https://jakarta.times.co.id/
Opini

Hijrah: Dari Panggung Pribadi ke Perubahan Sosial

Jumat, 27 Juni 2025 - 19:36
Hijrah: Dari Panggung Pribadi ke Perubahan Sosial Abdurrahman Wahid, Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten dan Founder Kita Santri.

TIMES JAKARTA, JAKARTADULU, ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau tidak sedang kabur dari masalah. Beliau tidak dikejar-kejar utang atau diusir dari kos-kosan. 

Hijrah itu bukan seperti pindahan rumah karena tetangga ribut soal jemuran. Ini soal lompatan sejarah. Sebuah langkah yang diayunkan di tengah gurun yang gersang, tapi getarnya sampai ke kita hari ini di kota-kota penuh kafe, sinyal Wi-Fi, dan notifikasi dakwah instan.

Hijrah itu, kata orang sekarang, bukan perkara pindah tempat, tapi pindah sikap. Tapi sayangnya, sebagian dari kita memahaminya sebagai pindah kostum. Seolah-olah makin panjang jenggotnya, makin tinggi kadar keimanannya. Makin cingkrang celananya, makin cepat pula menuju surga. Seolah-olah Tuhan punya unit pengukur imbalan surgawi yang berbasis ukuran kerudung dan penggunaan istilah "anta" dan "anti" dalam percakapan.

Padahal, sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-Baqarah: 177, “Bukanlah kebajikan itu menghadapkan wajahmu ke timur atau ke barat, tetapi kebajikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah” dan kemudian Allah langsung menyambung dengan tindakan-tindakan sosial: memberikan harta pada kerabat, anak yatim, orang miskin, dan mereka yang memerlukan. 

Ini penekanan yang tidak bisa dianggap selingan. Bahwa agama, kalau hanya berhenti pada arah kiblat dan ritual simbolik, akan macet di tengah jalan. Agama, jika tidak melahirkan tindakan sosial, hanya menjadi kostum pentas: megah di luar, tapi hampa isi.

Hijrah bukan soal bungkus, tapi isi. Bukan tentang seberapa Arab kata-katamu, atau seberapa Islami tampilan Instagram-mu. Kalau setelah hijrah, Anda justru semakin gemar mengkafirkan orang yang berbeda tafsir, maka selamat Anda belum ke mana-mana. Anda baru memindahkan ego dari gaya hidup lama ke format baru yang lebih religius, tapi tetap pongah.

Kata seorang teman yang lagi duduk di pojok warung kopi, "kita ini seringkali terlalu semangat tampil sebagai pahlawan agama, padahal baru hapal tiga hadits dan lima istilah Arab. Kita merasa pantas mengoreksi hidup orang, hanya karena sudah tidak nongkrong di tempat maksiat. 

Tapi hijrah itu bukan tentang siapa yang paling keras menegur, tapi siapa yang paling sabar memeluk proses orang lain" sambil tersenyum, ia menggenggam cangkir kopi hangat yang sudah mendingin. 

Lihatlah Nabi kita. Beliau tidak hijrah dengan kepala panas dan suara keras. Beliau membawa cinta, bukan bentakan. Beliau berdialog, bukan memaki. Bahkan ketika dihina dan dilempari batu, beliau tidak lantas membuat konten klarifikasi atau membuka aib penentangnya. Ia merangkul. Ia memilih jalur sunyi tapi mengakar.

Sekarang ini, kita sering bertemu orang yang baru hijrah satu semester tapi sudah mirip admin surga. Membagi-bagikan stempel hidayah seolah dia punya akses ke logistik langit. Yang berbeda dikatai belum paham sunnah. Yang memakai istilah "sembahyang" dikira menyimpang dari jalan nabi. Dan yang masih pakai "kamu-aku" dicurigai belum Islam kaffah. Lucu memang. Tapi juga menyedihkan. Seolah-olah hidayah bisa dijual per kilo di pasar takwa.

Hijrah yang sejati adalah proses melunakkan hati. Ia bukan cermin buat menilai orang lain, tapi jendela untuk melihat ke dalam diri. Ia bukan lompatan ke platform islami yang lebih estetik, tapi perubahan dalam cara kita mengelola emosi, memperlakukan orang, dan memberi manfaat kepada sekitar.

Muhammad Sobary pernah menulis, agama itu soal kedalaman rasa. Ia bukan barang pamer yang disusun di etalase, tapi taman yang mesti dirawat agar harum untuk siapa saja yang singgah. Maka jika hijrahmu membuat orang lain menjauh, mungkin kamu sedang berjalan bukan menuju Tuhan, tapi menuju ruang ganti.

Hijrah dalam arti sosial, sebagaimana yang diajarkan Nabi, adalah membentuk masyarakat yang adil. Yang memberi tempat pada kaum lemah, bukan hanya merangkul mereka yang sepaham. Yang mengangkat mereka yang tertindas, bukan sekadar memberi ceramah tentang kesabaran kepada yang lapar. Kalau hijrah kita tidak menyentuh struktur ketimpangan, maka kita baru mengelus permukaan.

Hijrah hari ini, kalau ingin jujur, adalah ketika seorang anak muda memilih menyisihkan gajinya untuk membiayai pendidikan adiknya. Ketika seorang pedagang menghindari tipu-tipu karena ingin hidup berkah.

Ketika seorang netizen lebih memilih diam daripada menyebar hoaks yang viral. Hijrah adalah saat kita mengganti "aksioma lama" menjadi "kesadaran baru".

Hijrah juga bisa berarti membangun ruang baca di pojok kampung. Mengubah grup WhatsApp keluarga dari ladang debat kusir menjadi ladang donasi untuk tetangga yang sakit. Mengubah media sosial dari tempat memamerkan outfit Islami menjadi tempat menyebar kabar gembira tentang gerakan sosial.

Dan bila kita semua sepakat bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta, maka hijrah adalah kendaraan menuju rahmat itu. Tapi ingat, kendaraan itu bukan sekadar berhias sablon "sunnah" di kaca belakang. Ia adalah gerak yang menghantarkan cahaya bukan hanya kepada diri sendiri, tapi juga kepada orang lain.

Maka mulailah hijrah dari hal-hal kecil. Menahan komentar nyinyir. Menyapa tetangga. Memaafkan kesalahan lama. Mengajak anak membaca. Mendoakan yang berbeda pilihan. Karena hijrah sejati tidak bising. Ia pelan, tapi mengakar.

Dan siapa tahu, dari perubahan kecil itu, dunia menjadi lebih ringan ditinggali. Karena kita telah ikut menyebar cahaya, meski hanya sebutir lilin-lilin begitu kata Rabiah Adawiyah. 

Kalau begitu, mari kita mulai hijrah kita dengan sederhana: kurangi menghakimi, perbanyak mendengar. Kurangi menggurui, perbanyak memberi contoh. Dan tentu, kurangi sinis, perbanyak senyum. Sebab barangkali, dari senyum kecil itulah Tuhan menilai: bahwa kita benar-benar sudah mulai berubah.

Dan siapa tahu, dari sanalah surga pelan-pelan membuka pintunya. Bukan karena jubah kita, tapi karena kita pernah diam-diam menahan lidah agar tidak menyakiti, dan menahan ego agar tidak merasa lebih suci.

Hijrah bukan tentang ke mana kau menghadap, tapi tentang apa yang kau perjuangkan. Bukan soal jenggot, kerudung, atau cingkrang. Tapi soal menegakkan kemanusiaan di bumi yang letih.

***

*) Oleh : Abdurrahman Wahid, Ketua P4NJ Jabodetabek-Banten dan Founder Kita Santri.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

____________
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.