TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pemilu 2024 akan demokratis dan berintegritas apabila penyelenggara dan stakeholders berperan aktif. Salah satunya dalam memastikan warga negara yang telah memenuhi syarat baik terdaftar sebagai kategori pemilih Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), maupun Daftar Pemilih Khusus (DPK). Pemilih mendapatkan hak dan dilayani dengan baik dan diberikan untuk menggunakan hak pilih mereka.
Nah, memasuki masa tenang Pemilu 2024 pada 11 Februari hingga 13 Februari 2024, ada potensi kerawanan masyarakat kehilangan hak suara ketika hari pencoblosan. Belajar dari pengalaman tim pemantauan Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) pada Pemilu 2019, ada banyak ditemukan pemilih berstatus DPTb tidak terlayani dalam mengunakan hak pilihnya.
Selain itu, juga ada perbedaan sikap yang cenderung diskriminatif terhadap pemilih DPTb yang seharusnya tidak ada pembeda-bedaan dengan DPT, kecuali dalam hal surat suara yang diterima. Misalnya, adanya penolakan pemilih DPTb di jam-jam pagi. Padahal, pemilih DPTb diberikan hak untuk memilih pada pukul 07.00-13.00.
Meskipun pada waktu itu dan akan sama di Pemilu 2024, pemilih DPTb dianjurkan datang di jam tertentu. Namun hal tersebut hanya sebatas anjuran, bukan kewajiban. Sehingga, tidak berhak ketika pemilih DPTb dilarang mencoblos dengan alasan waktu.
Penyebab lain yang menyebabkan pemilih tidak dapat mengunakan suaranya adalah surat suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) telah habis. Kekurangan surat suara menjadi momok khususnya bagi daerah yang memiliki pemilih DPTb yang membeludak. Menghadap Pemilu 2024, sejauh ini belum ada informasi dari KPU yang memastikan bahwa surat suara kita cukup atau justru kurang. Maka hal-hal yang dapat menghilangkan hak pemilih ini seharusnya dapat dimitigasi dengan baik oleh KPU.
Hak memilih adalah hak yang dijamin dalam konstitusi sebagaimana dinyatakan dalam Putusan MK Nomor 011-017/PUU-I/2003 yang menyebutkan, “Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, maupun konvensi internasional. Maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.”
Undang-Undang Nomor 30/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) mengatur mengenai hak memilih seperti yang tercantum dalam Pasal 43 yang menyatakan, “Setiap warga mendapatkan hak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil seusai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Maka dengan begitu, seriusnya mengenai hak untuk dapat memilih di dalam pemilu, maka Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) memberikan pandangan kritis sebagai berikut:
Pertama, mitigasi pelayanan hak memilih bagi pemilih agar terlayani dengan baik,
KISP menilai bagi wilayah yang memiliki jumlah pendatang atau mahasiswanya tinggi, perlu untuk membuat skema mitigasi yang baik agar tidak terjadi adanya persoalan hak pilih yang tidak terlayani dalam menggunakan hak pilihnya. Selain itu, jangan sampai terjadi adanya pelarangan bagi pemilih DPTb dalam mengunakan hak pilih di waktu-waktu tertentu.
Kedua, potensi meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses pemilu. Jika kejadian Pemilu 2019 terulang kembali dengan adanya pemilih yang memenuhi syarat untuk memilih namun tidak terlayani, maka akan berpotensi menggiring opini publik secara masif bahwa pemilu dianggap gagal, dan dapat berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan Pemilu. Apalagi, saat ini isu terkait ketidaknetralan penyelenggara negara menguat, maka jika persoalan ini terjadi akan membawa dampak isu yang liar yang dapat merugikan proses penyelenggaraan pemilu 2024
Berdasarkan pandangan tersebut, KISP meminta kepada KPU untuk berkomitmen menjamin semua masyarakat yang memenuhi hak pilih akan terlayani dengan baik, khususnya bagi pemilih kategori DPTb. Berikutnya, mendesak KPU memberikan transparansi ke publik terkait peta kerawanan DPTb, khususnya terkait isu kekurangan surat suara. Jika memang surat suara kurang, KPU seharusnya memberikan transparansi terkait upaya mitigasi yang dilakukan.
Selain itu, KISP merekomendasikan kepada KPU untuk memiliki mitigasi hoaks gangguan hak memilih yang menyasar penyelenggara ad hoc seperti di Pemilu 2019. Misalnya saja, ketika ada hoaks yang terkait syarat memilih luar domisili yang bisa menggunakan hak suara hanya dengan KTP-el, maka KPU wajib memiliki langkah strategis untuk memastikan hoaks tersebut tidak diamini oleh penyelenggara ad hoc.
KISP memberikan peringatan terhadap potensi delegitimasi pemilu yang dapat timbul jika ada hak masyarakat yang tidak terpenuhi dalam memilih di Pemilu 2024 secara masif. Demikian rilis ini kami sampaikan, dengan harapan memasuki masa tenang Pemilu 2024 ini, seluruh pihak dapat sama-sama berkolaborasi memitigasi berbagai potensi kerawanan yang muncul.
***
*) Oleh : Moch Edward Trias Pahlevi, S.IP M.I.P, Koordinator Umum Komite Independen Sadar Pemilu (KISP).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Potensi Masyarakat Kehilangan Hak Pilih
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : |