TIMES JAKARTA, JAKARTA – Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) akan menggelar Kongres III pada Jumat-Minggu, 29 November-1Desember 2024 di Asrama Haji Balikpapan, Kalimantan Timur di Balikpapan. Awalnya Kongres tersebut hendak digelar di dua lokasi yaitu di Surabaya dan Balikpapan serta diisi dengan pertemuan di atas kapal selama pelayaran antara kedua kota pelabuhan itu.
Namun, mengingat kegiatan itu sangat rapat dengan Pilkada Serentak, Rabu (27), maka Pengurus Pusat ISNU memutuskan bahwa Kongres III dipusatkan di Kota Balikpapan saja. Peran strategis kongres ISNU Seperti diketahui ISNU adalah badan otonom yang berfungsi membantu melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama (NU).
ISNU memiliki visi untuk mewadahi kegiatan para sarjana, ilmuwan, intelektual, dan profesional NU dari berbagai disiplin ilmu; meningkatkan pengembangan Islam Ahlusunnah wal Jama'ah, ilmu pengetahuan, dan teknologi; dan meningkatkan sinergitas kegiatan NU dalam mencapai dan memperjuangkan kesejahteraan umat dan masyarakat.
Sebagai pertemuan tertinggi organisasi, Kongres III di Balikpapan memiliki peran strategis, baik bagi ISNU sendiri, bagi NU, bagi komunitas Muslim Indonesia, bagi bangsa dan negara Indonesia maupun bagi masyarakat global.
Kongres yang digelar berkenaan dengan HUT ISNU ke-25 (hari lahir ISNU, 19 November 1999) itu penting karena menjadi momentum bagi para anggota ISNU) untuk bersilahturahmi, saling bertukar pengalaman dan berbagi pemikiran demi menjawab tantangan bangsa di era globalisasi. Singkat kata, seperti disampaikan Ketua Umum PP ISNU Prof. Dr KH. Ali Masykur Moesa menyatakan, Kongres III ini akan menjadi momentum penting bagi para sarjana NU untuk menyampaikan gagasan dan sumbangsih nyata guna mendukung pembangunan nasional.
Fokus terhadap Isu Pendidikan
Sesuasi visinya, idealnya, melalui Kongres III, para peserta membahas seluruh masalah pembangunan nasional meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan (Ipoleksosbudhankam). Namun, menilik tema Kongres III, “Memperkokoh Khidmah ISNU Menuju Generasi Emas yang Berperadaban’, dan masa berlangsungya sangat singkat (3 hari), maka sebaiknya ISNU fokus membahas isu-isu di bidang sosial-budaya (sosbud) khususnya bidang pendidikan.
Mengapa? Sebab, pendidikan adalah kunci utama bagi pembentukan generasi emas. Lebih dari pada itu, pendidikan adalah jalan utama bagi revitalisasi peradaban Islam di Indonesia.
Pendidikan dan Siklus Peradaban Islam Masa Lalu
Peradaban dalam perspektif Islam adalah konsep yang luas dan sering dijelaskan secara berbeda oleh setiap ahli. Al-Azmeh, dalam artikelnya, ‘Civilization, Concept and History of’ (2001, 1906) menyebutkan, kata bahasa Arab untuk ‘peradaban’ adalah kata hadara (al-hadhar).
Kata ‘al-hadhar’ (perkotaan), digunakan sebagai lawan dari kata ‘al-badwu (pedalaman), yang dimaksud oleh kata tersebut adalah metode kehidupan (thariqat al-hayah).
Kata ‘hadharah’ adalah sekumpulan persepsi tentang seluruh dimensi kehidupan (majmu’ al-mafahim ‘an al-hayah). Sedangkan kata ‘hadharah islamiah’ adalah sekumpulan persepsi tentang kehidupan manusia menurut sudut pandang Islam. Pada hakekatnya, sebagaimana peradaban manusia pada umumnya, peradaban Islam dibentuk oleh nilai-nilai dan world views (pandangan tentang dunia dan alam semesta).
Menilik sejarahnya, saat merintis peradaban Islam (630-an hingga 740-an M), Nabi Muhamad Saw dan para sahabatnya berdakwah dua nilai paling dasar yang menjadi landasan peradaban Islam yaitu, pertama, doktrin tauhid (keesaan Tuhan). Artinya, ‘tidak ada Tuhan selain (swt).
Kedua, doktrin tentang kesatuan dan kesetaraan manusia. Artinya, semua manusia adalah satu, merupakan satu kesatuan yang disebut kemanusiaan. Pasalnya, semua manusia diciptakan oleh Tuhan yang sama dengan unsur-unsur yang sama dan pada hakikat yang sama.
Dakwah tentang tauhid dan kesetaraan martabat manusia dilanjutkan oleh para ulama dan cendekiawan seperti Jabir Ibnu Hayyan, al-Kindi, al-Khawrizmi, al-Farghani, ar-Razi, Tsabit ibn Qurrah, al-Battani, al-Farabi, Ibrahim Ibnu Sinan, sehingga kemudian peradaban Islam mencapai kejayaannya (750-an hingga 1258 M) Bdk.Yuwono, 2005).
Selain berdakwah tentang Alquran dan Hadis, para ulama dan cendekiawan Muslim pada abad ke-8 hingga 11 secara terang-terangan mengadopsi pemikiran dan peradaban Yunani, Persia, dan India. Melalui cara itu, maka lahirlah karya-karya pionir di bidang sains, teknologi, dan filsafat (Bdk.Razak & Haneef, 2021).
Kemudian, menjelang akhir abad ke-11, para ulama dan cendekiawan Islam pun mulai mendirikan lembaga pendidikan formal dalam bentuk Madrasah. Tercatat, Madrasah pertama hadir di Baghdad pada tahun 1066, didirikan oleh Nizam al-Mulk, seorang Perdana Menteri Dinasti Saljuk (Bdk. Nakosteen 1964, 51).
Sayangnya, memasuki abad pertengahan abad ke-13, Dinasti Abbasiyah yang menjadi simbol kejayaan peradaban Islam mengalami kemunduran. Khalifah Abbasiyah hanya berkuasa di Baghdad dan sekitarnya menyusul berdirinya dinasti-dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Selain tidak lagi bersatu, para khalifah cenderung mengabaikan petunjuk Alquran. Mereka hidup berfoya-foya sehingga tidak siaga menghadapi serangan musuh. Alhasil, pada tahun 1258, Baghdad roboh ketika diserang bangsa Mongol (Bdk. Ahayu Fitriyani, 2014).
Ibnu Kadun (1332 1406M) menjelaskan peradaban Islam lahir dan berjaya melalui dakwah dan pendidikan serta keterbukaan untuk mengadopsi hal-hal positif dari banga-bangsa lain. Namun, peradaban itu merosot akibat perilaku hidup umat Islam sendiri, terutama para khalifahnya, yang mengabaikan perintah Allaw Swt melalui Alquran.
Dampak globalisasi dan digitalisasi
Masa kejayaan peradaban Islam (abad 8-12) sering disebut sebagai globalisasi ala Islam. Globalisasi ala Islam berinteraksi pada budaya, tetapi dilandasi nilai-nilai Al-Quran (Bdk.Iqbal, 1996). Globalisasi tersebut tidak menekankan hal politik dan ekonomi sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan.
Misalnya, ketika membawa Islam ke negeri-negeri asing, hingga ke Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Nusantara, para ulama dan sufi tidak memaksa penduduk pribumi untuk memeluk Islam, tetapi tetap menghargai budaya lokal (Abdiilah, 2022).
Globalisasi ala Islam berbeda dengan globalisasi ala Barat yang menekankan dimensi ekonomi, politik (demokrasi liberal) dan budaya (hegemoni budaya barat). Memang, pada satu sisi, globalisasi yang didukung teknologi canggih berdampak positif: dapat mengakselerasi kemajuan peradaban umat manusia.
Globalisasi memungkinan invetasi asing dan perdagangan global meningkat, kegiatan bisnis seperti startup bertumbuh pesat, dan banyak kegiatan rutin yang membosankan bisa diambil alih oleh aplikasi teknologi kecerdasan buatan (AI).
Globalisasi ala Barat juga memberi manfaat bagi kehidupan agama Islam juga. Misalnya, saat ini banyak tarekat yang mengajarkan tasawuf menggunakan median oline dan aplikasi media sosial sehingga dapat menjangkau umat secara online dan dalam jumlah yang tak terbatas (Bdk.M. Hasan Chabie, Mubasyir Fatah, ‘Tarekat’ 2024: 259-206).
Namun, pada sisi lain globalisasi ala Barat menimbulkan tantangan besar bagi peradaban masyarakat di dunia, tak terkecuali umat Islam di Indonesia. Globalisasi menyebabkan kesenjangan ekonomi, hilangnya lapangan kerja. Eksploitasi tenaga kerja, polusi lingkungan dan penipisan sumber daya.
Melalui media sosial, globalisasi menyebabkan homogenisasi budaya Barat, gaya hidup konsumtif dan hedonis. Dampak lanjutannya adalah kemerosotan moral dan kemunduran hidup pada sejumlah kalangan.
Media sosial juga dapat digunakan untuk menyebarkan pandangan ekstremis, yang dapat menyebabkan radikalisasi individu dan distorsi identitas agama. Bahkan, globalisasi menimbulkan serang siber yang menyasar data rahasia individu dan negara, serta berbagai situs web dan aplikasi strategis sehingga berpotensi mengganggu kedaulatan nasional.
Khidmat ISNU Meredam Dampak Negatif Globalisasi di Era Digital
Merujuk ke tema Kongres III, kita berharap ISNU hendaknya meningkatkan khidmatnya untuk meredam dampak negatif globalisasi. Bercermin pada teladan Nabi Muhamad SAW, dan peran para ulama serta cendekiawan dalam era kejayaan peradaban (globalisasi) Islam masa lalu, ISNU dapat berinisiasi memperkuat sistem pendidikan, terutama pendidikan Islam, sebagai jalan utama mempersiapkan generasi Emas 2045 yang berperadaban.
Terkait sumber daya manusia misalnya, ISNU perlu mencari solusi agar Kementerian Agama dapat menerapkan program Sertifikasi Ulama dan Sertifikasi Kompetensi Penceramah Agama Islam secara efektif.
Ini untuk memastikan bahwa para ulama dan penceramah Islam memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari Al-Quran, memahami hadis Nabi, menguasai bahasa Arab, dan membaca kitab-kitab karya ulama terdahulu dan menjamin sanad keilmuannya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri lantaran ada yang menganggap program ini kurang penting karena tidak berdampak finansial, seperti halnya sertifikasi profesi guru.
Terkait konten pendidikan, ISNU perlu merumuskan rekomendasi untuk memastikan bahwa sistem pendidikan di sekolah-sekolah Islam dan Sekolah Terpadu, menerapkan kurikulum yang menekankan pendidikan Islam berlandaskan Al-Quran dan As Sunnah, selain materi pendidikan umum mengembangkan talenta dan karir setiap peserta didik.
ISNU juga perlu memastikan bahwa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mengembangkan kurikulum inklusif di semua sekolah agar para peserta didik dapat menghargai keberagaman, berpikir kritis, dan berimajinasi untuk terlibat dalam perubahan sosial.
Sementara itu untuk pendidikan tiggi, ISNU hendaknya merekomendasikan agar Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset untuk menciptakan mata kuliah kreatif yang memfasilitasi opini dan keputusan yang logis, mata kuliah pengembangan karakter moral, dan mata kuliah penalaran etis yang dapat mengendalikan radikalisme di masyarakat.
Dalam hal kelembagaan, ISNU juga perlu mencarikan solusi bagi Yayasan-Yayasan pengelola Pondok Pesantren dan Madrasah supaya bisa menerapkan manajemen yang profesional sehingga bisa meraih pendapatan yang makin baik dan bisa membayar upah para guru sesuai standar UMR yang berlaku.
Perbaikan proses seleksi para guru juga penting guna mencegah kasus pelecehan seksual yang semakin sering terungkap di berbagai sekolah Islam. Melalui rekomendasi-rekomendasi praktis seperti itu, ISNU berkontribusi menyiapkan generasi Indonesia Emas 2045 dan membantu bangsa Indonesia membangun peradaban yang lebih bermartabat di era digital.
***
*) Oleh : Mubasyier Fatah, Koordinator Bidang Ekonomi Kreatif, Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU), Bendahara Umum PP MATAN, dan Pelaku Industri TI.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kongres ISNU ke III: Fokus Pendidikan untuk Menyongsong Indonesia Emas 2045
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |