TIMES JAKARTA, LOMBOK UTARA – Tetiba saya tidak mood dengan proses demokrasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 di tanah kelahiran saya, Lombok Utara. Ini bukan tanpa alasan, laiknya buah durian yang beraroma menyengat, saya mencium tanda-tanda aura fenomena ketidakberesan pada pihak yang berkontestasi. Aroma menyengat ini seperti telah menjalar dalam nurani saya sebagai warga tulen Lombok Utara.
Demokrasi pada prinsipnya hanya semata-mata kanal aspirasi rakyat untuk mencetak sosok pemimpin yang jujur, adil, humanis, dan legitimate. Ekspetasi ini membuncah di ruang-ruang publik di bumi Tioq Tata Tunaq karena warga menyadari bahwasanya kepemimpinan yang ideal menjadi “kunci” siklus etape pembangunan yang berkelanjutan di berbagai aspeknya di masa mendatang, baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, dan kesejahteraan rakyat.
Sejatinya, Pilkada sebagai jalur sosial yang memberikan ruang seluas-luasnya kepada warga untuk mentransfer hak politik mereka guna memilih pemimpin daerah secara individual. Tentu, untuk memilih calon kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas.
Untuk menjamin Pilkada berjalan sesuai dengan tempus lokusnya, perlu terbangun sinergi antar stakeholder dan seluruh lapisan masyarakat di level akar rumput. Praktisnya, pergelaran Pilkada tidak diasumsikan sebagai pesta rakyat, tetapi momentum istimewa memilih memimpin, karena itu pelanggaran dalam bentuk apapun harus dicekal demi terjaganya kemurniaan demokrasi lokal.
Sebagaimana daerah-daerah lain yang sama-sama ber-Pilkada serentak 2024, secara resmi masa kampanye di Lombok Utara akan berakhir 23 November mendatang. Namun seluruh lapisan masyarakat mesti mewaspadai politik uang (money politic) yang nampaknya mulai starting mendebut ke kantong-kantong suara dengan pelbagai cara dan modusnya, misalnya transaksi (terselubung) tiga hari pra pencoblosan (masa tenang) melalui tools digital.
Kehadirannya teknologi memang dihajatkan memudahkan kehidupan manusia disatu sisi, dan dapat malapetaka jika disalahgunakan disisi lain, misalnya digunakan untuk melakukan praktik money politic.
Di era teknologi sekarang, politik uang bermetamorfosa dari yang sebelumnya pemberian langsung amplop uang tunai berganti dengan transfer uang ke rekening ataupun dompet digital. Sasaran politik uang via digital ini berpotensi didominasi pemilih muda, atau bisa pula pemilih tua yang cakap digital.
Transaksi “uang digital” ini sebagai cara baru politik uang dalam era teknologi informasi yang pesat dan tak berjarak dengan kehidupan masyarakat. Namun sulit sekali untuk mengidentifikasi pelanggaran money politic diera ini jika kita tidak bisa menemukan unsur-unsurnya. Artinya harus terpenuhi unsur-unsurnya, semisal ada unsur ajakan dan ada pula unsur larangan untuk tidak memilih salah satu kontestan sembari memberikan uang kepada orang lain.
Kualitas demokrasi kita hari ini mesti lebih baik dengan pencegahan terjadinya politik uang secara langsung atau melalui transfer via digital. Selain itu, transfer uang ke rekening atau dompet online dengan iming-iming tertentu dari oknum tim sukses pasangan calon juga termasuk praktik politik uang digital. Jangan sampai masyarakat tergiur kemudian menerima sogokan, sebab ancaman hukuman pidananya menunggu obyek, bila terbukti, bagi pemberi maupun penerimanya.
Oleh karena itu, masyarakat wajib mewaspadai politik uang digital disisa masa kampanye, masa tenang hingga fajar menyingsing pada suksesi Pilkada 2024. Jangan sampai Pilkada serentak tahun ini tercoreng gegara politik uang.
Senja demokrasi kita dari pemilihan ke pemilihan karena adanya pandangan bahwa uang diakui jadi senjata politik yang ampuh sekaligus sangat strategis untuk memburu kekuasaan oleh seseorang atau kelompok orang dalam masyarakat kita selama ini. Bahkan tindakan penyuapan melalui politik uang sebagai fenomena yang kerap terjadi.
Ada sejumlah faktor yang dapat memengaruhi terjadinya politik uang di masyarakat. Pertama, minimnya wawasan masyarakat tentang bahaya politik uang. Misalnya, masih banyak masyarakat yang belum tahu ancaman tindak pidana politik uang.
Kemudian, rendahnya pendidikan politik di masyarakat memicu sikap tidak acuh tak acuh dan tak peduli terhadap Pilkada atau Pemilu. Bila situasi ini dibiarkan tanpa langkah pencegahan yang memberikan efek jera, bisa saja suatu saat menjadi “boomerang” bagi perjalanan demokrasi kita.
Kedua, konsep rezeki. Terbenakinya pemahaman uang sebagai rezeki yang tidak boleh ditolak telah menyebabkan masyarakat tidak bisa menolak politik uang. Ketiga, kemiskinan. Kemiskinan yang melilit masyarakat akibat terbatasnya lapangan pekerjaan membuat kran politik uang bisa dengan mudah menyasar dan menggoyahkan pendirian masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah.
Bahaya politik uang bagi masyarakat mirip seperti bahaya narkoba karena dampaknya berkelindan. Artinya manakala dampak narkoba secara fisik bisa merusak kesehatan dan mental, maka politik uang akan dapat membabat kikis tujuan demokrasi, yaitu mencetak pemimpin dari proses kontestasi dan kompetisi politik yang sehat. Politik uang akan merusak keberlangsungan demokrasi dalam jangka panjang. Itulah maksudnya bahwa bahaya politik uang mirip seperti bahaya narkoba.
Setidaknya ada dua upaya pencegahan merajalelanya praktik politik uang. Pertama, meniscayakan terbangunya komitmen dan kehendak yang baik dari semua kalangan untuk berikhtiar sekeras mungkin membendung praktik perusak demokrasi tersebut. Dalam konteks ini, aspek moral perlu ditempatkan di garda paling depan selain penegakan aturan dengan spirit kredibilitas dan akuntabilitas yang tinggi dalam rangka mencegah penyimpangan hukum.
Kedua, perlu diterapkan pembenahan sistemik, yang di dalamnya ada kebijakan pembatasan biaya politik, aturan kampanye lebih ketat, serta mengintensifkan sosialisasi dan edukasi politik bagi masyarakat hingga akar rumput.
Diyakini, hanya dengan langkah tersebut demokrasi di Lombok Utara dan di Indonesia pada umumnya, dapat dikembalikan pada esensinya: terciptanya keadilan dan kesejahteraan rakyat.
***
*) Oleh : Sarjono S.I.Kom, M.Sos, Wakil Ketua IKA PMII Lombok Utara.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Mawas Politik Uang Digital dalam Pilkada 2024
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |