TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah atau Kemendikdasmen telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 9 Tahun 2025 mengenai Tes Kemampuan Akademik yang ditetapkan 28 Mei 2025 lalu.
Saya melihat TKA menawarkan sebuah narasi sosiologis yang fundamental yang berpotensi meruntuhkan garis diskriminasi struktural dalam pendidikan sekaligus membuka pintu mobilitas sosial yang lebih inklusif.
Selama ini, pendidikan kita terjebak dalam paradigma yang menganggap bahwa kualitas pendidikan bisa diukur melalui input dan proses yang sama atau seragam. Namun ternyata realitas di akar rumput menunjukkan fakta yang berbeda.
Meminjam Teori Reproduksi Sosial Pierre Bourdieu secara jelas menerangkan bahwa kapital budaya (mulai dari latar belakang, pilihan buku di rumah hingga percakapan di meja makan) menjadi penentu utama keberhasilan akademis, hal ini jauh sebelum seorang anak memasuki ruang kelas formal.
Anak-anak dari keluarga dengan kapital budaya yang tinggi akan memiliki privilage untuk beradaptasi dengan sistem pendidikan yang dibangun dibandingkan anak-anak dengan kapital budaya yang rendah bahkan mungkin orang tua menggantungkan pendidikan anaknya hanya dalam kelas-kelas formal.
TKA hadir dengan penawaran yang disruptif dengan berfokus pada asesmen murni kemampuan akademik, TKA mencoba mengubur jarak antara kapital budaya dan hasil tes. Sehingga tidak ada lagi ujian yang mengukur sejauh mana siswa menghafal materi namun nanti menjadi sejauh mana siswa memahami konsep, bernalar logis dan memecahkan masalah.
Kemedikdasmen merancang TKA dengan pertanyaan untuk mengukur kemampuan kognitif tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skils (HOTS) akan mengurangi keuntungan bagi siswa yang hanya mengandalkan bimbingan belajar mahal atau les privat untuk ‘menghafal’ jawaban.
Isu pendidikan merupakan salah satu isu sosial yang menarik, maka TKA ini sangat menarik disoroti dari sudut pandang sosiologi. Pertama, TKA dapat memiliki potensi untuk mengurangi efek Matthew Effect dalam pendidikan. Istilah tersebut dipopulerkan oleh Robert K. Merton seorang sosiolog yang melihat fenomena “yang kaya makin kaya, yang miskin semakin miskin”.
Dalam konteks pendidikan siswa dengan latar belakang yang memiliki privilage dapat memiliki potensi sukses yang besar, sementara siswa yang “biasa saja” akan tertinggal semakin jauh.
Saya melihat TKA dengan materi yang lebih menekankan pada penalaran, memberikan peluang bagi siswa dari sekolah di daerah 3T atau memiliki fasilitas minim tetapi mempunyai daya saing yang maksimal. Jadi ke depannya, keberhasilan siswa bukan ditentukan oleh seberapa canggih laboratorium namun seberapa tajam daya pikir siswa.
Contoh nyata bisa kita temui di Finlandia. Meskipun tidak menggunakan TKA secara spesifik, sistem pendidikan mereka berfokus pada pemerataan kualitas guru dan kurikulum serta menghindari ujian berskala nasional yang terlalu kompetitif.
Hasilnya siswa berbagai latar belakang sosial ekonomi memiliki capaian akademis yang relatif merata. Dan saya yakin Indonesia pun bisa menyiapkan itu dengan mempersiapkan Sarana dan Prasarana yang menunjang.
Bukti kesuksesan Finlandia dibuktikan dengan hasil penilaian Programme for Internasional Student Assement (PISA) yang menempatkan Finlandia secara konsisten sebagai negara dengan kesenjangan sosial-ekonomi terendah dalam capaian literasi dan numerasi.
Hal ini membuktikan bahwa sistem yang adil dan berorientasi pada pemahaman esensial yang memutus kesenjangan antara latar belakang sosial dan kesuksesan pendidikan.
Kedua, TKA bisa menjadi katalisator bagi “mobilitas sosial intergenerasi” yang lebih dinamis. Mobilitas sosial intergenerasi mengacu pada perubahan tangga sosial seseorang dibandingkan orang tuanya.
Selama ini, pendidikan sering kali menjadi jalur utama untuk melakukan mobilitas vertikal ke atas. Akan tetapi jika sistem penilaiannya bias, pendidikan justru bisa menjadi gerbang yang terkunci status quo.
TKA, dengan asas tidak dipungut biaya dan materi yang seragam, memberikan kesempatan kepada anak petani, nelayan, atau buruh untuk membuktikan kemampuan mereka.
Hasil TKA murni dapat menjadi golden ticket untuk mengakses pendidikan tinggi yang pada akhirnya pekerjaan status sosial yang lebih naik.
Memang, program TKA ini tidak seperti makan cabai yang akan langsung terasa pedasnya atau dapat menyelesaikan semua masalah pendidikan secara langsung. Kebijakan ini tetap membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.
Sekolah harus beradaptasi dengan metode pengajaran yang berfokus pada penalaran dan bukan hafalan. Lalu, kurikulum harus direvisi agar lebih relevan dengan tes yang mengukur HOTS.
Namun, sebagai sebuah langkah awal TKA adalah fondasi yang kuat. Pesan TKA ini jelas: keberhasilan tidak lagi diwariskan, melainkan melalui kerja keras, daya nalar dan kesempatan yang setara.
TKA bukan hanya alat ukur penilaian pendidikan, namun dapat menjadi instrumen kebijakan yang bertujuan merestrukturisasi sistem meritokrasi kita.
TKA menjadi pembuktian apakah sistem pendidikan kita saat ini benar-benar meritokratis atau hanya sekadar mempertebal dinding diskriminasi yang sudah ada.
Harapannya, dengan adanya kebijakan TKA bisa membangun masyarakat yang adil, di mana potensi tidak terkunci oleh latar belakang sosial dan setiap anak dapat kesempatan untuk menulis takdirnya sendiri.
***
*) Oleh : Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
__________
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |