TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di balik kemudahan satu klik saat berbelanja daring, sebuah kebiasaan baru tumbuh diam-diam. Buy Now Pay Later—atau yang lebih akrab disebut paylater—perlahan mengubah cara jutaan orang Indonesia mengelola uangnya. Tanpa kartu kredit, tanpa agunan, dan sering kali tanpa perhitungan matang, konsumen—terutama generasi muda—terbiasa menunda bayar demi memenuhi kebutuhan, bahkan sekadar keinginan sesaat.
Awalnya, semua terasa ringan. Barang datang lebih dulu, urusan bayar belakangan.
Namun, di balik kenyamanan itu, risiko mulai menumpuk. Dan ketika pertumbuhan melaju terlalu cepat, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya menarik garis tegas.
Pada 15 Desember 2025, OJK mengesahkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 32 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Buy Now Pay Later. Regulasi ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan sinyal kekhawatiran: BNPL tak lagi bisa diperlakukan sebagai inovasi tanpa konsekuensi.
“Kami ingin memastikan pertumbuhan BNPL tetap sehat, berkelanjutan, dan tidak mengorbankan stabilitas sektor jasa keuangan maupun kepentingan konsumen,” ujar M. Ismail Riyadi, Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK.
Kalimat itu terdengar normatif. Namun jika ditarik ke lapangan, maknanya jauh lebih dalam.
Ledakan yang Terlihat dari Angka
Data menunjukkan betapa cepatnya BNPL mengakar dalam keseharian masyarakat. Hingga Februari 2025, jumlah pengguna paylater di Indonesia mencapai 17,26 juta orang, tumbuh lebih dari 25 persen dibanding tahun sebelumnya. Nilai pembiayaan yang disalurkan menembus Rp36 triliun.
Di sektor perbankan saja, total utang BNPL tercatat lebih dari Rp22,7 triliun per Maret 2025, meningkat lebih dari 30 persen secara tahunan.
Pertumbuhan ini mencerminkan adaptasi masyarakat terhadap pembiayaan digital. Namun, di balik grafik yang terus menanjak, muncul tanda bahaya yang tak bisa diabaikan.
Meski kerap disebut lebih “ringan” dibanding kredit konvensional, BNPL tetaplah utang. Dan seperti semua utang, ia menyimpan risiko gagal bayar.
Data Januari 2025 mencatat rasio pembiayaan bermasalah (non-performing financing atau NPF) BNPL di perusahaan pembiayaan naik ke kisaran 3,37 persen. Angka ini sempat turun menjadi sekitar 2,95 persen pada pertengahan 2025, namun analis menilai penurunan itu bisa bersifat sementara—terutama menjelang lonjakan konsumsi akhir tahun.
Sementara itu, data credit bureau menunjukkan gambaran yang lebih konkret. Hingga Oktober 2024, nilai kredit macet BNPL telah mencapai Rp723,1 miliar, dari total portofolio hampir Rp33,84 triliun, dengan sekitar 2,44 juta debitur.
Angka-angka ini menunjukkan tekanan likuiditas mulai dirasakan sebagian konsumen, terutama kelompok usia produktif. Bukan ledakan krisis, tetapi retakan awal.
BNPL: Dari Fitur Belanja Menjadi Produk Pembiayaan
Di sinilah POJK 32/2025 memainkan peran penting. Salah satu poin paling tegas dalam aturan ini adalah penegasan soal siapa yang boleh menyelenggarakan BNPL.
Tak semua boleh bermain.
Mulai kini, hanya bank umum dan perusahaan pembiayaan yang diizinkan menyediakan layanan BNPL. Perusahaan pembiayaan pun wajib memperoleh persetujuan OJK terlebih dahulu sebelum meluncurkan produk.
Langkah ini menutup era paylater yang tumbuh di ruang abu-abu: sebagai fitur tambahan aplikasi, kerja sama tak langsung, atau skema yang sulit dipahami publik.
BNPL, dalam kacamata OJK, bukan lagi sekadar fitur belanja, melainkan produk pembiayaan penuh—dengan risiko yang menyertainya.
POJK 32/2025 mendefinisikan BNPL secara tegas: pembiayaan nontunai, tanpa agunan, berbatas plafon tertentu, dilakukan melalui sistem elektronik, dan dibayar dengan skema angsuran.
Definisi ini tampak teknis. Namun dampaknya fundamental.
Dengan definisi tersebut, BNPL tak lagi bisa dipromosikan semata sebagai “kemudahan”. Ia ditempatkan sejajar dengan produk pembiayaan lain—yang menuntut prinsip kehati-hatian, perlindungan konsumen, dan pelindungan data pribadi.
Setiap klik persetujuan kini memiliki bobot hukum yang lebih nyata.
Transparansi yang Selama Ini Terabaikan
Salah satu akar masalah BNPL adalah minimnya keterbukaan informasi. Banyak konsumen baru memahami beban cicilan setelah transaksi berjalan.
POJK ini mencoba memutus mata rantai itu.
Penyelenggara BNPL kini diwajibkan menjelaskan secara terang dan mudah dipahami: sumber dana pembiayaan, jumlah dan frekuensi cicilan, hingga risiko yang melekat.
“Konsumen harus bisa mengambil keputusan pembiayaan secara sadar dan bertanggung jawab,” tegas Ismail.
Pernyataan ini sekaligus menjadi kritik halus: selama ini, banyak keputusan finansial diambil tanpa kesadaran penuh.
Aturan baru ini juga menyentuh wilayah sensitif: penagihan dan keuntungan.
POJK 32/2025 mengatur mekanisme penagihan, kewajiban pelaporan kepada OJK, hingga ketentuan penghentian layanan BNPL. Bahkan, OJK diberi kewenangan menetapkan batas maksimum manfaat ekonomi yang boleh diperoleh perusahaan pembiayaan.
Pesannya jelas: keuntungan industri tidak boleh dibangun di atas kerentanan konsumen.
Risiko BNPL bukan hanya persoalan domestik. Di tingkat global, regulator juga mulai bersuara. Data internasional menunjukkan default rate BNPL di Amerika Serikat memang masih di bawah 3 persen, tetapi hampir separuh penggunanya mengaku tidak merencanakan pembayaran dengan matang. Sekitar sepertiga bahkan menyesal setelah menyadari biaya yang harus ditanggung.
Fenomena ini memperlihatkan sisi lain BNPL: risiko psikologis dan perilaku konsumtif, bukan sekadar angka gagal bayar.
Menjaga Inklusi, Mencegah Krisis
BNPL bukan musuh. OJK tidak mematikannya. Justru sebaliknya—regulator ingin memastikan BNPL tetap menjadi alat inklusi keuangan, bukan pintu masuk krisis utang baru di tingkat rumah tangga.
POJK 32/2025 adalah upaya menjaga keseimbangan: antara inovasi dan perlindungan, antara kemudahan dan tanggung jawab, antara “bayar nanti” dan masa depan finansial.
Karena di balik setiap cicilan kecil, selalu ada cerita besar tentang bagaimana masyarakat mengelola hidupnya.
Dan kali ini, negara memilih untuk tidak lagi menutup mata.(*)
| Pewarta | : Imadudin Muhammad |
| Editor | : Imadudin Muhammad |