https://jakarta.times.co.id/
Opini

Defisit Guru Bangsa

Selasa, 25 November 2025 - 17:57
Defisit Guru Bangsa Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Ada kegelisahan kolektif yang kian sering muncul di tengah masyarakat: kerinduan terhadap sosok guru bangsa. Kerinduan itu mencuat bukan semata karena romantisme sejarah, tetapi karena ketiadaan figur yang benar-benar menghadirkan keteladanan, kebijaksanaan, dan orientasi kerakyatan yang kokoh sebagaimana para pendahulu republik.

Dalam khazanah literatur Indonesia, nama-nama besar seperti Soekarno, Tan Malaka, Hatta, Yamin, Sjahrir, hingga Hamka bukan sekadar tokoh politik atau pemikir; mereka adalah guru bangsa. Gagasan-gagasan mereka hadir bukan untuk memecah belah, melainkan untuk memantik kesadaran dan membangun pondasi moral bagi generasi baru. 

Pada masa revolusi hingga awal kemerdekaan, perdebatan keras di antara mereka bukanlah pertikaian personal, melainkan dialektika demi mencari jalan terbaik bagi bangsa.

Bandingkan dengan kondisi hari ini. Ketika publik mencoba mencari panutan, yang ditemukan justru ruang kosong. Kekeringan keteladanan membuat generasi muda kembali membuka lembaran sejarah, menengok makam para pahlawan, dan menggali ulang gagasan-gagasan para guru bangsa terdahulu untuk menemukan arah baru.

Dalam salah satu dialog imajiner yang kerap dikutip dalam berbagai wacana, Soekarno seolah ditanya: “Bung, siapakah musuh terbesar republik hari ini?” Jawaban yang sudah puluhan tahun lalu disampaikan kembali menggema: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah; perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Sebuah peringatan yang terasa makin relevan.

Lihat saja realitas hari ini: di Timur Indonesia, kekayaan alam dikuras habis atas nama hilirisasi, menyisakan kerusakan ekologis yang kelak ditanggung generasi mendatang. Papua masih bergolak menuntut rasa keadilan yang tak kunjung penuh. 

Di sisi barat negeri ini, generasi muda menanggung beban utang yang membengkak akibat proyek infrastruktur yang sarat aroma kepentingan dan dugaan rasuah. Di tengah semua itu, pihak asing kerap dijadikan kambing hitam, padahal mereka tak akan leluasa masuk bila tidak ada komprador di dalam negeri sendiri.

Dalam dialog imajiner lain, Tan Malaka seorang pahlawan yang lebih dikenal di Asia dan Eropa dibandingkan di tanah kelahirannya seolah kembali mengingatkan: “Kemajuan sebuah bangsa hanya terwujud apabila ada dialektika di dalamnya.” 

Dialektika yang dimaksud adalah pertarungan gagasan secara jujur dan terbuka, demi menemukan jalan terbaik menuju kemajuan. Namun ruang dialektika semacam itu tampak menghilang di kalangan elit hari ini. 

Debat dan wacana publik banyak terjebak pada kepentingan kelompok, bukan kepentingan bangsa. Jika pun ada dialektika yang berlangsung, itu bukan dialektika gagasan, melainkan transaksi kekuasaan.

Ketiadaan ruang dialektika jernih itulah yang menggerus kedudukan moral elit di mata publik. Rakyat yang seharusnya menjadi pusat orientasi kebijakan justru terpinggirkan oleh mekanisme politik yang mengutamakan kompromi elit dan bagi-bagi kekuasaan. Ketika suara rakyat kehilangan bobot di ruang pengambilan keputusan, wajar bila kepercayaan publik semakin rapuh.

Di sinilah letak persoalan besar bangsa hari ini: Indonesia sedang mengalami defisit guru bangsa. Bukan karena tidak ada individu cerdas, bukan pula karena tidak ada figur yang tampil di panggung politik. Namun sedikit sekali yang benar-benar hadir sebagai pendidik bangsa mengarahkan, mencerahkan, dan menggerakkan kesadaran kolektif dengan keteladanan yang tulus.

Masalah bangsa tak pernah sekadar soal ekonomi, politik, atau pembangunan fisik. Ia selalu kembali pada kualitas manusia yang memimpinnya. Pada karakter, moral, dan visi jangka panjang. Pada kejujuran untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

Indonesia membutuhkan kembali sosok-sosok yang mampu menyalakan obor kesadaran bangsa, seperti para pendahulu yang gagasannya tak lekang oleh zaman. Sosok yang mampu membangun dialektika sehat, membangkitkan semangat kebangsaan, dan memandu arah republik di tengah tantangan global yang semakin kompleks.

Selama defisit guru bangsa ini belum teratasi, Indonesia akan terus berputar dalam lingkaran persoalan yang sama: elit yang sibuk bertransaksi, rakyat yang kehilangan pegangan, dan cita-cita kemerdekaan yang berjalan pincang.

Kerinduan terhadap guru bangsa bukan sekadar nostalgia, melainkan pertanda bahwa bangsa ini membutuhkan kompas moral baru. Kompas yang dapat mengarahkan republik kembali pada prinsip awalnya: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menghadirkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)

***

*) Oleh : Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.