TIMES JAKARTA, MALANG – Hukum adalah bahasa nurani yang seharusnya menuntun manusia menuju kebenaran dan keadilan. Ia lahir dari kesadaran moral bahwa kehidupan membutuhkan aturan agar tertib dan beradab. Bahasa hukum sering kehilangan rohnya, dipermainkan oleh kekuasaan, dan dijadikan alat pembenar atas kebohongan yang dilegalkan.
Bahasa hukum yang seharusnya jujur, kini didustakan oleh kepentingan politik dan ekonomi. Kata-kata dalam peraturan perundang-undangan disusun dengan baik, tetapi ditafsirkan semena-mena dengan cara licik. Oleh sebab itu, rakyat pun bertanya dengan getir: bahasa hukum mana lagi yang kau dustakan?
Korupsi yang merajalela bukan sekadar kejahatan terhadap keuangan negara, melainkan pengkhianatan terhadap moral publik. Melukai rasa keadilan dan mencederai kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum. Ketika hukum tak lagi mampu melindungi yang lemah, maka korupsi bukan hanya soal uang, tetapi soal hilangnya nurani.
Hukum yang semestinya menjadi benteng kebenaran justru menjadi tirai yang menutupi kebusukan. Penegakan hukum terasa lebih sebagai sandiwara daripada cermin keadilan. Di situlah dusta tumbuh, sehingga bahasa hukum digunakan bukan untuk menegakkan kebenaran, melainkan memperhalus kezaliman.
Kata “keadilan” sering bergema indah namun kehilangan substansinya. Rakyat hanya mendengar janji bahwa hukum akan ditegakkan, tetapi realita yang terjadi ketimpangan perlakuan. Yang kaya bernegosiasi dengan pasal, sementara yang papa berhadapan dengan nasib.
Padahal, hukum sejatinya adalah moral yang dilembagakan. Ketika bahasa hukum dimanipulasi oleh tangan-tangan tak bermoral, maka seluruh sistem hukum menjadi rapuh. Hukum tanpa nurani adalah teks mati: indah dibaca, tetapi tak lagi memancarkan keadilan.
Ringannya hukuman bagi koruptor menjadi ironi yang menyakitkan bagi bangsa ini. Di satu sisi, rakyat kecil dihukum berat karena pelanggaran ringan. Di sisi lain, pelaku korupsi menikmati fasilitas dan remisi yang berlebihan. Dalam konteks ini, bahasa hukum berubah menjadi perisai bagi kekuasaa, bukan pedang bagi pencari keadilan.
Hukum yang seharusnya tajam ke atas, kini justru tajam ke bawah. Ketimpangan ini menorehkan luka sosial dan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga hukum. Ketika kepercayaan hilang, maka hukum kehilangan legitimasi moralnya di mata rakyat.
Keadilan seolah telah menjadi barang mewah yang sulit dijangkau oleh orang biasa. Kata-kata hukum yang mulia berubah menjadi kamuflase bagi ketidakadilan struktural. Rakyat kecil diproses cepat, sementara para pelaku kejahatan besar diselimuti oleh kerumitan prosedural.
Plato pernah berkata, “Keadilan berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.” Namun realitanya justru terbalik: kebenaran berada di bawah kaki kekuasaan, dan kekuasaan duduk di atas kepala keadilan. Padahal, selama hukum masih dibolak-balik demi kepentingan, keadilan akan terus menjadi mimpi dan angan-angan.
Hukum bukanlah sekadar pasal dan dokumen, melainkan cermin nurani bangsa. Bila bahasa hukum terus dipermainkan, hukum akan kehilangan daya hidupnya sebagai penjaga moralitas publik. Keadilan pun akan tinggal sebagai slogan, tanpa ruh dan keberpihakan.
Para penegak hukum tentu memahami bahwa kata-kata hukum yang mereka ucapkan adalah janji kepada rakyat dan Tuhan. Hukum tidak hanya membutuhkan kecerdasan rasional, tetapi juga kejernihan nurani. Tanpa keduanya, hukum akan melahirkan keputusan yang legal secara formal, namun cacat secara moral.
Bangsa ini perlu menata kembali moralitas hukumnya. Penegakan hukum harus dilandasi keberanian untuk jujur, bukan kepintaran untuk berkelit. Hukum yang hidup adalah hukum yang bersumber dari hati nurani, bukan dari teks yang dibaca tanpa rasa tanggung jawab.
Bahasa hukum sejatinya adalah bahasa kejujuran dan keberanian moral. Tidak boleh diucapkan dengan lidah yang berdusta atau ditulis dengan tangan yang korup. Di tangan yang bersih, hukum dapat menjadi cahaya; di tangan yang kotor, hukum berubah menjadi kabut yang menyesatkan.
Marilah kita bercermin dan bertanya kepada diri sendiri: bahasa hukum mana lagi yang hendak kau dustakan? Pertanyaan ini bukan sekadar sindiran, melainkan panggilan nurani untuk mengembalikan hukum kepada fitrahnya. Sebagaimana petuah Immanuel Kant, “Hukum tanpa moral adalah kosong, moral tanpa hukum adalah buta.”
Oleh sebab itu, biarlah hukum kembali bersuara jujur dengan bahasa nurani. Biarlah setiap kata dalam bahasa hukum menjadi doa bagi kebenaran, bukan alat bagi kebohongan. Dengan demikian, hukum akan menemukan kembali maknanya, sebagai cahaya yang menuntun bangsa untuk keluar dari kegelapan ketidakadilan.
***
*) Oleh : Mohamad Sinal, Managing Director Kantor Hukum Pena Justisia, dan Dosen Politeknik Negeri Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |