https://jakarta.times.co.id/
Kopi TIMES

Moderasi Beragama sebagai kebutuhan Masyarakat Majemuk

Senin, 26 Desember 2022 - 15:15
Moderasi Beragama sebagai kebutuhan Masyarakat Majemuk Abu Dzar Al Ghifari, Mahasiswa Jurusan Studi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Keberagaman di Indonesia merupakan keniscayaan yang tidak dapat lagi diingkari lagi. BPS mencatat Indonesia memiliki lebih dari 300 suku etnis. Indonesia memiliki 6 agama dengan penganut terbanyak seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katolik, Konghucu serta tercatat ada 187 aliran kepercayaan.

Hal ini merupakan suatu yang patut disyukuri, hal itu juga menunjukan bahwa Indonesia kaya akan budaya, ras, etnis, agama yang harus disatukan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman merupakan kehendak serta anugerah dari Tuhan yang tak dapat lagi diingkari, seandainya Tuhan berkehendak menjadikan hamba-nya satu jenis, hal tersebut merupakan hal yang mudah bagi Tuhan. 

Akan tetapi Tuhan lebih memilih menjadikan hamba-nya bermacam-macam (majemuk). Mengingkari hal tersebut sama saja mengingkari kehendak Tuhan.

Selain dampak positif ternyata keberagaman juga membawa dampak negatif bagi Indonesia. Mulai dari konflik antar ras dan agama, sampai ke masalah intra-agama. Contoh masalah intra-agama yang terjadi di Indonesia baru-baru ini adalah kasus dugaan penghinaan makam keramat di Lombok, Nusa Tenggara Barat oleh Mizan Qudsiyah.  Yang bersangkutan divonis 6 bulan penjara atas tindakannya tersebut.

Sebelum itu pada tahun 2015 pernah terjadi konflik antar-agama, yaitu Pembakaran Gereja di Aceh Singkil hingga menimbulkan korban jiwa. Berdasarkan hal tersebut Indonesia membutuhkan suatu gagasan yang dapat mencegah hal-hal tersebut kembali terjadi di Indonesia yaitu dengan Moderasi beragama.

Moderasi beragama merupakan cara atau metode beragama dengan tidak berlebihan, di dalam keterbatasan manusia dalam memahami teks atau sumber agama dengan mewujudkan esensi ajaran agama, yaitu dengan melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemasalahatan umum demi terciptanya persatuan dan keharmonisan masyarakat Indonesia, atau biasa dinamakan dengan Washatiyyah. Manusia berpotensi salah atau tergelincir saat memahami teks sumber agama, bisa dengan membacanya tanpa memperhatikan konteks, atau bisa juga dengan membacanya tanpa bimbingan dari orang yang lebih ahli, dan juga bisa dengan membiarkan akal, bebas dalam mencerna tersebut hingga mengabaikan teks.

Seseorang yang moderat tidaklah sulit untuk memilah-milah bagian dalam agamanya, dan direspon sesuai dengan porsinya, yang sulit adalah cara untuk mengetahui bagian yang pokok atau bagian yang tidak pokok dalam beragama dikarenakan hal tersebut membutuhkan studi yang lebih dalam lagi melalui sumber-sumber yang otoritatif. Ia juga harus berwawasan luas untuk mengetahui batas-batas ekstrem dalam beragama yang harus dimoderasi.

Sementara seseorang beragama yang ekstrem mungkin saja bisa menguraikan dengan orasi-orasi yang memukau tentang bagian-bagian agama, akan tetapi ia akan kesulitan ketika menghadapi masalah yang terjadi di bagian-bagian tersebut, karena ia tidak mengetahui bagian mana yang sifatnya pasti (qath’i) dan yang sifatnya praduga belaka (ijtihadi).

Manusia yang memeluk agama harus mengetahui bahwasanya ia tidak tinggal sendirian di bumi, dan ia hidup di dua dimensi, yaitu dimensi dirinya (antara dirinya dan tuhan) dan dimensi pihak lain (antara dirinya dan makhluk lain), sedekat-dekatnya seorang hamba dengan Tuhan, dirinya tidak dapat menafikan bahwasanya ia tinggal bersama makhluk lain di muka bumi. Bahkan ketika meninggalkan dunia manusia juga masih terikat dengan hak-hak adami yang harus ditunaikan, seperti pembagian harta waris, pelunasan hutang dan lain-lain. Dimensi pihak lain menjadi luas pada saat manusia ditempatkan di komunitas yang memiliki segala peran, tanggung jawab, tugas yang bermacam-macam yang disandangnya dalam ikatan-ikatan sosial.

Moderasi beragama secara konstitusi memiliki dasar yang kuat, Undang Undang Dasar 1945 telah menyatakan bahwa “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Terdapat kewajiban negara yang menjamin kemerdekaan setiap penduduk agama untuk memeluk dan menjalankan agamanya sesuai dengan kepercayaan masing.

Moderasi beragama diperlukan untuk mendialogkan dan berinteraksi dalam konteks keragaman. Ini mengharuskan kita untuk tidak mengurung diri dan mendorong untuk bersikap inklusif, adaptif, solutif. Dengan demikian akan terealisasi sikap umat beragama yang saling menghargai, saling menjalani kesepakatan, dan sama-sama memberi solusi atas suatu persoalan. Sikap seperti inilah yang menjadikan Indonesia berdiri tegak.

Prinsip moderasi beragama telah membawa Indonesia menjadi negara yang bersatu di saat masa kemerdekaan dengan mempersatukan para tokoh-tokoh yang memiliki kepercayaan dan kepentingan serta berasal dari suku yang berbeda-beda, mereka bersatu menyatukan langkah untuk menerima bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai kesepakatan bersama.

***

*) Oleh: Abu Dzar Al Ghifari, Mahasiswa Jurusan Studi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.