TIMES JAKARTA, JAKARTA – Bulan Desember adalah bulan Gus dur, pada bulan ini bangsa Indonesia, terutama ummat Nahdliyin, di berbagai pelosok akan menyelenggarakan haul Gus Dur. Sebagai bahan refleksi, saya akan menceritakan sepenggal kisah saat terjadi ketegangan politik menjelang pemakzulan Gus Dur.
Penggalan kisah ini barangkali dapat menjadi bahan renungan pada haul Gus Dur kali ini. Siapa tahu dapat menjadi inspirasi dalam menghadapi kondisi kebangsaan dan ke NU-an saat ini
Pada awal Juli 2001, saya tidak ingat tangal persisnya, saya sowan menghadap Gus Dur di Jalan Irian, sekitar jam 21.00. Suasana di rumah itu sudah agak sepi, tamu-tamu yang biasanya antri menghadap sudah tiidak ada.
Tidak seperti bulan-bulan sebelumnya, saat ketegangan politik belum terjadi, banyak tamu datang hingga larut malam. Saat saya menghadap, hanya ada Gus Dur dan para ajudan serta beberapa orang yang biasa mendampingi beliau.
Saat itu, Gus Dur diancam akan dimakzulkan karena dituduh menggelapkan dana Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bulog sebesar empat juta dollar AS yang kemudian disebut dengan kasus Bulggate. Selain itu Gus Dur juga dituduh menyelewengkan dana bantuan dari Sultan Brunei untuk rakyat Aceh sebesar dua juta dollar AS, karena tidak disalurkan melalui jalur resmi negara. Kasus ini dikenal sebagai Bruneigate.
Atas dua tuduhan tersebut Gus dur dianggap telah melanggar Undang-undang dasar 1945, pasal 9 tentang sumpah jabatan dan TAP MPR XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Selain tudingan melakukan korupsi, ancaman pemakzulan Gus Dur juga disebabkan oleh kebijakan dan pernyataannya yang dianggap Kontroversi dan memancing kegaduhan public yang menggangu stabilitas nasional, seperti usulan penghapusan TAM MPR no 25 tentang pelarangan PKI, membuka hubungan diplomatic dengan Israel yang pernah diucapka tahun 1994 dan diusulkan kembali saat jadi presiden. Pertemuannya dengan presiden Cuba, Fidel Castro, sampai pemecatan Menteri yang dianggap melakukan KKN dan melanggar HAM.
Berbagai kebijakan ini membuat para politisi senayan merasa gerah, sehingga berupaya membangun narasi dan mencari legitimasi hokum dan politis untuk dapat menekan gus Gur dengan ancaman pemakzulan. Ketegangana antara Gus Dur (istana) dengan politisi (senayan) ini berlangsung selama berbulan-bulan.
Demi mengendurkan ketegangan antara istana dan senayan, muncul gagasan kompromi. Untuk mencapai kompromi, dilakukan loby-loby politik uuntuk mencari jalan tengah agar kekuasaan Gus Dur terjaga sampai akhir periode dan kepentinan politisi juga terakomodir secara aman.
Beberapa tawaran komrpomi yang diajukan kepada Gus Dur adalah pembagian kekuasaan antara Presiden dan Wakil Presiden, pembentukan “Kabinet Kaki” yaitu kabinet yang terdiri dari para politisi dari partai politik. Jika Gus Dur menerima tawaran tersebut maka kedududkan Gus Dur sebagai Presiden akan dijaga dan diamankan. Bahkan kasus Bruneigate dan Boluggate akan ditutup jika Gus dur menerima tawaran kompromi.
Di tengah keheningan suasana malam di rumah jalan Irian, saya mencoba memberanikan diri bertanya kepada Gus Dur: “Kenapa sih Gus tidak menerima tawaran kompromi yang diajukan oleh mereka” tanya saya memecah keheningan suasana.
Mendengar pertanyaan saya, Gus Dur langsung menatap saya tajam, kemudian bicara dengan nada tinggi: “saya tidak menerima kompromi yang bertentangan dengan konstitusi dan mengkhianati amanat kekuasaan.” “emang komprominya seperti apa sih Gus” tanya saya dengan hati-hati, sambil mencoba mencairkan suasana yang tegang, “Tak kasih tahu kamu ya Tro, kaluar saya menerima kompromi, itu sama artinya saya mengkhianati amanah yang diberikan rakyat. Saya duduk di sini, menjadi presiden ini adalah untuk berjuang mensejahterakan rakyat. Kalau kompromi saya terima, saya tidak bisa melakaukan semua itu lagi, kerena kekuasaan saya dipretheli, saya hanya jadi presiden boneka. Saya bisa menjabat presiden selama lima tahun, tapi saya tidak bisa memperjuangkan nasib rakyat. Buat apa mempertahankan kekuasaan kalau tidak dapat menjalankana amanat” Kata Gus Dur dengan suara pelan namun nadanya tinggi dan tajam.
Saya terpana mendengar jawaban Gus Dur. Para ajudan yang berada tidak jauh dari Gus Dur menatap kami dengan penuh siaga saat mendengar Gus Dur bicara dengan nada tinggi. Saya sendiri belum pernah melihat Gus dur bicara seserius ini.
“Saya tidak mau melanggar konstitusi. Ini bukan karena saya tamak jabatan atau serakah. Tapi undang-undangnya emang berbunyi seperti itu. Tidak ada pembagian kekuasaan antara Presiden dan Wakil Presiden. Kalau harus dibagi-bagi itu menayalahi undang undang. Tidak boleh kita melanggar dan menabrak aturan demi kepentingan politik” kata Gus dur masih dengan nada suara tinggi.
“Ngersakke ngunjuk, Gus” ujar saya mencoba mencairkan ketegangan sambil menyodorkan segelas teh. Gus dur menerima lalu meminumnya. Ketegaangan sedikit reda setelah Gus dur meminum beberapa teguk teh yang saya twarkan. Setelah menaruh gelas di meja, saya kembali bertaya: “Terus bagaimana, Gus? Berarti kompromi tetep ditolak ya?” “Ya harus ditolak, masak saya menerima tawaran politik dagang sapi dengan menabrak konstitusi dan mengorbankan nilai-niai keadilan demi mempertahankan kekuasaan. Kalau sampai kompromi seperti itu saya terima, ini akan jadi preseden buruk dalam pilitik kita” Kata Gus Dur tegas dengan wajah serius. “Saya akan melawan, meskipun harus kalah. Kalah menang dalam politik itu biasa, yang penting saya tidak salah”.
Saya termangu dan kehabisan kata-kata mendengar penjelasan dan penegasan sikap Gus Dur. Kami semua diam, hening. Suasana makin senyap karena saat itu kami hanya ngobrol berdua. Hanya ada beberapa ajudan dan beberapa orang yang berada beberapa meter dari kami ngobrol. Saya tidak tahu apakah mereka mendengar obrolan kami, tapi suasana saat itu benar-benar hening setelah Gus Dur menyatakaan sikapnya yang tegas dan jelas.
Setelah hening beberapa saat kemudian Gus Dur kembali bicara. Beliu meceritakan langkah-langkah yang akan diambil untuk melawan manuver politik yang akan memakzulkannya. Termasuk rencana menerbitkan Dekrit, sebagai upaya retakhir menghadapi manuver politik dan menyelesaikan ketegangan yang terjadi saat itu. Tanggal 23 Juli 2001, Dekrit itu benar-benar dikeluarkan Gus Dur, dibacakan oleh Juru Bicara Presiden, Yahya Cholil Staquf. Dekrit ini menjadi puncak perlawanan terhadap politisi yang ingin memakzulkannya.
Peristiwa itu sangat membekas bagi saya, bahkan hingga saat ini. Dari ini saya melihat, bagaimana Gus dur meneguhkan sikap menjaga nilai-nilai keadilan dan menegakkan konstitusi. Kalau saja saat itu Gus Dur mau kompromi dan menerima syarat-syarat yang diajukan, mungkin tidak terjadi drama pemakzulan sehingga kekuasaan Gus Dur “selamat” sampai akhir periode. Tapi Gus Dur melawan demi menjaga agar kekuasaan benar-benar dapat menjadi alat mensejahterakaan ummat sesuai kaidah “tasarruful imam ‘alal ra’iyah manuutun bil maslahah” (kebijakan pemimpin harus mengacu pada kemaslahatan ummat).
Jelas di sini terlihat, Gus Dur tidak menerima begitu saja ketika ada upaya pemakzulaan dirinya. Gus Dur melawan dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Perlawanan Gus Dur bukan karena ingin mempertahankan kekuasaan dan jabatan yang dimilikinya, tetapi untuk menjaga nilai-nilai keadilan dan penegakan konstitusi. Gus dur melihat ada indikasi peerebutan kekuasaan untuk disalahgunakan, sehingga dia berusaha menjaganya dengan segala kemampuan yang dimilikinya.
Perlawanan Gus Dur berhenti, ketika resiko terburuk menghadang di depan mata, yaitu adanya potensi pertumpahan darah diantara sesama anak bangsa. Karena bagi Gus dur yang terpenting dari politik adalah kemanusiaan. Jika politik sudah mengancam kemanusiaan, maka harus dihentikan dan Gus Dur rela melapas semuanya itu, meski dengan perasaan sedih.
Saya tahu kesedihan Gus Dur saat itu bukan kerena kehilangan jabatan sebagai Presiden, tapi karena Gus dur tahu adanya pontensi terjadinya distorsi fungsi kekuasaan. Dan saat ini apa yang dikhawatirkan Gus Dur itu terbukti.
Dua puluh empat tahun lebih persitiwa ini berlalu, tapi bagi saya ini menjadi cermin jernih untuk melihat peristiwa saat ini. Apa yang dilakukan Gus Dur dapat menjadi inspirasi dalam mensikapi konflik yang terjadi saat ini. Gus Dur tidak membela kekuasaan atau mempertahankaan jabatan. Yang dilakukan Gus dur adalah membela nilai dan aturan main, agar kekuasaan dapat dipergunakan secara konsisten untuk membangun kemaslahataan ummat, bukan sekedar alat memperkaya diri.
Semoga kita dapat belajar dari apa yang terjadi dan dialami Gus dur, dan kita dapat meneladani apa yang sudah dilakukan Gus dur, meski dengan resiko yang pahit dan sulit.
***
*) Oleh : Ngatawi AL-Zastrouw, Budayawan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |