https://jakarta.times.co.id/
Opini

Ijazah Jokowi dan Politisasi Ruang Publik

Sabtu, 17 Mei 2025 - 22:42
Ijazah Jokowi dan Politisasi Ruang Publik Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Isu keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo kembali mengemuka dalam diskursus politik Indonesia, meskipun secara yuridis formal persoalan ini telah tuntas. 

Sekilas, memang fenomena ini bukan sekadar perdebatan teknis-administratif, melainkan dalam istilah Samuel P. Huntington dalam bukunya Political Order in Changing Societies (2006) sebagai bagian dari political decay yang menggerogoti dan merusak nalar publik. 

Seperti kerap terjadi dalam sejarah politik Indonesia, isu-isu simbolik yang sebenarnya telah diselesaikan melalui mekanisme hukum dihidupkan kembali sebagai alat untuk mendiskreditkan lawan politik.

Dalam kerangka demokrasi konstitusional, legitimasi seorang pemimpin dibangun melalui prosedur yang transparan dan akuntabel. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara eksplisit mensyaratkan verifikasi ijazah bagi calon presiden. Proses ini telah dilalui Jokowi sejak menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga dua kali terpilih sebagai Presiden. 

KPU sebagai guardian of democracy (Goldstein, L. F, 1987) telah memverifikasi dokumen tersebut, dan tidak ada putusan pengadilan yang membatalkan keabsahannya. Artinya, klaim bahwa ijazah tersebut bermasalah tidak memiliki legal standing dan lebih merupakan upaya political sabotage ketimbang kritik yang berbasis fakta.

Pertanyaannya mengapa isu ini terus dihidupkan? Jawabannya terletak pada pathological politics yang mengubah ruang publik menjadi medan perang narasi. Sebagaimana dikemukakan Benedict Anderson (2020), politik identitas sering kali dimanipulasi untuk menciptakan imagined grievances. 

Data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menunjukkan bahwa lebih dari 60% hoaks politik bersifat ad hominem, menyerang latar belakang pribadi tokoh alih-alih mengkritik kebijakan. Politisasi ijazah Jokowi adalah contoh nyata bagaimana post-truth politics bekerja: kebenaran faktual dikalahkan oleh emosi dan prasangka.

Media sosial memperparah situasi ini. Platform seperti TikTok dan X (dulu Twitter) menjadi echo chamber bagi narasi-narasi yang tidak terverifikasi. Tagar #IjazahJokowi yang viral dengan jutaan engagement bukan sekadar perdebatan warga, melainkan bagian dari information warfare yang dirancang untuk merusak kredibilitas institusi. 

Ketika akun-akun anonim menyebarkan potongan video tanpa konteks, yang terjadi adalah epistemic chaos, masyarakat kebingungan membedakan antara fakta dan fiksi.

Dampaknya tidak hanya merugikan figur Jokowi secara personal, tetapi juga menggerogoti fondasi demokrasi. Sebagaimana diingatkan oleh almarhum Miriam Budiardjo, demokrasi hanya bertahan jika ada trust dalam sistem. 

Jika masyarakat terus dijejali keraguan terhadap proses hukum yang sah, lambat laun kepercayaan pada KPU, perguruan tinggi, dan peradilan akan luntur. Inilah yang disebut Larry Diamond sebagai democratic backsliding: demokrasi dikikis bukan melalui kudeta, melainkan melalui erosi kepercayaan yang sistematis.

Di sinilah tanggung jawab kolektif kita sebagai warga negara sedang diuji. Demokrasi membutuhkan informed citizenry, masyarakat yang kritis terhadap informasi tetapi tetap berpegang pada etika diskursus. 

Kritik terhadap pemimpin adalah hak konstitusional, tetapi kritik harus berbasis bukti, bukan smear campaign. Jika ada indikasi pelanggaran, jalur hukum harus ditempuh, bukan dengan membanjiri timeline media sosial dengan narasi yang tidak terverifikasi.

Lebih dari itu, kita perlu merevitalisasi civic culture dalam berdemokrasi. Kebebasan berekspresi tidak boleh menjadi legitimasi untuk menyebar kebencian.

Setiap share dan retweet harus disertai kesadaran bahwa kita sedang membentuk opini publik, apakah ke arah yang konstruktif atau destruktif? Sejarah membuktikan bahwa demokrasi yang sehat hanya mungkin jika ada self-restraint dari para aktornya.

Bukan untuk bermaksud mendukung Jokowi, tapi, bagi saya Isu ijazah Jokowi adalah litmus test bagi kedewasaan politik kita. Ia menguji apakah kita mampu membedakan antara kritik substantif dan political noise.

Pemerintah, lembaga hukum, media, dan masyarakat sipil harus bersinergi memutus mata rantai hoaks melalui literasi digital dan penegakan hukum yang adil.

Hemat saya, demokrasi bukanlah zero-sum game di mana kemenangan satu pihak berarti kekalahan pihak lain. Demokrasi adalah sistem yang mengedepankan reasoning, bukan rumors; substance, bukan symbols. Jika kita gagal belajar dari kasus ini, politik Indonesia akan terus terjebak dalam siklus distraction, dan kita semua yang akan menanggung akibatnya.

***

*) Oleh : Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.