TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pembagian kuota tambahan haji 2024 sebesar 20.000 jemaah dengan komposisi 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus dinilai sah secara hukum. Praktisi hukum Mellisa Anggraini, SH, MH, CLA menegaskan kebijakan Kementerian Agama (Kemenag) ini telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Menurut Mellisa, pembagian kuota haji reguler dan khusus yang diatur dalam undang-undang berlaku untuk kuota tetap sebanyak 221.000 jemaah, yakni 92 persen reguler (203.320 jemaah) dan 8 persen khusus (17.680 jemaah). Namun, Pasal 9 UU No. 8/2019 memberi kewenangan kepada Menteri Agama untuk membagi kuota tambahan secara fleksibel, tidak harus mengikuti komposisi 92:8.
"Pasal 9 memberi ruang diskresi bagi menteri untuk menyesuaikan kondisi lapangan. Apalagi, jika kuota tambahan seluruhnya diberikan ke haji reguler, potensi overkapasitas di Armuzna bisa membahayakan keselamatan jemaah," ujar Mellisa di Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Pertimbangan Teknis dan Kapasitas
Hasil simulasi di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) pada Desember 2023 menunjukkan, zona 3–4 yang menjadi lokasi utama jemaah haji reguler hanya mampu menampung 213.320 orang. Jika seluruh tambahan 20.000 kuota dialokasikan ke reguler, kapasitas akan terlampaui.
Zona 5 atau Mina Jadid yang berjarak sekitar 7 kilometer dari Jamarat juga tidak direkomendasikan karena dianggap kurang layak. Oleh sebab itu, Kemenag memutuskan 10.000 kuota tambahan untuk reguler (total 213.320) dan 10.000 untuk khusus (total 27.680) agar sebaran jemaah lebih aman.
Dukungan DPR dan Prinsip Kebijakan
Anggota Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, sebelumnya menyatakan bahwa pembagian kuota tambahan merupakan kewenangan menteri berdasarkan kepentingan publik dan fleksibilitas kebijakan.
Mellisa menambahkan, keputusan Kemenag mengacu pada tiga prinsip: yakni sesuai ketentuan UU No. 8/2019, dapat diterapkan saat peraturan tidak mengatur atau tidak lengkap dan dilakukan pada situasi stagnan atau mendesak demi kemanfaatan umum, seperti menghindari penempatan jemaah di zona berisiko.
Kemenag menegaskan, kebijakan ini murni bersifat teknis dan akuntabel, bebas dari penyimpangan, serta terdokumentasi dengan baik.
“Tuduhan praktik tidak sehat tidak berdasar. Keputusan ini juga telah melalui simulasi dan analisis teknis bersama pemerintah Arab Saudi yang dituangkan dalam MoU,” tegas Mellisa.
Keputusan pembagian kuota tambahan secara merata 50:50 ini, kata Mellisa, diambil demi menjaga keamanan, kenyamanan, dan keselamatan seluruh jemaah haji Indonesia. (*)
Pewarta | : Wahyu Nurdiyanto |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |