TIMES JAKARTA, JAKARTA – Santri dan dunia pesantren perlu beradaptasi dengan perubahan zaman agar bisa tetap eksis. Namun, santri harus selalu memegang teguh nilai-nilai pesantren yang selama ini ditanamkan, sehingga bisa tetap menjadi penjaga moral bangsa.
Demikian paparan para narasumber dalam diskusi Refleksi Hari Santri, Pesantren, dan Harapan Generasi Muda, di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali memaparkan bahwa pesantren kini menjadi lembaga pendidikan yang tidak hanya fokus pada agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum.
“Pesantren harus membuka diri kepada semua orang yang ingin belajar di pesantren, dan itu sudah dilakukan beberapa pesantren. Tapi, nilai-nilai dan core value santrinya tetap ada. Itu yang tidak ditemui di lembaga lain di luar,” katanya.
Hasanuddin juga memaparkan hasil penelitian Alvara bahwa tingkat keberminatan orang tua memondokkan anak di masa depan masih cukup tinggi, yakni Gen Z mencapai 60,9 persen, milenial 59,8 persen, dan Gen X 58,6 persen.
Namun, terdapat perubahan paradigma terkait materi yang diharapkan di pesantren, yakni hanya 11,1 persen yang ingin benar-benar belajar agama, kombinasi porsi umum lebih besar dari pada agama 9,9 persen, dan kombinasi porsi agama lebih besar dari pada umum 79,0 persen.
Ilmu yang diharapkan diajarkan di pesantren juga berubah. Dari 702 responden, sebanyak 60,5 persen menyatakan Ilmu Komputer (Informasi, Teknologi, Digitalisasi), disusul Ilmu Ekonomi dan Manajemen (56,7 persen), IPA (53,0 persen), dan Ilmu Kesehatan (48,9 persen). Lalu, Matematika (46,3 persen), Ilmu Sosial dan Politik (40,7 persen), Ilmu Seni dan Budaya (34,5 persen), Ilmu Pertanian (33,9 persen), dan Ilmu Lingkungan (31,2 persen).
Hal menarik lainnya, lanjut Hasanuddin, faktor pertimbangan utama mayoritas responden memilih pondok pesantren adalah fasilitas, disusul sosok kiai, dan rekam jejak pondok pesantrennya.
"Jadi, pesantren sekarang lebih pada bagaimana memperkuat dari sisi fasilitas dan juga perkenalan-perkenalan umum yang diajarkan di pesantren-pesantren. Tinggal bagaimana pesantren menambahkan dengan ilmu-ilmu yang lain dan fasilitas-fasilitas, pasti pesantren akan tetap menjadi pilihan orang untuk belajar agama," tandasnya.
Mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah yang juga mantan santri, Sunanto, sepakat bahwa dunia santri dan pesantren ke depan perlu beradaptasi dengan zaman.
"Dulu pesantren sangat tertutup, tapi sekarang mulai terbuka. Dulu pesantren mengajarkan kemandirian dan penuh perjuangan. Bahkan tidur berbantal beras. Santri benar-benar digembleng dengan penuh perjuangan," katanya.
Akan tetapi, pesantren kini harus siap berubah, termasuk dari sisi fasilitas dan pola pendidikan. Meski demikian, ia mengingatkan bahwa perubahan itu tidak boleh meninggalkan nilai-nilai yang diajarkan di pesantren, agar santri dan pesantren tetap sebagai penjaga moral. Sebab, banyak nilai-nilai pesantren yang tidak ada di lembaga pendidikan umum, apalagi pada kemajuan teknologi seperti AI.
"Adaptasi perlu, pesantren harus siap dengan perubahan dunia. Tetapi tidak harus menghilangkan keyakinan terhadap guru/kyai," tuturnya.
Sementara itu, Pengasuh Ponpes Al Huda Doglo, Boyolali, Jawa Tengah, Aunullah A'la Habib mengatakan bahwa perubahan teknologi yang begitu cepat secara langsung dapat mengubah perilaku manusia. Hal ini yang kini menjadi tantangan bagi dunia pesantren.
"Problem serius yang ada di pesantren sebagai sumber penjaga moral adalah dihadapkan dengan globalisasi. Problem serius adalah hidup di era hari ini yang semua serba berubah," tukasnya.
Kata dia, orang alim sekarang belum tentu didengar karena tidak populer di media sosial. Begitu sebaliknya, orang pupuler lebih didengar meski keilmuannya tidak teruji. Maka itu, lanjut dia, pesantren ke depan tidak bisa hanya bangga menjadi penjaga moral, tetapi harus belajar dengan realitas zaman.
"Pesantren harus belajar, pesantren yang terbuka dengan apa yang terjadi di dunia saat ini. Santri harus berubah sesuai dengan keinginan zaman agar pesantren tetap relevan," ucapnya.
Sementara itu, Influencer ternama yang juga mantan santri, Rinaldi Nur Ibrahim, mengungkapkan bahwa potensi santri untuk berkembang dan sukses masih sangat terbuka lebar. Kuncinya adalah bagaimana menumbuhkan percaya diri.
"Kayak gimana sih saya bisa sukses, gimana saya bisa diundang, gimana caranya saya bisa berpotensi, gimana caranya saya bisa jadi pebisnis. Karena memang banyak sekali orang itu kepengen banget untuk jadi pebisnis. Ya, pastinya juga dari santri-santri juga. Jadi, kuncinya itu dari diri kita dulu," katanya berbagi pengalaman.
Rinaldi menceritakan bahwa awalnya ia juga seorang pemalu dan grogi tampil di depan umum. Namun, ia terus belajar dan mengevaluasi diri.
"Evaluasi diri kita itu menjadi kunci utama. Nah, pada saat itu, saya coba evaluasi. Saya harus percaya diri. Saya pengen jadi orang berpengaruh, berarti saya harus percaya diri itu dengan diri saya. Gimana orang lain mau kenal saya, gimana orang lain mau percaya dengan saya, kalau enggak percaya dengan diri sendiri," paparnya. (*)
| Pewarta | : Ahmad Nuril Fahmi |
| Editor | : Ferry Agusta Satrio |