TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sejak awal, rute Politik Ridwan Kamil (RK) menuju Jakarta cukup problemtais antara tetap menjadi cagub di Jawa Barat atau bertarung di DKI terutama untuk mengimbangi kekuatan Anis Baswedan jika ia ditetapkan menjadi cagub. Sementara, jalan politik Pramono Anung cukup dramatis di ujung penetapannya sebagai cagub DKI.
Kehadiran Pramono Anung dan batalnya Anis maju sebagai cagub mulai terlihat kegamangan koalisi KIM-Plus dalam mendorong RK-Suswono. Keduanya kini bersaing tipis di dalam margin of error jelang 27 November yang hanya menghitung hari.
Dari banyak analis survei, trend kenaikan elektabilitas pasangan Pramono-Rano Karno akan cenderung menaik sesuai pola. Sementara pasangan RK-Suswono cenderung stagnan. Jika pola itu konsisten, maka pasangan nomor urut 3, Pramono-Rano Karno berpotensi memenangkan Pilkada DKI 2024.
Dengan fakta-fakta dukungan yang terus dinamis, masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang masih mempengaruhi naik-turunnya tingkat elektabilitas. Namun sejumlah gejala mutakhir menunjukkan bahwa pasangan Mas Pram-Bang Doel memiliki peluang mengungguli pasangan RIDO (Ridwan Kamil-Suswono).
Dilema RK-KIM-Plus
Dilema pertama yang dialami RK adalah relasi RK-KIM-Plus sebelum dan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024. Dengan putusan ini, PDIP yang memiliki 14 kursi di DPRD Jakarta dapat mengajukan calon tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.
Sebelumnya, PDIP harus berkoalisi dengan partai lain untuk bisa memajukan calonnya. Dan itu akan mengalami kesulitan dengan “tarikan politik” yang cukup deras dan kuat oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus (PKS, PKB, dan Nasdem).
Di situlah signifikansi nama RK untuk DKI. Selain untuk menandingi nama besar Anis Baswedan yang memiliki potensi suara hampir 40 persen di DKI, RK juga dijamin oleh kekuatan rombongan partai-partai pemenang pilpres.
Skenario menjadi berubah berantakan dengan keputusan PDIP mengajukan nama Pramono Anung dan Rano Karno secara mendadak setelah ada drama-drama kehadiran Anis Baswedan di kantor DPD PDIP DKI sebagai tanda akan dicalonkannya sebagai cagub oleh PDIP. Kehadiran Pramono sebagai mantan sekretaris Kabinet Presiden Jokowi selama sembilan tahun relatif mengubah pandangan para aktor utama KIM-Plus.
Mas Pram adalah sosok politisi senior yang memiliki hubungan baik dengan Jokowi dan Presiden Prabowo Subianto. Ia juga dikenal sebagai jembatan cemerlang antara Megawati-Jokowi-Prabowo. Sehingga kehadirannya di bursa pilkada DKI tidak menjadi ancaman bagi KIM-Plus. Tidak sebagaimana Anis Baswedan.
Meski popularitasnya masih minimalis, tetapi popularitas Rano Karno sebagai pendampingnya cukup membuat pasangan ini secara perlahan terus naik dan bahkan menyalipnya. Ada kesan yang tersirat bahwa dukungan KIM-Plus terhadap RK-Suswono mengalami stagnasi. Hanya PKS, di luar Golkar yang terlihat lebih aktif dibanding partai lainnya.
Dilema RK-PKS
Sebagai pemenang pemilu di DKI, PKS menjadi harapan sebagai lumbung suara pasangan RK-Suswono. Tercatat, PKS memperoleh 1.012.028 suara (19,02%). Disusul PDIP dengan 850.174 suara, dan Gerindra di posisi ketiga dengan perolehan 728.297 suara. Masalahnya, apakah suara hasil pileg PKS akan dengan mudah dikonversi kepada perolehan suara pasangan RK-Suswono? Disitulah problem elektoralnya.
Faktor yang dengan jelas tampak adalah masalah relasi antara Anis Baswedan dan “anak-anak abah” dengan posisi PKS yang tidak bersama Anis Baswedan dalam pencalonannya di Pilkada DKI. Ada pendukung setia setia Anis Baswedan yang kecewa terhadap positioning PKS dalam Pilkada DKI. Partai ini dpandang sebagai partai “yang lupa kascang akan kulitnya”.
Kekecewaan ini cenderung akan mengalihkan pemilih PKS yang setia terhadap Anis Baswedan kepada pasangan lain. Dalam hal ini yang lebih dekat adalah pasangan Pramono-Rano Karno. Sehingga, secara elektoral, potensi limpahan suara dari lumbung PKS akan cenderung berkurang secara signifikan.
Dalam logika ini, keputusan partai akan cenderung tidak sejalan dengan basis massa PKS terutama bagi mereka pendukung setia Anis. Lagi-lagi, yang menjadi “korban” adalah RK sebagai cagub yang sejak awal tidak “mendarah-daging” di DKI khususnya untuk komunitas Betawi, Jak-Mania, dan pendukung dan simpatisan Anis di DKI.
Dilema RK-Pilpres 2029
Menghubungkan pencalonan RK di DKI selalu memiliki tarikan politik ke dalam pilpres 2029. Bagi Prabowo sebagai presiden, secara politik RK akan menjadi “ancaman” jika ia terpilih menjadi gubernur DKI. RK adalah kader Partai Golkar yang sewaktu-waktu bisa diolah partainya sebagai capres 2029. Pemikiran ini tidak hanya mengganggu presiden Prabowo melainkan juga terhadap kekhawatiran mantan presiden Jokowi yang tentu saja akan menyiapkan putra sulungnya sebagai capres mendatang.
Asumsi ini cukup tergambar baik secara tersurat maupun tersirat atas perbedaan cara mendukung presiden dan mantan presiden terhadap cagub-cawagub dari KIM-Plus di DKI dan Jawa Tengah. Ada apa dengan Jawa Tengah? Jagoan PDIP, Andika Perkasa yang bersaing ketat dengan jagoan KIM-Plus, Moh. Luthfi-Yaj Yasin diendors secara terang-terangan oleh presiden dan mantan presiden Jokowi.
Diantara alasannya adalah, selian karena mewaspadai Andika sebagai rising star presiden RI 2029, Jawa Tengah merupakan lumbung suara nasional. Dan ini yang paling dramatis: kelanjutan persaingan pengaruh antara Jokowi dan Megawati Soekarno Putri setelah Pebruari lalu.
Last but not least, pesona RK yang dahulu membahana dan kekuatan politik KIM-Plus dengan endorsment dari partai pemenang pilpres akan diuji oleh “kecerdasan pemilih” warga DKI yang secara psikografi dan demografi berbeda dengan daerah lainnya. Pilkada DKI juga akan segera mengkonfirmasi apakah duplikasi metode dan strategi pada pilpres oleh KIM-Plus akan berhasil diujicobakan pada pilkada DKI. Kita Tunggu.
***
*) Oleh : Abdul Mukti Ro’uf, Kolomnis, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Alumni Jurusan Aqidah-Filsafat IAIN Susqa Pekanbaru Riau.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Tiga Dilema Ridwan Kamil di Pilkada DKI 2024
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |