TIMES JAKARTA, JAKARTA – Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) 2025, sebagai penanda lahirnya kesadaran kolektif melalui berdirinya organisasi Budi Utomo pada tahun 1908.
Momen ini tidak hanya mengingatkan kita pada perjuangan kaum terpelajar masa lalu, tetapi juga menyuarakan pentingnya organisasi sebagai ruang bersama yang mengedepankan integritas, nilai, dan cita-cita luhur.
Dalam konteks kekinian, kebangkitan tidak hanya bermakna politik dan kemerdekaan fisik, tetapi juga kebangkitan etis dalam kehidupan berorganisasi.
Organisasi merupakan wadah bagi individu untuk bekerja sama mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Namun, keberhasilan organisasi tidak semata ditentukan oleh struktur atau program kerja yang rapi, melainkan oleh komitmen etis yang dijalankan oleh seluruh anggotanya.
Etika berorganisasi menjadi landasan moral yang penting agar perjalanan organisasi tetap berada pada jalur yang sehat, transparan, dan berintegritas.
Salah satu nilai utama yang harus dijaga adalah sikap saling menghargai antaranggota. Menghargai bukan sekadar soal tutur kata, tetapi juga tentang kesediaan untuk mendengarkan pendapat, mengakui kontribusi, dan membuka ruang partisipasi yang adil.
Setiap individu dalam organisasi memiliki peran yang bermakna. Ketika seluruh anggota merasa dihargai, kepercayaan dan semangat kolektif akan tumbuh secara alami.
Penelitian dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang dilandasi rasa saling menghormati mendorong produktivitas dan loyalitas yang lebih tinggi. Sikap saling menghargai juga memperkuat rasa memiliki, yang pada akhirnya memperkokoh kekuatan organisasi dari dalam.
Selain itu, etika organisasi juga menuntut setiap individu untuk mampu melepaskan ego pribadi maupun kelompok. Organisasi bukan tempat untuk menunjukkan dominasi atau menjadikan posisi sebagai alat pembenaran kehendak sendiri.
Justru, keberhasilan organisasi hanya bisa dicapai jika semua pihak bersedia mengutamakan kepentingan bersama dan siap berkompromi demi tercapainya tujuan kolektif.
Dalam banyak kasus, organisasi yang mengalami konflik atau stagnasi umumnya dilatarbelakangi oleh egoisme yang tidak terkendali. Sikap rendah hati, terbuka terhadap kritik, dan tidak merasa paling benar menjadi pondasi penting dalam menciptakan budaya organisasi yang sehat.
Sejalan dengan itu, proses pengambilan keputusan dalam organisasi idealnya dilandasi oleh semangat musyawarah. Melalui musyawarah, berbagai gagasan dan kepentingan dapat dipertemukan dengan cara yang adil dan rasional.
Prinsip ini sejalan dengan nilai-nilai demokratis dalam Pancasila, yang menekankan pentingnya permusyawaratan untuk menghasilkan keputusan yang bijak. Musyawarah juga menjadi sarana pendidikan etika kolektif, di mana setiap anggota dilatih untuk menyampaikan pendapat secara santun, bersedia mendengarkan, dan siap menerima hasil akhir dengan lapang dada.
Pengambilan keputusan secara sepihak atau otoriter sering kali berujung pada kekecewaan dan penurunan partisipasi anggota. Sebaliknya, proses yang inklusif akan memperkuat rasa tanggung jawab bersama atas hasil keputusan.
Lebih jauh, penting pula untuk disadari bahwa organisasi tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk mencari keuntungan pribadi. Ketika seseorang memanfaatkan organisasi sebagai kendaraan untuk ambisi pribadi atau kepentingan sempit, kepercayaan publik akan mudah runtuh dan nilai luhur organisasi akan tergerus.
Etika menuntut agar segala aktivitas dalam organisasi dilakukan secara jujur, transparan, dan bebas dari konflik kepentingan. Prinsip ini sejalan dengan peraturan perundang-undangan, termasuk dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang menekankan pentingnya integritas dan akuntabilitas dalam pengelolaan organisasi.
Praktik manipulatif, korupsi kecil-kecilan, atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi adalah bentuk pelanggaran etika yang merusak tidak hanya struktur organisasi, tetapi juga kepercayaan para anggotanya.
Etika berorganisasi bukanlah aturan yang kaku, melainkan panduan hidup bersama yang menumbuhkan kepercayaan, kebersamaan, dan tanggung jawab kolektif. Dalam dunia yang semakin kompleks, organisasi hanya akan bertahan dan berkembang jika dibangun di atas dasar moral yang kuat.
Dengan menjunjung tinggi nilai saling menghargai, menanggalkan ego pribadi, mengedepankan musyawarah, dan menjauhi kepentingan pribadi, organisasi akan menjadi ruang tumbuh yang sehat, bermakna, dan memberi dampak positif yang luas.
Etika bukan hanya soal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, melainkan tentang bagaimana kita menjaga marwah dan arah organisasi agar tetap sejalan dengan nilai-nilai luhur yang menjadi cita bersama.
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-117 ini menjadi pengingat bahwa kebangkitan tidak cukup hanya dirayakan sebagai sejarah, tetapi harus terus dihidupkan dalam praktik keseharian, termasuk dalam cara kita berorganisasi.
Semangat Budi Utomo yang didirikan atas dasar idealisme dan semangat persatuan harus terus kita warisi dengan menjadikan etika sebagai fondasi utama dalam mengelola dan menghidupkan organisasi masa kini.
***
*) Oleh : Astatik Bestari, Ketua 2 Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Tutor Pendidikan Kesetaraan Nasional.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |