TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kerusuhan yang meluas dalam beberapa pekan terakhir seolah menjadi cermin retaknya kepercayaan rakyat kepada para wakilnya di Senayan. Suara amarah yang bergemuruh di jalanan dianggap lahir dari satu akar yang sama: kekecewaan terhadap lembaga legislatif yang tidak lagi dipercaya membawa aspirasi rakyat.
Di tengah situasi itu, Majlis Mujadalah Kiai Kampung (MKK) muncul dengan sebuah seruan moral. Mereka menyebutnya Mau’idlah Kebangsaan. Dokumen tersebut dibacakan dan disahkan oleh sejumlah tokoh lintas bidang yang bergabung dalam MKK, mulai dari akademisi, ulama, hingga praktisi komunikasi publik.
“Berbagai produk undang-undang yang dihasilkan DPR dirasakan tidak lagi mencerminkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan yang justru menambah kesengsaraan rakyat,” tulis MKK dalam seruannya, Kamis (4/8/2025).
Nada teguran itu jelas: DPR sedang mengalami krisis kepercayaan. Para kiai kampung menilai lembaga legislatif terlalu jauh dari denyut nadi masyarakat. Kebijakan seperti kenaikan pajak dan tunjangan pejabat, misalnya, dianggap memicu kecemburuan sosial dan semakin memperlebar jarak antara rakyat dengan wakilnya.
Seruan itu tidak berhenti pada kritik. MKK menawarkan langkah-langkah konkret yang mereka sebut sebagai jalan keluar dari krisis. Reformasi DPR menjadi kata kunci. Audit anggaran secara transparan, pembersihan dari praktik korupsi dan tindakan amoral, hingga penghapusan fasilitas berlebihan yang sering menimbulkan rasa iri di masyarakat, menjadi bagian dari rekomendasi utama.
Tak hanya itu, MKK juga mendorong penetapan Key Performance Indicator (KPI) yang bisa diakses publik. Dengan begitu, rakyat dapat menilai kinerja wakilnya secara objektif, bukan sekadar dari citra atau retorika politik.
Kiai kampung ini pun menuntut pengawasan ketat atas kebijakan pemerintah, agar program yang digadang-gadang pro-rakyat benar-benar berjalan efektif dan berdampak nyata. Beberapa undang-undang yang dirasa membebani rakyat diminta segera dicabut dan diganti dengan aturan yang berpihak pada kepentingan publik.
Pasal 33 UUD 1945 juga mendapat sorotan. Menurut MKK, pasal yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat harus kembali menjadi rujukan utama.
“Revisi dan pembatalan terhadap undang-undang yang bertentangan dengan pasal ini harus segera dilakukan,” tegas seruan tersebut.
Lebih jauh, MKK menuntut DPR membuka akses seluas-luasnya bagi rakyat untuk bertemu dan berkomunikasi dengan wakilnya. Prosedur birokratis yang rumit dianggap hanya menambah jurang antara rakyat dan dewan.
Seruan Mau’idlah Kebangsaan ditandatangani oleh sejumlah tokoh, di antaranya Prof. Dr. R. Siti Zuhro, Drs. Marsudi Syuhud, Dr. Ngatawi Al Zastrouw, Prof. Effendi Gazali, Prof. Dr. H. Yuddy Chrisnandi, Wahyu Muryadi, Mohamad Najib Salim Atamimi, dan Teddy Risnandi.
Bagi MKK, seruan ini bukan sekadar kritik. Mereka menyebutnya sebagai bentuk partisipasi dan kepedulian terhadap kehidupan berbangsa.
“Demikian saran dan masukan ini disampaikan sebagai wujud komitmen kami untuk menciptakan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh dan nyata,” demikian penutup seruan mereka.
Mau’idlah Kebangsaan menjadi peringatan keras bagi DPR. Bukan hanya suara kiai kampung yang bicara, tapi gema kegelisahan rakyat yang menuntut perubahan. (*)
Pewarta | : Imadudin Muhammad |
Editor | : Imadudin Muhammad |