https://jakarta.times.co.id/
Berita

Perkap yang Memungkinkan 17 Jabatan Sipil Diduduki oleh Anggota Polri Tuai Pro-Kontra

Senin, 15 Desember 2025 - 13:30
Perkap yang Memungkinkan 17 Jabatan Sipil Diduduki oleh Anggota Polri Tuai Pro-Kontra Ilustrasi- Anggota Polri aktif. (FOTO: dok Polri)

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Keluarnya Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 10 Tahun 2025 yang memungkinkan 17 jabatan sipil bisa diduduki oleh anggota Polri aktif menuai pro-kontra.

Mantan Menkopolhukam, Mahfud MD mengkritik Perkap tersebut. Ia menilai, aturan itu bertentangan dengan dua undang-undang. ​Yaitu pertama, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. 

Di mana, kata Mahfud MD, di dalam Pasal 28 Ayat 3 disebutkan bahwa anggota Polri yang mau masuk ke jabatan sipil itu hanya boleh apabila minta berhenti atau pensiun dari Dinas Polri. 

"Ketentuan terbatas ini sudah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114 Tahun 2025," katanya dikutip TIMES Indonesia, dari YouTube pribadinya, Senin (15/12/2025).

Kedua, kata mantan Ketua MK ini, ​Perkap tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang ASN, terutama Pasal 19 Ayat 3 yang menyebut bahwa jabatan-jabatan sipil di tingkat pusat boleh diduduki oleh anggota TNI dan anggota Polri, sesuai dengan yang diatur di dalam Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri.

"​Undang-Undang TNI sudah mengatur adanya 14 jabatan, yang kalau diperluas menjadi 16, sudah mengatur bahwa TNI bisa ke situ. Tapi Undang-Undang Polri sama sekali tidak menyebut jabatan-jabatan yang bisa diduduki oleh Polri," katanya. 

​Dengan demikian, kata dia, ketentuan Perkap itu, kalau memang diperlukan, itu harus dimasukkan di dalam undang-undang, tidak bisa hanya dengan sebuah Perkap jabatan sipil itu diatur.

"​Saudara juga nggak benar lho kalau mengatakan, 'Loh, Polri itu kan sudah sipil, masa tidak boleh masuk ke jabatan sipil?' Ya memang begitu aturannya. Sipil tidak boleh masuk ke sipil juga kalau di ruang lingkup tugas dan profesinya," katanya. 

​Misalnya, Mahfud MD mencontohkan, seorang dokter bertindak sebagai jaksa. Demikian juga jaksa juga tidak bertindak sebagai dokter. "Jadi dari sipil ke sipil pun ada pembatasannya," jelasnya. 

​Oleh sebab itu, tambah dia, aturan tersebut harus diproporsionalkan agar asas legalitas tidak dipertentangkan dengan fakta-fakta keluarnya Perkap yang sudah dibuat oleh Kapolri.

"​Maaf, saya tidak bicara atas nama anggota Komisi Reformasi karena anggota Komisi Reformasi tidak boleh membicarakan hal-hal semacam itu sebagai pendapat resmi. Tapi saya sebagai dosen hukum tata negara," ujarnya. 

Tak Bertentangan 

Sementara itu, analis intelijen, pertahanan dan keamanan, Ngasiman Djoyonegoro menyatakan bahwa Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2025 tidaklah bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK.

Pria yang akrab dipanggil Simon itu menyebut bahwa Perkap itu sebagai upaya untuk menegaskan kepastian hukum distribusi jabatan Polri agar tidak di wilayah abu-abu.

“Perkap Nomor 10 Tahun 2025 harus dipahami sebagai bentuk penerjemahan teknis atas substansi Putusan Mahkamah Konstitusi, bukan sebagai upaya menyimpangi atau melawan putusan tersebut,” katanya.

Menurutnya, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan pentingnya kepastian hukum terkait penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi. Oleh karena itu, kehadiran Perkap 10/2025 justru diperlukan untuk memberikan kejelasan administratif dan batasan kelembagaan.

“Putusan MK tidak melarang pengaturan lebih lanjut, tetapi meminta agar tidak ada ruang abu-abu. Perkap ini hadir untuk menutup celah ketidakpastian hukum yang sebelumnya ada,” jelasnya. 

Ia menambahkan, daftar kementerian dan lembaga yang dapat ditempati anggota Polri dalam Perkap tersebut menunjukkan adanya prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas.

“Penugasan anggota Polri di luar institusi tidak dilakukan secara bebas, melainkan dibatasi secara tegas dan tetap dalam kerangka sistem ketatanegaraan,” katanya.

Simon juga menilai anggapan bahwa Perkap 10/2025 melanggar Putusan MK tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

“Perkap ini tidak menghidupkan kembali norma yang telah dibatalkan MK, melainkan mengatur aspek teknis pelaksanaan tugas sesuai kewenangan Kapolri,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa regulasi internal semacam ini justru penting untuk menjaga profesionalisme dan netralitas Polri.

“Selama tidak mengubah norma undang-undang dan tetap tunduk pada konstitusi, Perkap adalah instrumen sah dalam tata kelola kelembagaan Polri,” kata Simon.

Simon menyerukan kepada pembuat kebijakan agar segera direkomendasikan revisi Undang-Undang Polri, sehingga pengaturan mengenai penugasan anggota Polri dapat ditegaskan langsung di dalam UU. 

“Sebagaimana halnya Undang-Undang TNI yang secara jelas mengatur kementerian dan lembaga apa saja yang dapat diduduki oleh anggota TNI,” kata Simon.

Rekomendasi itu dinilai masuk akal karena Polri telah melakukan konsultasi dengan Komisi III DPR RI dan Presiden, khususnya dalam masa transisi sebelum revisi UU Polri dilakukan, serta dengan memperhatikan rekomendasi Tim Reformasi Polri. 

“Segala bentuk perbaikan Polri, saya kira telah diarahkan untuk meningkatkan kualitas keamanan nasional kita sebagai bagian dari upaya persiapan menuju Indonesia Emas 2045,” ujarnya. (*)

Pewarta : Moh Ramli
Editor : Ferry Agusta Satrio
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.