TIMES JAKARTA, JAKARTA – Setiap kali memperingati hari Pendidikan Nasional, penulis teringat pada Ki Hadjar Dewantara. Bapak pendidikan nasional kita yang telah mewarisi dan mewujudkan mimpi pendidikan yang inklusif dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesungguhan dan perjuangannya di bidang pendidikan telah tertulis dengan tinta emas sebagai pahlawan pendidikan.
Pertanyan yang muncul adalah sudahkah kita sebagai bangsa yang beradab mengambil “apinya” hari Pendidikan Nasional? Ataukah tanggal 2 Mei yang diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional hanya dianggap sebagai “tanggal keramat” untuk mengenang perjalanan panjang sejarah pendidikan Indonesia.
Dengan kata lain, hari pendidikan nasional dianggap semata-mata angka bukan simbol keteladanan dan kesungguhan dalam memajukan pendidikan nasional (bangsa).
Memang untuk meneruskan semangat serta membangun masa depan pendidikan yang berkualitas dan merata tidak sesederhana yang kita pikirkan. Pendidikan hendaknya dipahami dari dua dimensi. Pertama adalah dimensi normatif. Kedua adalah dimensi emperik.
Dimensi pertama, mengingatkan kita pada alinea IV Pembukaan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. Salah satu tujuan negara dinyatakan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dimensi ini menegaskan apa sejatinya yang sangat idiil dari pendidikan. Dalam konteks ini, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kunci utama dalam pendidikan.
Dimensi kedua, memperlihatkan kepada kita apa sesungguhnya yang telah terjadi dalam dunia pendidikan kita. Apakah norma idiil tersebut telah terwujud dalam dunia pendidikan kita.
Sudahkah dunia pendidikan kita memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak bangsa untuk menjadi manusia-manusia cerdas. Ataukah sebaliknya, justru “mengebiri” atau membatasi mereka untuk berpikir cerdas.
Kebebasan dan kesempatan di mana anak bangsa bisa menikmati hak-hak dasar mereka sebagai manusia. Hak untuk mendapat pendididikan yang layak. Yang dapat membantu dan mengubah “nasib dan pola pikir” mereka ke depan menjadi manusia berpikir cerdas. Bukan menjadi manusia-manusia berpikir kerdil dan penuh batas.
Dalam sebuah bukunya, Affan Gaffar, menceritakan tentang seorang anak Amerika Serikat ketika ditanya oleh seorang wartawan CNN. Pertanyaan tersebut adalah: “Presiden Clinton salah atau tidak dalam kasus hubungan cintanya dengan seorang pekerja magang di kantornya?” Anak tersebut menjawab: “Since the President lies… He is perfectly guilty”. (sejak presiden berbohong, dia telah sepenuhnya bersalah).
Jawaban anak tersebut ternyata tidak berbeda dengan jawaban orang dewasa. Bukan hanya tegas tetapi juga kritis. Realitas yang mempertontonkan “kecerdasan” seorang anak yang penuh nuansa kebebasan dan keberanian dalam berpendapat. Sebuah kebebasan dan keberanian yang memainkan peran penting, yang perlu dicontoh dan dikembangkan di dunia pendidikan.
Dalam konteks ini, saya sependapat dengan Mas Menteri, Nadiem Makarim. Ia menyatakan “Jangan menunggu Pemerintah untuk mengubah pendidikan” , Masyarakat harus terus belajar dan semakin kritis. Pendidikan tidak dapat diserahkan begitu saja kepada pemerintah. Masyarakat juga memainkan peran peting, khususnya dalam realitas pembentukan kontrol.
Masyarakat tidak dapat dimarjinalkan dan hanya dianggap sebagai pengguna jasa pendidikan semata. Disadari atau tidak, pendidikan juga sangat bergantung pada penilaian, dukungan, dan sikap kritis yang dibangun oleh masyarakat. Dengan kata lain, hidup dan matinya pendidikan juga ditentukan oleh masyarakat.
Hal tersebut dapat dibuktikan oleh menguatnya tuntutan masyarakat terutama kalangan arus bawah (grass root). Tuntutan mereka telah membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap kondisi pendidikan Indonesia. Sebuah tuntuntan untuk kembali melakukan format ulang realitas pendidikan yang dapat mencerdaskan anak bangsa yang merata, bernilai, dan beradab.
Sehubungan dengan hal tersebut, Idris Apandi, seorang akademisi dan pengamat pendidikan, mengutip pernyataan Nadiem Makarim: “Kita memasuki era dunia pendidikan di mana gelar tidak menjamin kompetensi. Kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya. Kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin mutu. Ini hal-hal yang harus segera disadari di dalam dunia pendidikan kita saat ini.”
Pernyataan Nadiem Makarim di atas, menggambarkan sebuah kondisi di mana dunia pendidikan masih memprihatinkan. Di dalamnya memperlihatkan “ketidakmampuan” penggawa pendidikan untuk menjadikan dunia pendidikan sebagai “kawah candradimuka” yang menghasilkan manusia-manusia cerdas dan bermartabat. Manusia-manusia yang mampu menjawab tantangan zaman yang ada.
Namun di sisi lain, pernyataan tersebut merupakan sebuah ajakan (baca: tawaran) untuk kembali melakukan format ulang realitas pendidikan yang ada. Pendidikan diharapkan semakin humanis dan mampu menjadikan anak didik menjadi manusia-manusia cerdas dan beradab. Hal itu penting karena kualitas pendidikan yang meningkat dan akses pendidikan yang merata menjadi kunci utama untuk membentuk generasi bangsa yang cerdas, berdaya saing, dan bermutu.
Hasrat meraih kualitas pendidikan yang meningkat dan merata itu hanya bisa dipenuhi sepenuhnya bilamana negara Indonesia bisa mewujudkan visi negara-bangsa sebagaimana dimaksud dalam alinea IV Pembukaan UUD NKRI 1945. Hal ini berarti diperlukan pemikiran dari Ki Hadjar Dewantara-Ki Hadjar Dewantara (baru) yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Berbasis budaya bangsa sendiri dengan semangat nasionalisme, menjaga persatuan, dan kesatuan bangsa. Berbasis pada kerja sama kolektif antara Pemerintah dan masyarakat bergerak bersama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional? Mengenang perjalanan panjang dalam sejarah pendidikan Indonesia, tanggal 2 Mei bukanlah semata angka, melainkan simbol kesungguhan dan semangat dalam memajukan sistem pendidikan bangsa.
Dalam setiap perayaan Hari Pendidikan Nasional, kita diingatkan akan warisan berharga dari Ki Hadjar Dewantara dan para pahlawan pendidikan lainnya yang telah berjuang untuk mewujudkan mimpi pendidikan yang inklusif dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Mari kita teruskan semangat mereka dalam membangun masa depan yang cerah melalui pendidikan yang berkualitas dan merata untuk semua anak bangsa. (*)
Oleh: Mohamad Sinal, Dosen Polinema dan Pemerhati Bahasa Hukum.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Bergerak Bersama Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Pewarta | : |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |