https://jakarta.times.co.id/
Opini

APBN, Pesantren, Kiai, dan Rompi Oranye

Senin, 03 November 2025 - 15:19
APBN, Pesantren, Kiai, dan Rompi Oranye Dr. Muhammad Aras Prabowo, Pengamat Ekonomi UNUSIA.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Ketika dana publik mengalir deras ke tangan masyarakat, wajah pembangunan sering kali berubah menjadi wajah pertanggungjawaban. Sejak awal pengucuran dana desa pada tahun 2015, publik berkali-kali disuguhi pemandangan serupa: kepala desa memakai rompi oranye, digiring ke mobil tahanan, dan diberitakan melakukan penyalahgunaan anggaran. 

Gambar ini tidak sekadar menjadi tontonan moral, tetapi potret klasik tentang bagaimana uang negara yang baik niatnya bisa berubah menjadi bencana ketika kapasitas tata kelola tidak disiapkan secara matang.

Fenomena kepala desa ber-rompi oranye itu berulang di banyak tempat. Kasus Kepala Desa Cikujang di Sukabumi, misalnya, menjadi salah satu simbol awal penyalahgunaan dana desa ratusan juta rupiah dana publik diselewengkan karena lemahnya pemahaman tata kelola. 

Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa pada lima tahun pertama implementasi dana desa (2015–2019), ada lebih dari 500 kasus korupsi dana desa di seluruh Indonesia, dengan nilai kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah. Modusnya hampir sama: penggelapan, pemotongan bantuan, laporan fiktif, hingga pengadaan barang dan jasa tanpa prosedur.

Jika ditelusuri lebih dalam, akar masalahnya bukan semata keserakahan, tetapi ketidaksiapan administratif dan lemahnya literasi keuangan publik di tingkat desa. Banyak kepala desa tidak memahami logika APBN dan APBD sebagai sistem hukum dan akuntansi, bukan sekadar dompet pembangunan. 

Mereka terbiasa dengan sistem kas tunai, tanpa buku besar, tanpa pemisahan antara dana publik dan dana pribadi. Begitu aliran dana mencapai miliaran rupiah, kekacauan pun tak terhindarkan bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga kesalahan administratif yang berujung pidana.

Fenomena ini menjadi cermin berharga bagi dunia pesantren, terutama setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. UU tersebut menegaskan bahwa pesantren kini menjadi bagian resmi dari sistem pendidikan nasional, yang berarti terbuka peluang untuk mendapatkan dana APBN maupun APBD baik berupa bantuan operasional, infrastruktur, maupun program pemberdayaan santri dan masyarakat.

Di titik inilah pesantren dan kyai harus belajar dari kisah kepala desa ber-rompi oranye. Ketika negara membuka kran pendanaan, tanggung jawab hukum dan administratif ikut mengalir di dalamnya. 

Pengelolaan dana negara bukan hanya soal niat baik, melainkan soal kepatuhan regulatif, akuntabilitas publik, dan pelaporan keuangan yang bisa diaudit.

Bayangkan bila dana miliaran rupiah masuk ke rekening pesantren tanpa kesiapan sistem. Banyak pesantren tradisional belum memiliki struktur keuangan formal, standar akuntansi, atau sumber daya manusia yang memahami laporan pertanggungjawaban APBN/APBD. 

Dalam kondisi demikian, kekeliruan administratif meski tanpa niat jahat bisa dengan mudah berubah menjadi temuan hukum. Jika kepala desa bisa terjebak karena tidak memahami peraturan perbendaharaan negara, maka kyai dan pengurus pesantren pun bisa tersandung di lubang yang sama bila tidak disiapkan secara institusional.

Itulah sebabnya, Direktorat Jenderal Pesantren Kementerian Agama perlu tidak hanya mengatur urusan pendidikan dan kurikulum, tetapi juga memperkuat kapasitas tatakelola keuangan publik di pesantren. 

Setiap pesantren penerima dana APBN atau APBD harus memiliki bendahara yang terlatih, buku kas resmi, sistem pengawasan internal, dan laporan keuangan yang bisa diaudit. Pemerintah perlu menyediakan pelatihan wajib pengelolaan dana publik, sebagaimana pernah diterapkan kepada aparat desa di awal program dana desa.

Lebih dari itu, pesantren harus mengembangkan akuntansi pesantren sistem pencatatan yang sederhana tetapi sesuai dengan prinsip audit publik. Ini bukan semata-mata urusan teknis, tetapi bagian dari akhlak kelembagaan: transparan, tertib, dan dapat dipercaya. Sebab, sebagaimana kiai menjaga sanad keilmuan agar tidak putus, demikian pula pengelolaan dana publik harus dijaga agar tidak tercederai oleh penyimpangan.

Pelajaran besar dari desa adalah bahwa niat baik tanpa sistem adalah jalan menuju kegagalan. Ratusan kepala desa tidak pernah membayangkan akan berakhir di ruang sidang, tetapi ketidaktahuan mereka terhadap aturan menjadi bumerang. 

Jika pesantren tidak menyiapkan diri secara administrasi, akuntansi, dan regulatif maka ketika audit tiba, kertas laporan bisa lebih menakutkan dari kitab kuning yang belum ditamatkan.

Oleh karena itu, setiap pesantren harus mulai menata budaya tata kelola, tidak menunggu bantuan datang lebih dulu. Bentuklah unit keuangan, buat laporan tahunan, dokumentasikan setiap pengeluaran, dan buka ruang pengawasan dari masyarakat. Jadikan transparansi sebagai bagian dari ibadah sosial, bukan sekadar kewajiban administratif.

APBN dan APBD yang masuk ke pesantren bukanlah hadiah, melainkan amanah negara. Dan amanah itu, seperti sabda Nabi, akan dimintai pertanggungjawaban. 

Maka belum satu pun kiai atau bendahara pesantren mengenakan rompi oranye karena kelalaian administratif, lebih baik kita belajar dari kepala desa yang sudah mendahului.

Rompi oranye seharusnya menjadi peringatan simbolik, bukan takdir berulang. Bila pesantren mampu mengelola dana publik dengan integritas dan transparansi, maka ia tidak hanya menjadi lembaga pendidikan agama, tetapi juga model tata kelola publik yang beradab tempat di mana uang negara diperlakukan sebagai sarana ibadah, bukan sumber petaka. (*)

***

*) Oleh : Dr. Muhammad Aras Prabowo, Pengamat Ekonomi UNUSIA.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.