https://jakarta.times.co.id/
Opini

PMII dari Warisan Nilai Jadi Lelucon Politik Murahan

Rabu, 01 Oktober 2025 - 21:00
PMII dari Warisan Nilai Jadi Lelucon Politik Murahan Bagaskara Dwy Pamungkas, Tim Kaderisasi Nasional PB PMII.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Tradisi yang sedang berjalan di tubuh PMII hari ini sering kali terasa menyebalkan sekaligus menyedihkan. Acap kali di beberapa momentum pergantian ketua umum baik di komisariat, cabang, atau bahkan di level lebih tinggi suasana forum berubah seperti panggung sandiwara. 

Forum yang seharusnya menjadi ruang adu gagasan justru beralih jadi pasar transaksi politik. Alih-alih menghadirkan semangat intelektual, forum-forum itu kini diwarnai dengan tawaran jabatan, paket beasiswa, lowongan pekerjaan, bahkan amplop yang diselipkan dengan malu-malu tapi jelas maksudnya.

Padahal kalau kita mau jujur, semua ini sama sekali bukan tradisi PMII. PMII bukan organisasi ecek-ecek. Sejak berdiri, ia sudah mewariskan segudang nilai luhur yang harusnya menjadi pedoman kader. Ada Aswaja An-Nahdliyyah, NDP, paradigma kritis, AD/ART, tujuan organisasi, hingga Trilogi PMII: Tri motto, Tri khidmat, dan Tri komitmen. 

Semua itu tidak begitu saja muncul dari ruang kosong, melainkan lahir dari cita-cita mulia para muassis. Tapi entah kenapa, dalam realitas hari ini, nilai-nilai itu seperti tinggal hiasan lapuk. Lantaran maraknya konsolidasi pragmatis dengan gaya politik ala pasar kambing yang terjadi tawar sana tawar sini. 

Lebih ironis lagi, para senior yang seharusnya menjadi teladan malah ikut-ikutan terjebak dalam pola buruk ini. Dukungan mereka sering kali bukan karena gagasan yang ditawarkan, melainkan karena faktor like and dislike. Pertanyaannya selalu itu-itu saja: “kalau saya dukung kamu, kader saya dapat posisi apa?” 

Sebuah pertanyaan yang bukan hanya miskin imajinasi, tapi juga memperlihatkan betapa rendahnya standart yang dipakai untuk menentukan kepemimpinan. Padahal, kita bicara tentang organisasi yang katanya ingin mencetak kader bangsa. Kalau begitu caranya, bullshits. 

Kalau mau jujur, sukar sekali kita menemukan senior yang betul-betul serius mendiskusikan gagasan besar. Misalnya bagaimana memperbaiki krisis baca kader-kader, stagnasi kaderisasi di rayon eksakta, bagaimana memaksimalkan ruang advokasi sosial, bagaimana memperkuat spiritualitas kader yang mulai pudar, atau bagaimana melahirkan kader putri yang progresif. 

Semua itu jarang sekali jadi bahan percakapan. Yang ramai justru negosiasi kursi, intrik kelompok, dan drama transaksional. Maka tidak heran kalau banyak kader muda akhirnya apatis: mereka melihat forum hanya sebagai panggung jual beli kepentingan, bukan arena intelektual.

Padahal prototipe kepemimpinan di PMII mestinya sama sekali bukan soal siapa yang paling punya modal banyak, siapa yang punya relasi dengan pejabat pemangku kekuasaan, atau siapa yang bisa mendistribusikan beasiswa. Kepemimpinan di PMII haruslah kepemimpinan yang berbasis nilai. 

Artinya, kokoh secara intelektual, matang secara emosional, jernih secara spiritual, lincah dalam hal digital, teguh secara idiologi, dan punya kemampuan memanajemen organisasi. Ia harus bisa menjadi teladan dalam dzikir, fikir, dan amal sholeh (Tri Motto).

Coba bayangkan kalau Tri motto benar-benar terinternalisasi. Dzikir menuntun seorang kader untuk menjaga kejernihan hati dan relasi spiritual dengan Tuhannya. Fikir mendorong kader untuk tekun dalam membaca, menulis, dan berdiskusi, agar ia punya kemampuan analisis yang tajam. 

Dan amal sholeh menjadi pengingat bahwa kader PMII harus terus berbuat baik, bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kaum mustad’afin di sekitarnya. Dari situ, kepemimpinan yang lahir pasti bukan kepemimpinan pragmatis, melainkan kepemimpinan yang berakar pada moralitas.

Sayangnya, realitas itu ini justru sebaliknya. Banyak pemimpin yang lahir bukan karena kapasitas, melainkan karena transaksi. Tidak sedikit yang akhirnya hanya menjadi boneka politik, sibuk menjalankan instruksi senior yang kadang tidak masuk akal. 

Senioritas yang mestinya berperan sebagai guru dan penopang nilai, justru menjelma jadi broker politik internal. Gaya kepemimpinan status quo semacam ini jelas merusak tradisi intelektual yang mestinya dirawat dalam tubuh PMII.

Kalau dibiarkan, tradisi ini hanya akan melahirkan lingkaran setan: pemimpin pragmatis melahirkan generasi pragmatis. Forum kaderisasi kehilangan makna, karena semua orang lebih sibuk mencari untung daripada mengasah nalar. 

Padahal cita-cita para muassis jelas: PMII harus melahirkan kader yang tidak hanya cerdas, tapi juga berkarakter, religius, dan berdaya guna untuk masyarakat luas.

Puncak kaderisasi di PMII bukanlah ketika kita berhasil memenangkan forum politik dengan suara terbanyak. Puncak kaderisasi justru terletak pada kemampuan melahirkan kader berkualitas berbasis nilai. 

Kader yang saling membantu satu sama lain, yang punya kepekaan sosial, dan yang mau turun tangan menyelesaikan problem masyarakat. Kader seperti inilah yang bisa menjaga marwah organisasi dan memberi kontribusi nyata bagi PMII dan bangsa.

Karena itu, kritik tajam terhadap status quo harus terus dilontarkan. Kepemimpinan transaksional, gaya senior yang hanya bisa mengatur tanpa berpikir rasional, dan instruksi-instruksi yang hanya menguntungkan diri sendiri harus dilawan. 

Rasionalitas dalam tubuh PMII harus ditempatkan pada kepentingan yang lebih luas: kepentingan kader secara keseluruhan, kepentingan organisasi, bahkan kepentingan umat.

Kalau prototipe kepemimpinan berbasis nilai benar-benar dapat kita wujudkan, maka PMII tidak akan terjebak jadi organisasi yang sibuk dengan drama proposal dan kursi kekuasaan. Ia akan kembali ke khittahnya: organisasi nilai, organisasi perjuangan, dan organisasi pengkaderan yang serius melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan bangsa.

***

*) Oleh : Bagaskara Dwy Pamungkas, Tim Kaderisasi Nasional PB PMII.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.