TIMES JAKARTA, JAKARTA – Menjelang peringatan hari pahlawan pada 10 November mendatang, usulan agar Presiden Soeharto diberikan gelar pahlawan nasional mengemuka. Usulan ini sejatinya bukan barang baru karena senantiasa didengungkan setiap pergantian rezim sejak 2010 silam.
Menyikapi usulan ini, pemerintah selaku pemegang kuasa pemberian gelar perlu bersikap hati-hati. Persoalan penetapan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bisa saja dieksekusi secara politis dengan menegasikan suara-suara kritis yang menolak.
Namun, akan ada implikasi besar pada sejarah bangsa. Agar tidak gamang dan salah keputusan, pemerintah perlu menimbang secara objektif pemberian gelar tersebut dengan menyerap aspirasi banyak pihak, terutama mereka yang menjadi pelaku sejarah di era orde baru.
Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Pun, jangan sekali-sekali membengkokkan sejarah. Oleh karenanya, penting untuk menilai sejarah secara objektif dengan menganalisis secara jernih labirin-labirin sejarah yang pernah terjadi, menghindari bias, serta menggunakan pendekatan yang multidimensi dan komprehensif.
Mekanisme ini bersifat universal, bisa berlaku dalam konteks negara bangsa manapun. Hanya saja dalam konteks Indonesia, penetapan gelar pahlawan nasional bisa berdimensi sangat politis. Siapa yang memegang kuasa, maka ia yang menentukan.
Menjadi lebih fatalistik karena masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang melankolik, masyarakat pelupa, bahkan masyarakat dengan generasi muda yang kurang melek pada sejarah bangsa. Sejarah bukan saja bisa dibengkokkan, tapi juga dipatahkan.
Kita bisa memulai pemeriksaan dengan menganalisis jasa-jasa Soeharto sebagai presiden. Benar bahwasanya di era kepemimpinan yang terentang tiga dekade lamanya Indonesia memasuki periode pembangunan nasional di segala lini.
Ada swasembada pangan yang mencerminkan kemandirian ekonomi, ada pembangunan industri pesawat terbang nasional, pertumbuhan dan pertambahan penduduk juga terkendali demi menyeimbangkan kecepatan pembangunan terhadap tantangan demografis. Indonesia juga menjelma menjadi ‘Macan Asia’ yang ditakuti.
Dalam konteks ini, Soeharto punya jasa. Namun demikian, damage yang ditimbulkan oleh rezim yang ia pimpin juga tak kalah besar. Jika jasa dan damage tersebut dibenturkan, rasa-rasanya seperti kering setahun dihapus hujan sehari; terhapus oleh banyaknya kebijakan yang tidak sesuai dengan amanat kemerdekaan.
Agar pandangan ini tidak terkesan sinikal, penting untuk mendengarkan suara-suara mereka yang berada pada milieu pemerintahan Soeharto. Coba tanyakan kepada keluarga para aktivis 1998 yang anak dan saudaranya belum jelas keberadaannya hingga hari ini; masih hidup atau sudah mati.
Perlu dipertanyakan kepada para oposan dan kelompok kritis yang ada pada masa itu, bagaimana represi dan dampak represi yang diberikan oleh rezim Soeharto terhadap kehidupan demokrasi pada masa itu, demikian juga dari sisi penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Mereka yang menjadi korban represi dari praktik militeristik dan otoritarianisme Soeharto pada masa itu akan selalu menuntut keadilan, bahkan dari liang kubur mereka sendiri.
Bagi mereka yang tidak hidup pada labirin sejarah ketika Soeharto memegang tampuk pemerintahan, mekanisme pengukuran yang bisa digunakan tidaklah rumit. Periksa kebijakan-kebijakan yang berlaku pada masa itu. Militer digunakan bukan sekedar sebagai alat pertahanan negara, tapi juga kekuatan sosial politik untuk melanggengkan kekuasaan. Militer ada di parlemen, kabinet, bahkan pemerintahan daerah.
Partai-partai politik pada masa itu dibonsai, bahkan dikebiri menjadi tiga partai saja untuk memudahkan pengawasan oleh rezim. Birokrasi yang berisikan para abdi negara dimobilisasi dan ditekan untuk menjadi pendukung penguasa. Inilah yang melatarbelakangi langgengnya kekuasan Soeharto hingga tiga dekade; tanpa pengawasan dan kendali.
Indonesia adalah bangsa yang besar dan beradab. Bagaimana pemerintah saat ini memperlakukan sejarah akan menentukan derajat dan marwah negara, baik di mata bangsa sendiri maupun bangsa lain.
Sebagai bangsa yang beradab, tak salah rasanya jika kita memberikan pemaafan atas segala kesalahan yang pernah dibuat oleh Soeharto. Namun, memberikannya gelar pahlawan nasional di tengah defisit kontribusi yang ia berikan akan menunjukkan bahwa pemerintah saat ini berlaku tidak adil kepada mereka yang menjadi korban kekeliruan rezim pada masa itu.
Jangan-jangan lebih tepat rasanya memberikan gelar pahlawan nasional kepada mereka yang hilang pada tragedi 1998, dan juga mereka yang menjadi korban rezim saat itu. Jangan-jangan. (*)
***
*) Oleh : Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |