TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pemerintah Presiden Prabowo Subianto tengah mengerjakan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Targetnya, proyek ini rampung pada Agustus 2025.
Penulisan ulang sejarah Indonesia menuai kontroversi. Publik mengkhawatirkan sejarah yang digodok tersebut politis dan menghilangkan kesejarahan Tanah Air yang sesungguhnya.
Banyak pihak yang merespon tentang proyek yang tengah menjadi sorotan publik tersebut. Salah satunya yakni Yanuardi Syukur. Ia adalah dosen antropologi Universitas Khairun, Ternate.
Yanuardi mengatakan, sejarah memang tidak terlepas dari konstruksi sosial-politik. Saat ini, masyarakat hidup dalam era demokrasi. Untuk itu, konstruksi sejarah nasional haruslah dibuat secara inklusif.
"Inklusif dalam arti mendapatkan masukan dari para pihak tidak hanya sejarawan, tapi juga berbagai komunitas adat, keagamaan, kelompok rentan/marginal seperti Papua, etnis minoritas, perempuan, dan sebagainya. Hal ini agar sejarah nasional menjadi milik bersama seluruh masyarakat," katanya saat diwawancara TIMES Indonesia, Rabu (11/6/2025).
Jika penyusunan sejarah nasional tidak dibuat secara inklusif, kata dia, maka dikhawatirkan jangan sampai narasi yang dibangun tidak holistik, atau hanya menguntungkan satu pihak dan melemahkan pihak lainnya.
"Untuk itu, menurut saya para penulis perlu merujuk pula berbagai studi etnografi sebab karya etnografi biasanya lebih lama dan mendalam terkait satu objek studi," jelas pendiri lembaga kajian Islam dan Global, Center for Islamic and Global Studies (CIGS) ini.
"Sejarah dari Bawah"
Yanuardi menilai, kritikan dari masyarakat sipil terkait penulisan ulang sejarah Indonesia menunjukkan adanya ambivalensi antara penyatuan memori kolektif melalui narasi tunggal oleh negara di satu sisi dan dorongan untuk menciptakan "sejarah dari bawah" yang melibatkan masyarakat luas.
"Menurut saya, penting untuk memasukkan berbagai konten baru. Misalnya, pada bagian diaspora dapat memasukkan tokoh Muslim asal Tidore yang diasingkan ke Cape Town, yakni Tuan Guru Abdullah bin Qadhi Abdussalam yang menulis Al-Qur’an dengan tulisan tangan (sekitar 6 copy) dan mendirikan masjid pertama di Afsel," katanya.
"Selain Syekh Yusuf, beliau adalah ulama Indonesia yang sampai sekarang kiprahnya berpengaruh di Afsel. Terkait diaspora, bagus juga jika terkait masjid-masjid agar memasukkan peran berbagai masjid yang didirikan oleh masyarakat Indonesia di luar negeri, misalnya IMAAM Center di Maryland, AS yang berpengaruh dalam menyebarkan dakwah Islam," tambahnya.
Ia menambahkan, terkait konten kesultanan Islam di Maluku Utara, misalnya dalam buku ‘Indonesia dalam Arus Sejarah’ (2012), sebaiknya tidak hanya membahas Ternate dan Tidore, akan tetapi perlu ditambahkan Jailolo dan Bacan. Pada abad ke-14, empat kesultanan tersebut membentuk konfederasi yang dikenal sebagai ‘persekutuan Moloku Kie Raha’.
Ia menyebut, kiprah ormas-ormas keagamaan dalam bangunan kebangsaan juga patut untuk diangkat. Sebab, ormas-ormas tersebut adalah mitra pemerintah dalam mendidik dan memberdayakan masyarakat luas.
Lalu, berbagai konten buku juga sebaiknya dibuatkan grafis yang menarik dan enak dilihat, agar memudahkan bagi pembaca untuk memahami sejarah tersebut. Sebab sejarah kerap dianggap berat. Maka, menulisnya dengan bahasa yang ringan lebih memudahkan pembaca, terutama anak muda.
Menurutnya, publik berharap agar berbagai kontribusi masyarakat dapat dimasukkan dalam buku tersebut. Artinya, peran kesejarahan tidak hanya milik elite tapi juga milik "orang biasa".
Terkait proteksi lingkungan, lanjut dia, ada baiknya kiprah masyarakat adat dalam menjaga lingkungan dimasukkan. Saat ini, isu lingkungan menjadi penting sekali sebab di berbagai tempat terjadi penebangan hutan secara liar yang itu berbahaya bagi lingkungan dalam jangka panjang.
"Sejarah suku-suku bangsa di Indonesia juga menurut saya perlu dimasukkan. Kemdikbud pernah menerbitkan Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia karya M. Junus Melalatoa. Buku tersebut bagus sebagai referensi untuk mengulas beberapa suku di Indonesia," katanya.
"Kita berharap buku tersebut dapat diuji secara publik sebelum diterbitkan agar mendapatkan insights dari masyarakat. Ketika diterbitkan akhirnya akan menjadi karya yang partisipatif antara pemerintah dan masyarakat," ujar Yanuardi Syukur. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Harus Dilakukan Secara Terbuka
Pewarta | : Moh Ramli |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |