https://jakarta.times.co.id/
Opini

Sinyal Merah Autokolonialisme

Minggu, 31 Agustus 2025 - 15:00
Sinyal Merah Autokolonialisme Ali Mursyid Azisi, M.Ag, Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI) & Pengamat Sosial-Politik.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sejarah mencatat bahwa kemerdekaan Indonesia diraih melalui darah dan air mata, tetapi pada peringatan kemerdekaan ke-80, bangsa ini dihadapkan pada kenyataan pahit, "kemerdekaan itu belum sepenuhnya merdeka". 

Potret Indonesia hari ini kian gonjang-ganjing. Stabilitas politik rapuh, para pejabat tak pandai menjaga sikap, hingga diwarnai tarik-menarik kepentingan antar-elite yang tak jarang mengorbankan suara rakyat. 

Ekonomi porak-poranda, pajak semakin diinjak, pengangguran melonjak, kesewenangan sebagai realita, dan korupsi tetap merajalela.

Sistem sosial yang seharusnya menjadi penyangga kohesi masyarakat kini terancam oleh polarisasi politik, kepentingan segelintir elite, ujaran kebencian, arogansi struktural, hingga kriminalisasi terhadap suara rakyat yang kritis. 

Kekuasaan yang sejatinya dipakai untuk melindungi rakyat justru digunakan untuk menekan kaum lemah (buruh, mahasiswa, maupun masyarakat secara umum). Inilah sinyal merah, sebuah alarm keras bahwa Indonesia belum benar-benar merdeka di tengah gegap gempita perayaan kemerdekaan.

Fenomena ini bila dibiarkan, membawa Indonesia semakin dekat dengan wajah autokolonialisme. Autokolonialisme menggabungkan kata "auto" (dari bahasa Yunani yang berarti "diri sendiri") dan "kolonialisme". Istilah ini secara langsung menunjukkan bahwa pihak yang melakukan penjajahan dan pihak yang dijajah berasal dari bangsa yang sama. 

Istilah ini menekankan bahwa proses dan mekanisme eksploitasi yang digunakan menyerupai kolonialisme klasik, tetapi pelakunya adalah elit dari dalam negeri itu sendiri yang menganggap rakyatnya sebagai subjek yang dapat dieksploitasi untuk keuntungan mereka. 

Pada titik inilah kemerdekaan menjadi formalitas tanpa substansi, dan bangsa terjebak dalam perbudakan internal yang tak kalah menindas dibanding kolonialisme asing.

Gagasan autokolonialisme juga berakar pada teori internal kolonialisme yang dikembangkan Robert Blauner pada 1969. Ia menjelaskan tentang kelompok dominan dalam sebuah negara memperlakukan kelompok lain secara eksploitatif, layaknya penjajah memperlakukan jajahan. 

Selain itu, imperial boomerang yang diperkenalkan Aime Cesaire dan didalami Hannah Arendt, menjelaskan praktik represif kolonial pada akhirnya kembali dipakai oleh elite terhadap rakyatnya sendiri. 

Dengan demikian, autokolonialisme dapat dipahami sebagai perkembangan dari teori penjajahan, sebuah “neokolonialisme internal” yang berperan dengan wajah lokal, namun tetap menyisakan luka struktural dan ketidakadilan sistemik.

Ketidakstabilan Politik-Ekonomi Ancaman Negara

Ketidakstabilan politik dan ekonomi juga memiliki akar sebab-akibat yang dapat dijelaskan melalui teori konflik sosial. Menurut Charles Tilly, demonstrasi dan kerusuhan adalah bentuk mobilisasi kolektif ketika saluran politik formal tertutup bagi rakyat. Alih-alih mendengar, elite justru merespons dengan represi, yang pada gilirannya melahirkan lingkaran kekerasan.

Tidak stabilnya negara sering kali diperparah oleh terlalu banyak demonstrasi, yang sering kali menjadi gejala sekaligus pemicu krisis. Menurut Allianz Commercial, pada tahun 2024 terdapat lebih dari 160 peristiwa protes signifikan di lebih dari 150 negara, dengan 18% protes berlangsung lebih dari tiga bulan. 

Data lain dari Vision of Humanity menunjukkan jumlah kerusuhan, demonstrasi, dan mogok secara global meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 2011 hingga 2018. 

Kemudian ini juga diperkeruh oleh meningkatnya tingkat kekerasan politik. Sebagaimana laporan ACLED mencatat lebih dari 143.000 aksi protes di seluruh dunia sepanjang 2024, dengan peningkatan 25% peristiwa kekerasan politik dibanding tahun 2023.

Salah satu contoh Kazakhstan misalnya, protes atas kenaikan harga gas pada 2022 menewaskan 227 orang dan menyebabkan hampir 10 ribu orang ditangkap. 

Indonesia pun tak asing dengan sejarah serupa, Reformasi 1998 misalnya, menunjukkan bagaimana ketidakadilan struktural, krisis ekonomi, dan represi politik pada akhirnya memicu gerakan rakyat yang mengguncang fondasi rezim. 

Hingga saat ini, aksi protes rakyat kepada penguasa atas ketidakadilan dam krisis kepercayaan-ekonomi pun tak luput memakan korban jiwa, baik dari pihak demonstran maupun sebagian korban yang tak bersalah.

Pengkhianatan terhadap Keadilan

Potret autokolonialisme dalam Islam adalah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan (‘adl) yang menjadi ruh syariah. Kekuasaan sejatinya amanah yang harus dijalankan untuk menegakkan kemaslahatan rakyat. 

Nabi Muhammad menegaskan bahwa pemimpin adalah pelayan umat, bukan penguasa yang menindas. Begitu pula dalam fikih siyasah (politik Islam) menempatkan musyawarah (syura), keadilan sosial, dan tanggung jawab moral sebagai pilar pemerintahan yang sah.

Ketika elite berbuat zalim dan mengabaikan maslahat, rakyat memiliki kewajiban moral untuk menagih haknya kepada negara dengan cara yang hikmah dan damai. 

Dalam moral universal pun, prinsip-prinsip hak asasi manusia, rule of law, dan keadilan menolak segala bentuk kesewenang-wenangan. Autokolonialisme, dengan demikian, bukan hanya sebuah kesalahan politik, melainkan juga pelanggaran moral.

Alarm Keras Kolonialisme Baru

Alarm keras ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Jika sinyal merah autokolonialisme terus diabaikan, Indonesia berpotensi kehilangan makna kemerdekaannya sendiri. Demokrasi berubah menjadi prosedural tanpa substansi, ekonomi hanya menguntungkan segelintir elite, dan hukum menjadi alat kekuasaan. 

Jalan keluar menuntut keberanian kolektif dapat dilakukan dengan cara menegakkan hukum yang adil, memperkuat institusi demokrasi, membuka ruang dialog rakyat, serta mengembalikan politik pada mandat utamanya yakni menyejahterakan rakyat. 

Perspektif Islam, keadilan sejatinya adalah fondasi negara, sementara perspektif akademis menegaskan bahwa ketidakadilan internal adalah bentuk kolonialisme baru.

Indonesia pernah mengalahkan penjajahan asing melalui persatuan dan tekad, kini tantangannya adalah melawan penjajahan yang dilakukan oleh bangsanya sendiri. Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan ke-80 tahun 2025 seharusnya menjadi momentum reflektif, bukan sekadar seremonial. 

Kita harus berani bertanya, apakah kita sungguh merdeka, atau hanya sekadar merayakan simbol kemerdekaan di tengah cengkeraman autokolonialisme.

***

*) Oleh : Ali Mursyid Azisi, M.Ag, Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI) & Pengamat Sosial-Politik.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.