pelajaran menarik. Menteri Keuangan AS John Connally pada era Nixon dikenal agresif dan blak-blakan keputusannya mengguncang pasar dunia.
Lee Kuan Yew di Singapura juga menunjukkan keberanian serupa, tapi ia padukan dengan fondasi institusional yang kuat. Manmohan Singh di India berhasil menggerakkan reformasi ekonomi drastis, tapi dengan dukungan politik besar. Pelajaran pentingnya: keberanian harus diimbangi koordinasi.
Dalam konteks Indonesia, gaya koboi Purbaya adalah pedang bermata dua. Ia berpotensi memperkuat disiplin fiskal, menarik investasi, dan mempercepat modernisasi birokrasi. Namun jika tidak diimbangi koordinasi politik dan kelembagaan, ia juga bisa memicu ketegangan pusat–daerah, perlawanan elite, dan ketidakpastian fiskal.
Purbaya memang teknokrat, tapi ia bukan berdiri di ruang hampa. Di belakangnya ada bayangan Jokowi dan Luhut. Di depannya, ada Prabowo dengan visi populis yang besar. Di sisinya, ada para kepala daerah yang sedang mengukur posisi tawar. Tiga poros kekuasaan itu kini bertemu dalam satu panggung fiskal nasional.
Pertanyaannya kini: apakah duet Prabowo–Purbaya akan melahirkan harmoni baru dalam politik ekonomi Indonesia, atau justru membuka babak baru ketegangan antara populisme dan teknokrasi? Waktu akan menjawab.
Yang pasti, publik sedang menyaksikan seorang presiden dengan visi kerakyatan, seorang menteri dengan ketegasan fiskal, dan dua bayangan lama yang masih membentuk kontur kekuasaan. Dialektika ini bisa menjadi resep keseimbangan baru, atau justru sumber friksi jangka panjang.
Indonesia kini berada di tengah eksperimen politik ekonomi yang tak kecil. Dan semua mata sedang tertuju pada satu sosok: Purbaya.
***
*) Oleh : Ruben Cornelius, Aktif sebagai Penulis Opini di Media Nasional dan Lokal.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |