TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Ponorogo 2024 telah berakhir, namun di lain sisi dampak dari kompetisi tersebut masih sangat terasa dalam kehidupan sosial dan politik ditingkatan masyarakat akar rumput. Salah satu dampak yang paling signifikan adalah munculnya polarisasi dalam masyarakat terutama dalam konteks sosial media.
Polarisasi ini merujuk pada pembagian yang semakin tajam antara kelompok-kelompok dengan pandangan politik yang berbeda, yang seringkali menyebabkan perpecahan dalam hubungan sosial dan kerukunan antar warga.
Dalam konteks Kabupaten Ponorogo, polarisasi ini bukan hanya mencerminkan perbedaan pilihan politik, tetapi juga membawa dampak sosial yang lebih luas, termasuk mengancam keharmonisan masyarakat pada dunia maya dan dunia nyata. Fenomena tersebut tentu tidak akan produktif untuk pembangunan daerah kedepan. Akan muncul sentimen-sentimen politis sebagai akibat dari adanya polarisasi yang tidak kita harapkan.
Polarisasi sebagai Dampak Kompetisi Politik
Pilkada merupakan ajang yang sangat kompetitif dan seringkali memunculkan dinamika yang mempengaruhi persepsi politik masyarakat. Di Ponorogo, di mana tradisi politik masih sangat kental dengan pengaruh tokoh-tokoh lokal dan jaringan partai politik, Pilkada 2024 tidak terkecuali menumbuhkan persaingan yang tajam antarpendukung kandidat.
Ketika kampanye dimulai, masing-masing pasangan calon (paslon) berusaha menggali isu-isu yang relevan dengan masyarakat, baik yang berhubungan dengan pembangunan daerah, kesejahteraan, maupun identitas politik. Isu-isu ini seringkali dibingkai dengan cara yang memecah belah, dan bukannya menyatukan.
Pelebaran jurang antara pendukung masing-masing calon seringkali berlanjut hingga pasca-pemilihan, menciptakan polarisasi yang mendalam di antara kelompok masyarakat. Seperti yang terlihat di banyak daerah, Pilkada dapat memperburuk perbedaan sosial yang ada, menciptakan “kelompok kami” versus “kelompok mereka”.
Jika perbedaan ini tidak ditangani dengan bijaksana, maka polarisasi yang timbul dapat mengarah pada konflik sosial dan kehilangan rasa persatuan yang selama ini menjadi kekuatan dalam kehidupan bermasyarakat. Budaya caci maki, dendam dan saling mendeskreditkan satu sama lain menjadi hal yang dilimpahkan sebagai akibat yang ditimbulkan.
Dampak Negatif Polarisasi terhadap Keharmonisan Sosial
Polarisasi yang terjadi setelah Pilkada di Ponorogo tentu dapat berpotensi memperburuk hubungan antar warga jika tidak segera ada kedewasaan antar pendukung ataupun calon. Ketika masyarakat terpecah menjadi dua kubu yang saling berseberangan, kebersamaan dan rasa saling pengertian bisa terkikis.
Interaksi sosial di tingkat keluarga, pertemanan, bahkan di ruang publik dibumbui dengan memanasnya interaksi media sosial, bisa menjadi tegang atau penuh prasangka. Dalam konteks Ponorogo yang mayoritas penduduknya adalah masyarakat tradisional dengan nilai-nilai kekeluargaan yang kuat, perpecahan akibat polarisasi yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial tentu sangat harus kita hindari.
Selain itu, pada konteks lain polarisasi juga dapat memperburuk ketegangan antar kelompok pada level akar rumput. Meskipun Ponorogo dikenal sebagai daerah dengan toleransi antar umat beragama yang baik.
Dalam situasi politik yang memanas, isu-isu sensitif terkait identitas dan afiliasi politik bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memecah belah persatuan. Polarisasi berpotensi menciptakan stereotip yang salah terhadap kelompok lain, mengarah pada diskriminasi, dan memperburuk ketidakpercayaan antar warga.
Pentingnya Pembentukan Wadah Rekonsiliasi Pasca Pilkada
Dalam menghadapi polarisasi pasca Pilkada Kabupaten Ponorogo 2024, penting untuk segera diupayakan rekonsiliasi dan penyatuan kembali masyarakat.
Pembentukan wadah-wadah dialog antar kelompok politik dan masyarakat sangat penting untuk meredakan kerenggangan yang ada. Para tokoh masyarakat, baik yang terlibat dalam politik maupun yang tidak, memiliki peran penting dalam mencairkan suasana dan memperbaiki hubungan antar kelompok.
Rekonsiliasi bisa dimulai dari tingkat desa, dengan mengadakan pertemuan-pertemuan yang melibatkan semua pihak untuk membicarakan solusi bersama. Selain itu, pemerintah daerah juga harus mengambil langkah proaktif untuk merangkul semua pihak, mengedepankan prinsip inklusifitas, dan menghindari kebijakan yang menguntungkan satu pihak saja.
Pemerintah bisa mengadakan program-program yang melibatkan semua kelompok, seperti pelatihan keterampilan atau program pembangunan infrastruktur yang melibatkan masyarakat luas, agar mempererat kembali hubungan sosial yang mungkin sempat renggang akibat persaingan politik.
Pendidikan Politik untuk Mengurangi Polarisasi
Selain upaya rekonsiliasi, pendidikan politik yang mendalam juga merupakan kunci dalam mengurangi dampak polarisasi. Masyarakat Kabupaten Ponorogo perlu diberi pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya keberagaman pendapat dan pentingnya menjaga persatuan meskipun memiliki pandangan politik yang berbeda.
Pendidikan politik yang menekankan pada kesadaran politik yang kritis namun tidak membenci, bisa menjadi alat untuk mengurangi ketegangan dan membantu masyarakat lebih menghargai pluralitas. Pemerintah Kabupaten Ponorogo dan partai politik di tingkat lokal juga harus mengambil tanggung jawab untuk menjaga keharmonisan masyarakat pasca Pilkada.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan menciptakan ruang-ruang diskusi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk yang mendukung calon yang kalah. Para pemimpin politik yang terpilih harus menunjukkan sikap inklusif dan tidak memihak hanya pada kelompok pendukung mereka, melainkan berusaha untuk mewujudkan pemerintahan yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Selain itu, media massa dan media sosial juga memiliki peran penting dalam proses ini. Media harus berperan sebagai penyambung informasi yang menyejukkan, menghindari pemberitaan yang menghasut atau memanaskan situasi. Selain itu, media sosial juga harus digunakan dengan bijaksana oleh semua pihak, dengan tidak membiarkan informasi hoaks atau ujaran kebencian berkembang dan memperburuk polarisasi.
Polarisasi masyarakat pasca Pilkada Kabupaten Ponorogo 2024 merupakan tantangan besar yang perlu segera diatasi untuk menjaga keharmonisan dan stabilitas sosial. Jika dibiarkan berlarut-larut, polarisasi ini dapat merusak hubungan sosial, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik, dan menciptakan ketegangan yang tidak produktif.
Oleh karena itu, upaya rekonsiliasi, pendidikan politik, dan peran aktif dari pemerintah serta partai politik sangat penting untuk memastikan bahwa masyarakat Ponorogo tetap bersatu meskipun memiliki pandangan politik yang berbeda. Dengan langkah-langkah yang bijaksana, polarisasi dapat dikelola dengan baik, dan Kabupaten Ponorogo dapat melangkah menuju masa depan yang lebih maju dan harmonis.
***
*) Oleh : Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Mahasiswa Program Magister Ilmu Administrasi Publik FISIPOL Universitas Gadjah Mada, dan Pengurus PB PMII.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Urgensi Mitigasi Polarisasi Masyarakat Pasca Pilkada 2024
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |