https://jakarta.times.co.id/
Berita

PBB: Israel Tidak Punya Kewenangan Menentukan Masa Depan Gaza

Minggu, 18 Mei 2025 - 08:20
PBB: Israel Tidak Punya Kewenangan Menentukan Masa Depan Gaza Perwakilan Khusus PBB, Franshesca Albaniz. (FOTO: Daily Times)

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan dengan tegas bahwa Israel tidak mempunyai kewenangan yang sah untuk membuat keputusan tentang masa depan Gaza.

Pernyataan itu disampaikan Perwakilan Khusus PBB, Franshesca Albaniz dalam pernyataannya yang dibagikan di platform media sosial X, menyusul konflik yang sedang berlangsung dan krisis kemanusiaan di Gaza.

Sementara itu media Israel juga gencar memberitakan tentang meningkatnya kritikan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ditengah aksi militernya di Jalur Gaza itu.

Albaniz menyoroti bahwa Mahkamah Internasional (ICJ) telah mengeluarkan putusan yang menuntut Israel menghentikan aksi militernya di Gaza dan memberikan kompensasi atas kerusakan yang disebabkan selama konflik.

Ia menegaskan bahwa Israel terus melanjutkan rencananya untuk masa depan Gaza tanpa ada tekanan internasional. Ia menggambarkan hal itu sebagai langkah yang sangat memprihatinkan.

Dalam pernyataannya yang dibagikan di platform media sosial X, Albaniz mengungkapkan rasa frustrasinya yang mendalam terhadap situasi tersebut.

Ia menggambarkan upaya diplomatik seputar konflik tersebut sebagai "kejam" dan "tanpa henti", menekankan pengabaian hak asasi manusia dan hukum internasional dalam negosiasi yang sedang berlangsung.

Situasi di lapangan masih sangat buruk karena serangan udara Israel terus menargetkan Gaza, termasuk wilayah yang telah menerima bantuan kemanusiaan dari PBB.

Serangan baru-baru ini telah menyebabkan terganggunya upaya bantuan, memperburuk kondisi yang sudah parah bagi penduduk sipil di Gaza.

Komentar Albaniz menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk mengevaluasi kembali tindakan Israel, dengan fokus pada penghormatan terhadap kerangka hukum internasional dan memastikan perlindungan hak-hak Palestina.

PBB juga terus menyerukan penyelesaian konflik yang damai dan adil, yang mempertimbangkan masa depan jangka panjang dan kesejahteraan rakyat Gaza.

Percepat Bantuan

Sementara itu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio seperti dilaporkan Koresponden politik Channel 11, Gili Cohen, telah menelpon Benjamin Netanyahu yang menyatakan keprihatinan Washington atas memburuknya situasi kemanusiaan di Gaza.

Cohen juga menambahkan, bahwa Rubio, yang dikenal karena dukungannya yang blak-blakan terhadap Israel itu menyatakan tidak perlu menegaskan kembali posisinya kepada Netanyahu, karena ia menggunakan bahasa dan visi politik yang sama.

Namun, seperti dilansir Al Jazeera, ia memberitahu Netanyahu tentang inisiatif baru Amerika untuk mendirikan dana kemanusiaan bagi Gaza, yang akan mulai bekerja dalam beberapa minggu mendatang.

Rubio menyerukan percepatan pengiriman bantuan sebagai bagian dari proyek Amerika Serikat untuk mengaktifkan kembali jalur bantuan ke Jalur Gaza.

Media Israel juga telah meningkatnya kritiknya terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ditengah perang yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.

"Benjamin Netanyahu telah "menenggelamkan kapal kita dan menyeret kita kedalam lumpur Gaza untuk menyelamatkan dirinya sendiri," begitu kritik mereka setelah mengutip pernyataan para pemimpin senior Israel.

Perilaku politik dan militer Benjamin Netanyahu mendorong Israel menuju isolasi internasional yang lebih besar dan perpecahan internal. Netanyahu juga sama sekali tidak mempedulikan tekanan dan seruan AS untuk menghentikan pertempuran.

Sementara itu mantan penasihat menteri pertahanan Israel, Barak Serry mengatakan, bahwa Netanyahu tidak bisa membuat keputusan untuk mengakhiri perang karena alasan partisan.

Ia yakin keraguan ini bisa menimbulkan konsekuensi berbahaya jika Washington memutuskan untuk berhenti mendukung Israel dan membiarkannya "berkubang dalam lumpur Gaza" serta terjerumus dalam perang yang tak berkesudahan.

Serry menegaskan bahwa kelanjutan perang dan serangan berulang ke wilayah dan terowongan di Gaza  menimbulkan risiko kelelahan berkepanjangan bagi Israel, dan memperingatkan bahwa keraguan dalam membuat keputusan strategis bermula dari pertimbangan partisan semata yang tidak ada kaitannya dengan keamanan nasional.

Dalam konteks yang sama, jurnalis Israel Hayom, Sarit Avitan Cohen menilai bahaya sesungguhnya terletak pada skenario Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) yang tetap bertahan di Gaza setelah perang berakhir.

Ia mengatakan hal itu akan membuat Israel rentan terhadap terulangnya kejadian pada 7 Oktober 2023, bukan hanya di Gaza, melainkan juga di wilayah lainnya.

Namun, Barak Serry menanggapi argumen ini dengan menunjukkan bahwa Israel sebelumnya telah menahan Hizbullah di Lebanon dan mengabaikan kehadiran kelompok bersenjata lainnya.

Hal ini menegaskan bahwa motif di balik berlanjutnya perang lebih bersifat politik dalam negeri ketimbang keamanan atau strategis.

Anggota MK Yesh Atid Merav Cohen memperingatkan tentang perubahan geopolitik di kawasan itu, dengan menunjuk pada perjanjian yang ditandatangani dengan Arab Saudi yang memberinya keunggulan teknologi dan keamanan, serta kesepakatan senjata yang tertunda dengan Qatar, UEA, dan Arab Saudi yang dapat mengimbangi superioritas militer Israel.

Cohen mengatakan bahwa ketidakhadiran Israel di meja perundingan regional membuatnya tampak sebagai target, bukan mitra dalam permukiman, mengingat pepatah mantan Perdana Menteri Israel, Shimon Peres, bahwa siapa pun yang tidak hadir di meja menjadi "hidangan yang disajikan".

Dalam wawancara yang berapi-api di Channel 12, mantan Perdana Menteri Israel Ehud Barak melontarkan serangkaian perbandingan pedas terhadap Netanyahu, menggambarkannya sebagai "kapten Titanic" yang menenggelamkan kapal, "sopir bus" yang kepemimpinannya menyebabkan kematian ribuan orang, dan "dokter bedah" yang menyebabkan pasien meninggal di tangannya.

Barak Serry menekankan bahwa ini bukanlah metafora, melainkan deskripsi realistis.

Serry menyerukan kepada Benny Gantz, pemimpin partai oposisi Persatuan Nasional, untuk tidak bergabung kembali dengan pemerintahan yang dipimpin Netanyahu, seraya menuduh perdana menteri tersebut mengorbankan tentara dan menculik tentara demi keuntungan sekutu agama ekstremisnya.

Dalam konteks yang sama, mantan Menteri Luar Negeri Israel, Tzipi Livni mengecam keras pemerintah, dengan menegaskan bahwa kelanjutan perang tidak lagi dibenarkan dengan dalih "kurangnya alternatif."

Livni berpendapat bahwa kekuatan militer saja tidak akan mencapai keamanan atau memaksa perubahan pemerintahan di Gaza.

Livni menambahkan bahwa pemerintah saat ini tidak mencari kemenangan militer, melainkan pendudukan Gaza untuk melaksanakan agenda politik, karena upaya Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir untuk memindahkan pemukim ke Jalur Gaza.

Senada dengan itu, analis politik Channel 12, Michael Flegevert berpendapat bahwa citra politik Israel di dunia sedang merosot tajam, dan mengatakan dunia memandang Israel sebagai pihak yang menghalangi solusi dan menganggapnya bertanggung jawab atas krisis yang sedang berlangsung.

Flegevert menjelaskan bahwa pandangan Eropa terhadap Israel telah menjadi lebih negatif, menggambarkannya sebagai negara yang menggunakan kekuatan berlebihan untuk menyelesaikan setiap krisis.

Ia mencatat bahwa perjanjian perdagangan bebas antara Eropa dan Israel akan dibahas minggu depan, ditengah iklim yang kurang simpati terhadap pihak Israel.

Analis tersebut juga menyatakan, bahwa Israel sekarang dipandang secara internasional sebagai "anak nakal," yang mencerminkan krisis yang semakin dalam dalam hubungan diplomatiknya dan meningkatnya tekanan politik terhadap pemerintah di dalam dan luar negeri. (*)

Pewarta : Widodo Irianto
Editor : Deasy Mayasari
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.