https://jakarta.times.co.id/
Opini

Saatnya Pemuda Menepati Janji Kemerdekaan

Rabu, 13 Agustus 2025 - 23:43
Saatnya Pemuda Menepati Janji Kemerdekaan Muhammad Hilman Mufidi, anggota DPR RI, Komisi X dari Fraksi PKB.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di pagi yang basah oleh embun Agustus, bendera merah putih kembali berkibar. Udara mengalun dengan aroma nostalgia dari barisan upacara di alun-alun kecil hingga parade besar di ibu kota.

Anak-anak sekolah menahan kantuk di lapangan, para veteran mengenakan jas abu-abu yang sudah menguning di kerah, dan di sudut-sudut kota, pedagang kecil menjajakan bendera kain dengan suara serak.

Tahun ini, Indonesia genap 80 tahun merdeka. Angka itu bukan sekadar hitungan umur negara, melainkan gema janji yang dulu diucap para pendiri bangsa: kemerdekaan bukan hadiah, melainkan titipan. Titipan yang harus dijaga, diperbarui, dan dipenuhi dengan makna di setiap generasi.

Namun, pertanyaannya menggantung di langit kemerdekaan kita: Apakah janji itu telah kita tepati? Ataukah kita, terutama para pemuda, justru terjebak dalam bayang-bayang masa lalu, berjalan gagap di lorong masa depan?

Menurut data Susenas 2023, Indonesia memiliki 64 juta jiwa pemuda, sekitar seperempat dari seluruh penduduk. Angka ini sering disebut sebagai bonus demografi, sebuah peluang emas yang datang sekali dalam sejarah.

Bayangkan energi, ide, dan keberanian yang tersimpan di angka itu. Bayangkan pula, betapa besar dampaknya jika kekuatan ini diarahkan ke pendidikan, inovasi, dan kewirausahaan.

Tetapi seperti bara api, potensi itu bisa menghangatkan peradaban atau membakar masa depan, tergantung bagaimana kita menjaganya.

Sayangnya, bara itu mulai redup di beberapa sisi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Agustus 2024, tingkat pengangguran pemuda memang turun menjadi 7,95% dari 8,54% setahun sebelumnya.

Sebuah kabar baik di permukaan. Namun, di baliknya, 23,78% pemuda masuk kategori NEET (Not in Employment, Education, and Training) tidak bekerja, tidak bersekolah, tidak ikut pelatihan.

Bukankah ini seperti kapal besar yang berlayar tanpa arah? Kita memiliki awak yang banyak, tapi tak cukup nakhoda dan peta untuk mengantarkan kapal ini ke pelabuhan masa depan.

Tangga yang Masih Patah di Tengah

Di atas kertas, pendidikan adalah tangga emas menuju masa depan. Tetapi di Indonesia, tangga itu sering kali patah di tengah. Data menunjukkan 13% pemuda hanya menamatkan SD atau bahkan kurang. Sementara di jenjang perguruan tinggi, hanya 5,79% dari kelompok miskin yang bisa meraih toga, dibanding 21,74% dari kelompok kaya.

Artinya, kemerdekaan yang kita rayakan belum sepenuhnya membebaskan kita dari jerat ketimpangan sosial. Bagi sebagian anak muda, mimpi kuliah hanyalah cerita yang lewat di layar ponsel, bukan kenyataan yang bisa digenggam.

Ironisnya, bahkan mereka yang berhasil menembus universitas tak selalu selamat dari pengangguran. 12,01% lulusan perguruan tinggi pada 2024 masih mencari pekerjaan. Gelar tak lagi cukup; dunia kerja menuntut keterampilan yang tak selalu diajarkan di kampus.

Kemerdekaan pendidikan seharusnya tak hanya soal masuk sekolah, tetapi memastikan setiap lulusan siap menghadapi realitas dunia baik di sektor formal maupun wirausaha.

Daerah yang Tertinggal, Daerah yang Berlari

Potret kemerdekaan juga tak merata di seluruh wilayah. Di Sulawesi Utara dan Banten, tingkat pengangguran pemuda menembus 17%. Di Papua Barat Daya, angkanya 16,44%. Namun, di Papua Pegunungan, angka pengangguran justru hanya 2,31%, dengan partisipasi kerja mencapai 82,25%.

Apa rahasianya? Banyak pengamat menyebut bahwa masyarakat Papua Pegunungan memiliki budaya gotong royong yang kuat dan orientasi kerja yang nyata bekerja untuk komunitas, bukan hanya untuk diri sendiri.

Pelajaran penting bagi daerah lain: solidaritas sosial dan rasa kepemilikan bisa menjadi motor pembangunan yang lebih kuat daripada sekadar program formal.

Di balik unggahan media sosial yang penuh senyum dan pencapaian, banyak pemuda memendam kegelisahan. UNICEF memperkirakan 17 juta remaja Indonesia rawan mengalami gangguan kesehatan mental. Tekanan hidup, ketidakpastian ekonomi, dan ekspektasi sosial menjadi beban yang sering kali tak terlihat.

Fenomena #KaburAjaDulu di media sosial menjadi semacam cermin. Slogan ini bukan sekadar candaan, tapi tanda bahwa sebagian anak muda memilih menghindar dari masalah ketimbang mencari solusi. Dalam jangka panjang, ini bisa menggerogoti daya tahan generasi yang diharapkan menjadi penggerak Indonesia Emas 2045.

Kemerdekaan Intelektual di Era Digital

Merdeka di era digital berarti bebas mengakses informasi. Namun, kebebasan ini datang dengan paradoks. Di satu sisi, media sosial membuka peluang belajar dan berjejaring tanpa batas. Di sisi lain, ruang digital sering menjadi arena pertempuran hoaks, polarisasi politik, dan ujaran kebencian.

Kita perlu bertanya: apakah kita benar-benar merdeka dalam berpikir? Atau hanya menjadi korban algoritma yang membentuk cara pandang kita? Merdeka sejati bukan hanya bebas berbicara, tetapi juga bebas dari kebodohan dan manipulasi. (*)

***

*) Oleh : Muhammad Hilman Mufidi, anggota DPR RI, Komisi X dari Fraksi PKB.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.