https://jakarta.times.co.id/
Opini

16 Tahun Wacana Anak Tanpa Media Sosial

Rabu, 11 Juni 2025 - 09:19
16 Tahun Wacana Anak Tanpa Media Sosial Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pemerintah dengan dukungan Presiden Prabowo dan Menteri Meutya Hafid lagi menyiapkan regulasi soal batas usia pengguna media sosial, mirip Australia yang melarang anak di bawah 16 tahun buat akun di TikTok, Instagram, atau Facebook.

Hal itu di lakukan untuk melindungi anak dari konten kekerasan, iklan judi, dan pornografi. Siapapun pasti sepakat, setara membela kolam renang tanpa lifeguard saat anak kecil berenang sendirian.

Tapi di sinilah ambang batasnya: tanpa batasan digital, anak-anak bisa lupa antara filter dan konten dewasa. Namun tanpa kompas digital, mereka bisa jadi “VPN ninja” jadi jago sekali menyiasati larangan tapi minus bimbingan moral.

Mirip melarang naik sepeda tanpa mengajari pakai helm, akhirnya mereka belajar jago aspal tapi nyaris terjadi benturan realita.

Survei YouGov mengungkap 84% orang tua Indonesia mendukung rencana ini, mayoritas menilai usia ideal untuk mulai medsos adalah 15–17 tahun. Tapi hanya 50% yang yakin larangan usia efektif mengendalikan apa yang dilakukan anak di dunia maya.

Artinya, dorongan hati nurani orang tua kuat, tapi keraguan pada regulasi masih ada, mungkin karena belum tahu cara kerja pasar kelam internet.

Para orang tua khawatir bukan main: 81% takut anak jumpa konten dewasa, 74% takut adiksi layar, dan 70% kuatir dampak mental.

Well, kekhawatiran itu beralasan, tapi solusi tidak selalu datang lewat palu regulator. Kadang diperlukan arsitek yang merancang ‘rumah digital’ nyaman, bukan petugas yang sekadar menutup pintu.

Belum lagi risiko terlupakan-kecanduan mungkin berkurang, tapi salah satu efek sampingnya adalah anak bisa jadi ahli teknologi tapi lemah kompas sosial. 

“Kita bisa menciptakan generasi yang ahli bypass blokir, tapi tidak tahu cara memverifikasi hoaks atau memahami kredibilitas influencer sampah” adalah kekhawatiran yang mulai nyata.

Biar lebih rapi, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 17/2025-jangan salah, bukan sekadar wacana-yang menetapkan kewajiban bagi penyedia platform online seperti Facebook dan TikTok untuk memasang age verification, mode anak, dan filter konten.

Transisi dua tahun dimulai, tapi mengubah budaya digital dan algoritma raksasa itu bukan hal mudah, ibarat memperbaiki pesawat tengah terbang.

Media dan pengawas HAM, seperti SAFEnet, menyampaikan kekhawatiran: regulasi biometrik atau kewajiban identitas digital bisa disalahgunakan sebagai alat pengawasan negara.

Alhasil, strategi untuk melindungi bisa berubah jadi instrumen pemantau, bahaya bagi kebebasan berekspresi di masyarakat.

Ironisnya, sementara anak dilarang, pemerintah justru mengendorse kampanye lewat medsos. TikTok Kemenkes dan video edukatif Instagram Kemendikbud ramai dijadikan medium komunikasi publik . Nah, kalau begitu, kenapa anak-anak dilarang bernapas-don’t scroll di udara yang sama?

Studi di Bandung menunjukkan anak usia 12–15 tahun merasa medsos memberi manfaat emosional, sosial, sekaligus praktis. Mereka tangkas menggunakan platform, sementara orang tua sering kali tidak paham cara kerjanya. Tapi sama-sama paham: medsos ini bukan jahat, hanya dibutuhkan pengaturan pintar.

Kekhawatiran bukan tanpa dasar. Penelitian menunjukkan anak usia 13 lebih cepat berinteraksi dengan konten berbahaya—YouTube misalnya, 15% rekomendasi pertama mengandung materi merugikan setelah tiga menit scrolling pasif. Artinya, algoritma secara diam-diam menguji kedewasaan digital kita.

Namun bertahan di lubang yang kita gali sendiri? Blokir bukan obat, justru bisa jadi jebakan. Fenomena “Streisand effect” membuktikan: kalau sudah dilarang, justru makin diminati. Anak jadi penasaran, mencari jalan pintas, lalu apa? Yan ng ternyata malah lebih parah efeknya.

Daripada menghabiskan waktu bikin blacklist akun, lebih baik bikin “playbook digital”: kurikulum literasi media wajib di sekolah, pelatihan orang tua untuk menjadi guide, bukan polisi. Kalau perlu insentif ke platform: mode anak lokal, filter cerdas, izin orang tua—bukan blokir total.

Promo literasi digital bisa jadi ujung tombak. Buktinya, Uni Eropa punya GDPR-Kids; Australia menyiapkan kampanye edukasi sebelum lockdown usia. Kalau kita buru-buru kunci pintu tanpa beri tahu cara baca peta, anak malah bingung dan nyasar sendiri.

Sekali lagi, ini bukan melarang scroll, tapi mengubah cara scroll. Anak bukan perangkap para platform besar, mereka adalah masa depan yang perlu dibentuk, bukan dipaksa tunduk. Kalau sekadar batas masuk, tapi tidak ada pendampingan, sama saja membiarkan mereka berenang di laut tanpa life vest.

Regulasi ini penting, tapi jangan cuma jadi simbol. Kita perlu mengajarkan mereka: “Kalau ada yang mencurigakan atau bikin resah, laporkan, jangan diam.” Ini bukan cuma soal pemblokiran, tapi soal membentuk watak digital yang sehat, kritis, dan etis.

Kalau akhirnya regulasi hanya jadi palu besar tanpa peta moral dan pendekatan humanis, maka kita tak ubahnya memberi anak resistor besar untuk menolak arus—bukan membimbing mereka menyelam dengan aman dan percaya diri. Dan generasi yang dilecehkan rasa ingin tahunya bisa jadi jauh lebih berbahaya saat meledak di balik layar.

***

*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.