TIMES JAKARTA, JAKARTA – Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025 menjadi isu serius dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sebab, pendidikan adalah alat terpenting untuk pembebasan.
Anggota Komisi X DPR RI F-NasDem Lita Machfud Arifin memiliki catatan khusus sebagai refleksi atas Hardiknas tahun ini.
“Ini bukan sekadar seremonial, tetapi momen refleksi besar: apakah pendidikan kita telah benar-benar menjadi alat pemerdekaan, sebagaimana dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara dan diamanatkan UUD 1945?,” ujar Lita Machfud kepada TimesIndonesia, Jumat (2/5/25)
Dalam momentum Hari Pendidikan Nasional, sebagai wakil rakyat di Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan, Lita mencermati beberapa pandangan reflektif dan sekaligus kritis atas kondisi pendidikan Indonesia saat ini.
Pertama, Lita menyadari bahwa mahalnya biaya pendidikan masih menjadi beban nyata bagi banyak keluarga Indonesia.
“Termasuk di Dapil saya, Jawa Timur I. Meski konstitusi mengamanatkan pendidikan sebagai hak dasar, realitanya masih banyak orang tua yang harus memilih antara memenuhi kebutuhan harian atau membiayai pendidikan anak,” tutur Lita.
“Biaya masuk sekolah swasta yang tinggi, serta jalur mandiri di perguruan tinggi negeri yang nyaris tak terjangkau, menandakan bahwa akses pendidikan yang merata dan adil masih menjadi PR besar,” tambahnya.
Kedua, lanjut Lita, soal maraknya kepala keluarga yang kehilangan pekerjaan atau jobless, ini erat kaitannya dengan ketidaksiapan sistem pendidikan kita dalam menjawab kebutuhan dunia kerja.
“Banyak lulusan baik dari SMK maupun perguruan tinggi belum siap pakai karena kesenjangan antara kurikulum dan realitas industri. Maka, kami di Komisi X terus mendorong pemerintah agar penguatan pendidikan vokasi, pelatihan kerja berbasis kebutuhan lokal, dan inkubasi wirausaha menjadi agenda utama,” beber Ketua DPW NasDem Jatim ini.
Lebih lanjut, apakah pendidikan Indonedia gari ini sudah sesuai dengan yang diamanatkan UUD 1945? Lita menilai masih perlu ikhtiar keras.
“Jawaban jujur saya: kita masih belum sepenuhnya sampai pada tujuan itu. Pendidikan seharusnya menjadi alat pemerdekaan dan pemerataan sosial. Namun saat ini, justru seringkali menjadi instrumen diskriminatif karena hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu secara ekonomi. Inilah yang perlu kita koreksi bersama-sama,” terang Lita.
Contoh dekat, sebagai legislator dari Dapil Jawa Timur I, Lita mencatat di Surabaya dan Sidoarjo masih terdapat kesenjangan kualitas pendidikan antarwilayah.
“Banyak anak muda yang putus sekolah karena tekanan ekonomi keluarga, terlebih pasca pandemi. Masih terdapat guru honorer yang belum mendapatkan kepastian status dan kesejahteraan yang layak,” urai Lita.
Atas dasar itu, bagi Lita, Kebutuhan pelatihan kerja dan pendidikan berbasis potensi lokal seperti logistik, maritim, dan industri kreatif perlu ditingkatkan.
Lita percaya bahwa pendidikan bukan sekadar urusan sekolah, tetapi soal keadilan sosial, penguatan keluarga, dan investasi bangsa jangka panjang. Maka dari itu, Lita terus mendorong agar kebijakan pendidikan nasional berpihak pada rakyat kecil, memperkuat pendidikan karakter, dan membekali generasi muda dengan keterampilan hidup.
“Mari kita terus suarakan pendidikan yang berpihak pada rakyat, membebaskan dari ketertinggalan, dan menyiapkan masa depan yang lebih cerah bagi anak-anak Indonesia,” pungkas Lita Machfud. (*)
Pewarta | : Rafyq Panjaitan |
Editor | : Imadudin Muhammad |