TIMES JAKARTA, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa industri perbankan syariah terus menunjukkan pertumbuhan positif sepanjang 2024.
Total aset yang dikelola perbankan syariah mencapai Rp980,30 triliun pada akhir tahun, meningkat 9,88 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan pencapaian ini, pangsa pasar (market share) perbankan syariah turut naik menjadi 7,72 persen.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyampaikan bahwa sektor keuangan syariah memiliki potensi besar untuk berkembang lebih jauh, meskipun tantangan ekonomi global dan domestik masih cukup kuat. Menurutnya, peluang ini dapat dimanfaatkan dengan menggarap pasar khusus (niche market) serta mengembangkan produk keuangan berbasis syariah yang kompetitif dengan perbankan konvensional.
“Diperlukan sinergi yang lebih erat antara seluruh pemangku kepentingan untuk mendorong perbankan syariah agar dapat mencapai skala pasar yang lebih luas melalui strategi pertumbuhan organik maupun anorganik,” ujarnya.
Kinerja Intermediasi dan Likuiditas Perbankan Syariah
Dari sisi penyaluran pembiayaan, total kredit yang dikucurkan perbankan syariah pada 2024 mencapai Rp643,55 triliun, tumbuh 9,92 persen secara tahunan (yoy). Pertumbuhan ini selaras dengan ekspansi industri perbankan nasional.
Sementara itu, dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun meningkat sekitar 10 persen menjadi Rp753,60 triliun, melampaui pertumbuhan DPK perbankan nasional yang berada di kisaran 4–5 persen.
Dalam hal alokasi pembiayaan, sektor perumahan (KPR) mendominasi dengan proporsi sekitar 23 persen, sementara sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menyerap sekitar 16–17 persen dari total pembiayaan.
Di sisi permodalan, bank syariah tetap dalam kondisi kuat dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) mencapai 25,4 persen, jauh di atas ketentuan minimum yang ditetapkan regulator. Rasio likuiditas juga tetap terjaga dengan alat likuid terhadap non-core deposit (AL/NCD) sebesar 154,52 persen dan alat likuid terhadap DPK (AL/DPK) sebesar 32,09 persen, yang keduanya berada di atas ambang batas masing-masing 50 persen dan 10 persen.
Kualitas pembiayaan pun tetap stabil dengan rasio pembiayaan bermasalah (non-performing financing/NPF) gross berada di level 2,12 persen dan NPF net di 0,79 persen. Dari sisi profitabilitas, perbankan syariah mencatat return on asset (ROA) sebesar 2,04 persen, menunjukkan daya tahan bisnis yang baik di tengah dinamika ekonomi global dan nasional.
Lima Arah Kebijakan OJK untuk Perbankan Syariah
Untuk memperkuat daya saing industri perbankan syariah, OJK telah merancang lima kebijakan utama guna mendorong skala ekonomi serta memperkuat model bisnis berbasis syariah agar lebih kompetitif, baik di tingkat nasional maupun global.
Salah satu kebijakan utama adalah penguatan kelembagaan melalui konsolidasi bank syariah dan pemisahan (spin-off) unit usaha syariah (UUS). OJK akan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan untuk mempermudah proses perizinan serta memastikan bank hasil spin-off tetap dapat bersinergi dengan induk usaha.
“OJK juga mengajak pemegang saham untuk mendukung upaya konsolidasi ini agar dapat melahirkan bank umum syariah (BUS) dengan kapasitas yang lebih besar,” kata Dian.
Selain itu, OJK juga menargetkan beberapa inisiatif lain, seperti finalisasi pembentukan Komite Pengembangan Keuangan Syariah (KPKS), penyusunan pedoman produk perbankan syariah, serta penguatan peran bank syariah dalam ekosistem ekonomi berbasis syariah. Peningkatan kontribusi bank syariah dalam sektor UMKM juga menjadi fokus utama agar sektor ini semakin berkembang dan berdaya saing.
Dengan lima kebijakan strategis tersebut, OJK optimis bahwa perbankan syariah akan menjadi salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan berdaya saing tinggi di masa mendatang. (*)
Pewarta | : Antara |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |