TIMES JAKARTA, JAKARTA – Gangguan irama jantung Supraventricular Tachycardia (SVT) menjadi salah satu kondisi medis yang patut diwaspadai. Penyakit ini ditandai dengan detak jantung yang sangat cepat secara tiba-tiba, bahkan bisa menyerang saat tubuh sedang beristirahat. Jika dibiarkan, SVT berisiko menyebabkan gagal jantung, stroke, hingga kematian mendadak.
Menurut dr. Dony Yugo Hermanto, Sp.JP (K), FIHA, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah subspesialis aritmia dari RS Siloam TB Simatupang, SVT merupakan salah satu bentuk aritmia atau gangguan irama jantung.
"Secara umum, aritmia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu: irama jantung lebih cepat dari normal (tachycardia), lebih lambat (bradycardia), dan irama tidak beraturan (flutter)," ujar dr. Dony dalam keterangan tertulis, Senin (19/5/2025).
Detak Jantung Normal Berdasarkan Usia
dr Dony menjelaskan, detak jantung dapat diukur dengan meletakkan jari di pergelangan tangan, menghitung denyut selama 15 detik, lalu dikalikan empat untuk memperoleh jumlah denyut jantung dalam satu menit.
Kisaran detak jantung normal saat beristirahat antara lain: bayi baru lahir: 100–160 bpm; bayi 0–5 bulan: 90–150 bpm; anak 1–3 tahun: 80–130 bpm; remaja ≥15 tahun: 60–100 bpm; usia 20–35 tahun: 95–170 bpm; usia ≥60 tahun: 80–130 bpm
Gejala dan Penyebab SVT
SVT ditandai dengan detak jantung lebih dari 150 kali per menit. Penderitanya kerap merasakan jantung berdebar kencang secara tiba-tiba saat duduk diam atau istirahat.
"Meskipun jantung berdebar saat berolahraga atau melakukan aktivitas fisik adalah hal yang normal, detak jantung yang cepat secara tiba-tiba saat sedang beristirahat atau duduk tenang harus diwaspadai," kata dia.
Dia mengatakan, SVT dapat dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya adalah proses degeneratif akibat penuaan yang menyebabkan perubahan struktur jantung.
Beberapa pasien SVT, kata dia, hanya merasakan ketidaknyamanan di dada, tanpa menyadari bahwa detak jantung meningkat drastis, bahkan saat tubuh sedang beristirahat.
Serangan SVT biasanya berlangsung antara dua hingga tiga jam dan bisa hilang dengan sendirinya. Namun, gejala yang muncul bisa berupa keinginan untuk muntah atau batuk.
dr Dony menekankan, jika tidak ditangani, SVT bisa menyebabkan: pertama, denyut jantung bisa meningkat secara ekstrem hingga menyebabkan pingsan.
Kedua, pada kasus kelainan irama jantung bawaan tertentu, denyut jantung dapat melonjak hingga 300 bpm yang sangat berbahaya karena memicu kematian mendadak.
Ketiga, gangguan irama dalam jangka panjang dapat menimbulkan risiko gangguan irama lain yang lebih kompleks, yaitu atrial fibrillation (AF) dengan risiko gagal jantung dan stroke.
Solusi: Prosedur Ablasi Jantung
Untuk mencegah komplikasi, SVT dapat ditangani melalui prosedur medis yang disebut ablasi. Tindakan ini bertujuan mengatasi jalur listrik abnormal di jantung secara permanen.
Proses itu dilakukan dengan pemanasan menggunakan energi frekuensi radio (radio-frequency/RF) untuk menghentikan aktivitas listrik abnormal di area yang bermasalah.
dr Dony menjelaskan, prosedur ablasi memiliki tingkat efektivitas yang tinggi dalam mengatasi SVT, yakni sekitar 90-95 persen.
"Pasien yang dapat menjalani prosedur ablasi bervariasi, mulai dari anak-anak hingga lansia. Di RS Siloam TB Simatupang, prosedur ablasi bisa dilakukan pada anak berusia 5 tahun hingga pasien berusia lebih dari 70 tahun,” ujar dr Dony.
Ablasi bukanlah operasi dengan pembelahan dada (torakotomi) melainkan menggunakan kateter yang dimasukkan melalui pangkal paha.
Kateter akan melewati pembuluh darah besar menuju jantung. Dalam prosedur ini, dokter akan menghancurkan bagian kecil jaringan jantung yang menjadi sumber gangguan listrik.
Salah satu risiko yang mungkin terjadi adalah jika lokasi jaringan yang perlu dihancurkan berada terlalu dekat dengan jalur utama sistem listrik jantung.
Bila jalur utama ini terkena panas saat proses ablasi, fungsi penghantar listrik jantung bisa terganggu. Jika hal itu terjadi, dokter mungkin perlu memasang alat pacu jantung di bawah kulit untuk membantu mengatur detak jantung secara normal.
Selain itu, area pangkal paha yang dimasukkan kateter berisiko mengalami bengkak usai ablasi.
“Prosedur ablasi menggunakan teknologi pemetaan jantung dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D). Meskipun sebagian besar prosedur menggunakan pemetaan 2D, pemetaan 3D menawarkan detail yang lebih mendalam, sehingga memungkinkan tindakan yang lebih akurat," kata dr Dony. (*)
Pewarta | : Ferry Agusta Satrio |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |