https://jakarta.times.co.id/
Opini

Raja Ampat dan Hilangnya Kompas Konstitusi

Rabu, 11 Juni 2025 - 11:24
Raja Ampat dan Hilangnya Kompas Konstitusi Rikza Anung Andita Putra, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, negara diberi mandat konstitusional untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Tetapi frasa “dikuasai oleh negara” bukanlah legitimasi untuk mengeksploitasi sesuka hati. 

Ia adalah mandat pengelolaan, dengan tanggung jawab utama: digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Di sinilah letak fungsi hukum tata negara. Ia hadir untuk mengatur, membatasi, sekaligus memastikan agar kewenangan negara tidak keluar dari rel konstitusi.

Namun, bagaimana jika negara justru menjadi aktor utama dalam pembiaran kerusakan lingkungan? Apa yang terjadi ketika kekuasaan negara lebih tunduk pada logika investasi daripada pada semangat perlindungan konstitusional? 

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kembali mencuat ke permukaan dalam polemik yang belakangan ramai digaungkan lewat tagar #SaveRajaAmpat.

Tagar itu mencuat usai aksi simbolik yang dilakukan Greenpeace bersama beberapa pemuda Raja Ampat dalam konferensi Indonesia Critical Minerals di Jakarta. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Save Raja Ampat from Nickel Mining”, menyuarakan keresahan atas maraknya pertambangan nikel yang kini mulai masuk ke jantung wilayah ekosistem Raja Ampat. 

Salah satu lokasi yang dipersoalkan adalah Pulau Gag, pulau kecil yang masuk dalam kawasan Raja Ampat dan saat ini sedang dieksplorasi oleh perusahaan tambang nikel, PT Gag Nikel.

Pemerintah berkilah, tambang ini tak berada di kawasan wisata Raja Ampat, melainkan 40 km jauhnya. Tapi sejauh apapun lokasi tambang dari spot pariwisata, ekosistem tidak bisa dipisahkan berdasarkan radius kilometer. 

Apalagi jika yang dibicarakan adalah wilayah laut yang menyatu, punya arus, rantai makanan, dan sistem ekologi yang saling berkaitan. Jarak bukan hanya perkara angka, tapi soal potensi dampak yang bisa menjalar.

Yang lebih mengkhawatirkan, Pulau Gag hanyalah satu dari sekian pulau kecil di Raja Ampat. Luasnya hanya sekitar 77,27 km², dan itu artinya secara hukum, ia masuk kategori pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 27 Tahun 2007 juncto UU No. 1 Tahun 2014, yakni pulau dengan luas kurang dari atau sama dengan 2.000 km². Artinya, wilayah ini secara hukum tunduk pada ketentuan khusus mengenai perlindungan pulau kecil.

Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa kegiatan pertambangan di pulau kecil bertentangan dengan semangat konstitusi dan merugikan kepentingan jangka panjang rakyat. Karena itu, penambangan di Pulau Gag tidak hanya problem etika lingkungan, tapi juga secara terang melanggar hukum tata negara.

Faktanya, bukan hanya satu atau dua kali negara seperti abai pada amanat konstitusi. Pemerintah memiliki berbagai instrumen hukum, mulai dari UU Lingkungan Hidup, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, hingga kewenangan administratif untuk mengevaluasi izin lingkungan. 

Tapi problemnya selalu sama, regulasi ada, tapi implementasi dan pengawasannya nihil. Ketika masyarakat bersuara, pemerintah berdalih. Ketika bukti pencemaran mengemuka, pejabat datang, foto-foto, lalu berkata “tidak ada masalah”.

Ironisnya, kawasan seperti Raja Ampat bukan hanya tempat indah untuk dikunjungi. Ia adalah habitat makhluk hidup, rumah bagi terumbu karang, ikan, plankton, dan sistem ekosistem yang selama ribuan tahun menjaga stabilitas laut dunia. Bahkan, di Raja Ampat, penggunaan jetski pun dibatasi karena berpotensi mengganggu pergerakan ikan dan kehidupan bawah laut. 

Para turis datang bukan untuk melihat tambang nikel, tapi untuk diving, menyelam dan menyatu dengan kedalaman laut yang masih perawan. Jika wilayah seperti ini pun tidak diselamatkan, maka narasi pariwisata berkelanjutan yang sering digaungkan pemerintah hanya tinggal jargon.

Yang membuatnya lebih menyakitkan adalah ketika semua ini dibungkus dengan dalih “demi kemakmuran rakyat”, seolah-olah pertambangan adalah jalan pintas menuju keadilan sosial.

Dalam praktiknya, seringkali hanya segelintir elite yang menikmati manfaatnya. Rakyat lokal hanya kebagian debu, limbah, dan dampak kerusakan jangka panjang.

Pasal 33 UUD 1945 itu bukan sekadar pasal ekonomis. Ia adalah fondasi keadilan ekologis. Ketika alam dirusak atas nama pembangunan, maka negara sedang mengkhianati mandat konstitusionalnya sendiri.

Hukum tata negara hadir bukan hanya untuk mengatur relasi kekuasaan, tapi juga menjadi kompas etis, memastikan bahwa kekuasaan tidak membutakan nurani.

Dulu, VOC datang menambang rempah. Kini, korporasi datang menambang nikel. Bedanya, yang dulu menjajah dengan kapal, sekarang menjajah lewat pasal dan izin tambang. Menyelamatkan Raja Ampat berarti menyelamatkan wajah konstitusi kita.

Dan meski ikan-ikan di Raja Ampat tak bisa berdemonstrasi, terumbu karang tak bisa bersuara dalam forum parlemen, diam mereka bukan tanda setuju. Alam yang dilukai akan membalas. Bukan hari ini, mungkin bukan esok. Tapi pasti.

***

*) Oleh : Rikza Anung Andita Putra, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.