TIMES JAKARTA, JAKARTA – Preferensi pendidikan yang ideal di Indonesia selalu menjadi perdebatan panjang. Harapan akan pendidikan berkualitas dan merata untuk seluruh lapisan masyarakat seakan terus dibayangi oleh realita yang menyedihkan.
Kini, dugaan korupsi pengadaan teknologi pendidikan senilai 9,9 triliun rupiah periode 2019-2023, yang tengah diselidiki Kejaksaan Agung (Kejagung), menambah lapisan pahit pada perjalanan panjang tersebut.
Dugaan ini bukan hanya sekadar angka; ini adalah tragedi nasional yang mencoreng cita-cita mulia digitalisasi pendidikan dan mengkhianati harapan jutaan anak bangsa.
Narasi “digitalisasi pendidikan” selama ini dipromosikan sebagai solusi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan pemerataan akses, terutama di daerah terpencil.
Pandemi Covid-19, yang memaksa pembelajaran daring secara massal, seharusnya menjadi momentum strategis untuk mempercepat transformasi digital di sektor pendidikan.
Namun, justru dalam konteks ini, potensi penyelewengan dana negara mencapai angka yang fantastis terungkap. Ini bukan sekadar kegagalan administratif; ini adalah indikasi kuat adanya sistemik korupsi yang telah merambah ke jantung upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Bayangkan, dana sebesar 9,9 triliun rupiah yang seharusnya digunakan untuk pengadaan perangkat keras dan lunak berkualitas, pelatihan guru, pengembangan konten digital, dan infrastruktur pendukung, diduga telah disalahgunakan.
Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk masa depan generasi penerus, justru diduga telah dikorup oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ini adalah bentuk pengkhianatan yang tidak dapat ditoleransi.
Dugaan ini tentu memicu pertanyaan mendalam mengenai pengawasan dan tata kelola anggaran di sektor pendidikan. Mekanisme pengawasan yang ada tampaknya gagal berfungsi optimal. Transparansi dan akuntabilitas, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam pengelolaan keuangan negara, tampaknya telah dilanggar secara sistematis.
Proses pengadaan teknologi pendidikan yang seharusnya mengikuti prosedur yang ketat dan melibatkan berbagai pihak terkait, diduga telah dimanipulasi untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Lebih dari sekadar kerugian finansial, dugaan korupsi ini menimbulkan dampak yang jauh lebih luas dan merugikan. Kepercayaan publik terhadap pemerintah, khususnya dalam konteks pengelolaan program pendidikan, tergerus secara signifikan.
Kekecewaan dan kemarahan masyarakat tentu dapat dimengerti, karena janji-janji digitalisasi pendidikan yang muluk-muluk telah dikotori oleh praktik korupsi yang sistemik.
Kejadian ini juga berdampak pada citra Indonesia di mata internasional. Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, yang merupakan bagian penting dari pembangunan berkelanjutan, tercoreng oleh skandal korupsi. Investasi asing di sektor pendidikan pun berpotensi terhambat.
Untuk mencegah tragedi serupa di masa depan, sejumlah langkah strategis perlu diambil: Pertama, perlu dilakukan reformasi total dalam sistem pengadaan barang dan jasa di sektor pendidikan. Sistem harus lebih transparan, akuntabel, dan melibatkan partisipasi publik secara aktif.
Kedua, pengawasan terhadap penggunaan anggaran harus diperketat dan melibatkan lembaga pengawas independen.
Ketiga, peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam bidang pengadaan dan manajemen anggaran sangat diperlukan.
Keempat, perlu ada komitmen politik yang kuat dari pemerintah untuk memberantas korupsi di sektor pendidikan.
Kasus dugaan korupsi ini bukan hanya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum, namun juga menjadi tanggung jawab kita semua. Sebagai praktisi pendidikan, kita harus terus bersuara dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pendidikan.
Kita juga harus berperan aktif dalam mengawasi implementasi program-program pemerintah, dan memastikan bahwa dana pendidikan benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bagi seluruh siswa Indonesia.
Hanya dengan demikian, cita-cita pendidikan yang berkualitas dan merata dapat terwujud. Tragedi digitalisasi pendidikan yang tercemar korupsi ini harus menjadi momentum untuk perubahan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan.
***
*) Oleh : Erna Wiyono, Jurnalis, Penulis, Pelukis, Creative Director Program, dan Indonesia Dancer.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |