TIMES JAKARTA, JAKARTA – China secara resmi mengumumkan akan memberlakukan biaya tambahan bagi kapal-kapal Amerika Serikat yang berlabuh di pelabuhannya. Biaya labuh kapal itu sebagai bentuk pembalasan atas kebijakan serupa yang diterapkan AS terhadap kapal-kapal China. Kebijakan retaliasi ini akan mulai efektif pada hari Selasa mendatang.
Kementerian Perhubungan China dalam pernyataan resminya pada Jumat (10/10/2025) waktu setempat, menegaskan bahwa kebijakan AS yang diberlakukan sejak April lalu dinilai tidak fair. "Biaya-biaya yang diberlakukan AS April lalu 'sangat melanggar' prinsip-prinsip perdagangan internasional dan Perjanjian Pengiriman Maritim China-AS, serta menyebabkan 'kerugian serius' pada perdagangan maritim kedua negara," bunyi pernyataan resmi tersebut.
Dalam implementasinya, China akan menerapkan tarif yang lebih tinggi dibandingkan AS. Kapal-kapal AS akan dikenakan biaya sebesar 400 yuan (sekitar Rp934.000) per ton bersih, sementara AS hanya membebankan 50 dolar AS (sekitar Rp831.000) per ton bersih untuk kapal-kapal China. Kebijakan ini akan mencakup kapal-kapal yang dimiliki atau dioperasikan oleh entitas dengan kepemilikan saham AS minimal 25%, kapal yang dibangun di AS, serta kapal berbendera Amerika.
Langkah pembalasan ini tidak muncul secara tiba-tiba. "Pada April, pemerintah AS menetapkan biaya untuk kapal yang dibangun di China menyusul tinjauan perwakilan dagang AS yang dilakukan oleh pemerintahan Joe Biden dan Donald Trump yang menyimpulkan bahwa tindakan, kebijakan, dan praktik China tidak rasional dan menghambat atau membebani perdagangan AS," menjadi latar belakang kebijakan ini.
Eskalasi ketegangan perdagangan ini terjadi dalam konteks yang lebih luas. Kebijakan retaliasi pelabuhan ini menyusul langkah China awal pekan ini yang meningkatkan pembatasan ekspor logam tanah jarang dan teknologi terkait - komponen kritis untuk sektor teknologi tinggi, elektronik, otomotif, dan militer. Selain itu, otoritas China juga dilaporkan meningkatkan ketegangan dengan mengincar teknologi AS dalam kasus hukum, tepat menjelang negosiasi bilateral antara kedua negara.
Data dari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) menunjukkan ketimpangan yang signifikan dalam industri pembuatan kapal, dimana China menguasai 53,3% pasar global sementara AS hanya 0,1%, yang turut mempengaruhi dinamika kekuatan dalam perseteruan dagang ini. (*)
Pewarta | : Antara |
Editor | : Faizal R Arief |