TIMES JAKARTA, JAKARTA – Keberlanjutan (sustainability) produk pangan akuatik (aquatic food product) Indonesia bisa menjadi persoalan serius, seiring terus menurunnya minat generasi muda untuk menjadi nelayan.
Jumlah nelayan dari tahun 2004-2022 juga mengalami penurunan hingga tiga 32%. Setengah dari nelayan Indonesia saat ini, usianya lebih dari 40 tahun.
Ada tiga penyebab utama, mengapa generasi muda enggan menjadi nelayan. Pertama, upah nelayan rendah 35-62% lebih rendah dari rata-rata upah minimum nasional (Rp.3,07 juta/bulan). Kedua, resiko menjadi nelayan sangat tinggi. Ketiga, persoalan pendidikan dan teknologi yang tidak lagi relevan.
Upaya serius harus dilakukan, agar generasi muda tertarik menjadi nelayan. Sehingga, Visi Ekonomi Biru Indonesia 2045 dan the Sustainable Development Goals (SDGs) bisa terwujud khususnya SDG 14 (Kehidupan Bawah Air) dan SDG 8 (Pekerjaan yang Layak dan Pertumbuhan Ekonomi). Pekerjaan yang layak identik dengan upah yang layak.
Ada dua macam sistem pengupahan nelayan. Pertama, sistem upah tetap (gaji) yang didasarkan pada kontrak. Sistem ini biasanya dijalankan oleh industri penangkapan ikan sekala besar. Nelayan anak buah kapal (ABK) mendapatkan gaji dan terkadang juga bonus. ABK memiliki pendapatan yang stabil dan berpotensi diikutkan jaminan perlindungan sosial oleh perusahaannya.
Namun, gaji ABK tersebut biasanya sangat minim jika dibandingkan dengan resiko dan jam kerja yang mereka miliki. Mereka biasanya bekerja di tengah laut, dalam jangka waktu cukup lama.
Kedua, sistem bagi hasil. Sistem ini lazim dipraktekkan pada usaha penangkapan ikan skala kecil (small scale fisheries). Setelah dikurangi biaya operasional penangkapan (bahan bakar, perbealan, es, dan pemeliharaan), keuntungan yang didapat dibagi antara pemilik kapar (juragan) dan anak buah kapal (ABK). Pembagiannya, 50-60% untuk juragan dan sisanya dibagi ke semua ABK yang didasarkan pada senioritas, pengalaman, dan perannya.
Untung dan rugi dalam sistem bagi hasil ditanggung bersama oleh juragan dan ABK. Jika hasil tangkapannya sedikit, apalagi sampai rugi, itu menjadi persoalan. Terutama, bagi ABK. Upah ABK sering di bawah standar upah minimum regional (UMR). Upah yang belum layak itu membuat generasi muda enggan menjadi nelayan.
Terlebih, nelayan Indonesia belum banyak yang memiliki jaminan perlindungan sosial. Khususnya, ABK di usaha penangkapan ikan skala kecil. Sehingga keselamatan nelayan, harus diprioritaskan.
Keselamatan Nelayan Masih Riskan
Menurut penelitian Sunardi dan koleganya (2024), 31% dari total kecelakaan kapal di laut, menimpa kapal nelayan penangkap ikan. Setahun, rata-rata 100 nelayan meninggal atau hilang akibat dari kecelakaan itu. Jumlah total korban meninggal, antara tahun 2018 sampai dengan tahun 2020, mencapai 342 orang.
Regulasi untuk melindungi nelayan telah dibuat. Beberapa diantaranya, yaitu: 1) Undang-Undang (UU) No. 7/2016 tentang Perlindungan Nelayan; 2) UU No. 23/2021 tentang Standar Kelautan dan Peralatan Keselamatan Wajib; 3) UU No.17/2008 tentang Pelayaran, yang mengatur keselamatan dan keamanan maritim, termasuk kewajiban Syahbandar memeriksa kapal sebelum keberangkatan; 4) Peraturan Menteri (Permen) No. 23/2021 tentang Standar Laik Operasi dan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan dalam Pengawasan Kapal Perikanan.
Namun, regulasi saja tidak cukup. Perlu dilakukan mitigasi faktor-faktor penting yang mempengaruhi keselamatan nelayan. Keselamatan nelayan ditentukan oleh tiga faktor penting.
Pertama, faktor individu (nelayan). Pengetahuan dan kesadaran nelayan tentang keselamatan kerja di laut, sangat krusial. Itu dipengaruhi oleh usia, pengalaman, tingkat pendidikan, dan juga kondisi fisik dan kesehatan nelayan.
Kedua, faktor teknis. Beberapa faktor teknis yang perlu mendapatkan perhatian seperti kelayakan kapal (tersertifikasi), ketersediaan peralatan/perlengkapan keselamatan (jaket penyelamat, pelampung, dan alat pemadam kebakaran), alat navigasi, dan perangkat komunikasi.
Ketiga, faktor lingkungan. Dampak cuaca dan perubahan iklim (climate change), kondisi laut (gelombang, badai, arus), dan tingkat resiko daerah/wilayah tempat operasi pengankapan ikan, merupakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan serius.
Mitigasi faktor-faktor keselamatan nelayan di atas bisa dilakukan dengan baik, jika didukung dunia pendidikan dan teknologi yang relevan.
Teknologi dan Pendidikan yang Relevan untuk Nelayan
Kerangka kerja Ekonomi Biru (Blue Economy) Indonesia telah menekankan adanya inovasi teknologi di bidang perikanan khususnya untuk perikanan skala kecil (small sclae fisheries). Namun realitasnya, nelayan masih banyak yang tergantung pada perahu yang tidak dilengkapi sistem navigasi dan keamanan yang memadai (Yonvitner dan kolega, 2020).
Nelayan juga kurang didukung dengan infrastruktur teknologi informasi dan digital seperti panduan memonitor posisi kumpulan ikan dan posisi kapal menggunakan bantuan satelit. Meskipun ada dukungan teknologi pun, belum tentu nelayan bisa menggunakan. Sehingga pendidikan penting, khususnya untuk calon nelayan (pemuda pesisir).
Namun pendidikan yang didapatkan pemuda pesisir, umumnya, tidak selaras dengan tuntutan keterampilan di bidang perikanan, terutama untuk menjadi nelayan. Kurikulum pendidikan formal sangat sedikit yang mengintegrasikan beberapa aspek penting di bidang perikanan seperti teknologi maritim, perikanan berkeanjutan, dan kewirausahaan.
Akibatnya, pemuda pesisir tidak mendapatkan bekal yang cukup. Mereka tidak percaya diri untuk menjadi nelayan. Ditambah lagi, arus informasi yang membentuk opini menjadi nelayan itu tidak keren, tidak prestisius, dan masa depannya tidak jelas. Itulah yang membuat pemuda pesisir enggan, bahkan tidak mau menjadi nelayan.
***
*) Oleh : Boimin, Pemerhati Kebjakan Pangan, Menyelesaikan S3 Ilmu Pangan di University of Massachusetts Amherst, Amerika Serikat, Research Fellow PKSPL IPB Divisi Bioteknologi Kelautan-Pangan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |