https://jakarta.times.co.id/
Opini

Alarm Bumi dari Sumatera

Senin, 01 Desember 2025 - 14:33
Alarm Bumi dari Sumatera Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Kalijaga Class Bonek Yogyakarta.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sumatera, pulau yang dahulu dikenal sebagai benteng keanekaragaman hayati, kini berubah menjadi panggung besar kerusakan ekologis yang sejatinya bukan bencana alam, melainkan bencana hasil tangan manusia. 

Berbagai bentuk eksploitasi mulai dari pembalakan liar, deforestasi besar-besaran, proyek geothermal yang abai pada keselamatan ekologis, hingga industri ekstraktif yang menggerus ruang hidup masyarakat telah menempatkan Sumatera sebagai wilayah dengan tingkat kerentanan iklim yang semakin tinggi. 

Ironisnya, sebagian besar kerusakan ini merupakan tindakan terencana dari oknum-oknum korporasi yang memanfaatkan celah hukum, lemahnya pengawasan negara, atau bahkan restu samar pihak yang seharusnya melindungi lingkungan.

Deforestasi di Sumatera merupakan salah satu penyebab terbesar bencana yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Hutan-hutan tropis yang sebelumnya menjadi penyangga kehidupan dan penjaga siklus hidrologi kini hilang berganti menjadi lahan monokultur yang memiskinkan keanekaragaman hayati. 

Ketika hutan ditebang, tanah kehilangan kemampuan menahan air, akar-akar pohon yang dulu mengikat tanah tak lagi ada, dan ketika hujan turun, yang terjadi adalah banjir bandang yang meluluhlantakkan desa-desa. Kondisi ini diperparah oleh perubahan iklim global yang membuat curah hujan semakin tidak menentu dan ekstrem. 

Dalam teori krisis iklim, hilangnya hutan mempercepat akumulasi gas rumah kaca karena pohon yang ditebang tidak hanya berhenti menyerap karbon, tetapi juga melepaskan emisi yang telah mereka simpan selama puluhan tahun. Sumatera akhirnya menjadi korban ganda: terkena dampak krisis iklim global, sekaligus memicu krisis itu sendiri melalui kerusakan lokal yang masif.

Proyek-proyek geothermal yang diklaim sebagai energi bersih pun tak luput dari masalah. Energi terbarukan seharusnya hadir sebagai solusi, namun di beberapa wilayah Sumatera, proyek geothermal justru mengulang praktik lama: pembukaan hutan tanpa izin memadai, penggunaan alat berat di kawasan rawan longsor, serta pengabaian nilai ekologis kawasan konservasi. 

Pembangunan energi bersih tidak boleh dilakukan secara kotor. Jika transisi energi dilakukan dengan cara yang merusak lingkungan, maka yang terjadi bukanlah solusi, melainkan reproduksi kerusakan dalam bentuk baru yang lebih halus namun tetap berbahaya.

Industri ekstraktif seperti pertambangan batu bara, emas, dan mineral lainnya juga meninggalkan luka ekologis yang sulit disembuhkan. Lubang-lubang tambang dibiarkan menganga, menciptakan kolam beracun yang meresap ke tanah dan mencemari sumber air masyarakat. Sungai-sungai berubah warna akibat limbah, tanah kehilangan kesuburannya, dan mata pencaharian petani serta nelayan semakin terpuruk. 

Kerusakan ini tidak hanya terjadi secara ekologis, tetapi juga sosial. Ketergantungan pada industri ekstraktif menciptakan jebakan ekonomi yang tampaknya menguntungkan dalam jangka pendek, namun merusak keberlanjutan dalam jangka panjang.

Dalam konteks global, kesepakatan dalam Konferensi Perubahan Iklim (COP) di Brazil menegaskan komitmen dunia untuk memperkuat dekarbonisasi, melindungi hutan tropis, dan menekan emisi dari sektor industri. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan betapa jauh jarak antara komitmen internasional dan implementasi nasional. 

Ketika COP menyerukan perlindungan hutan tropis, Sumatera justru kehilangan ribuan hektare hutan setiap tahunnya. Ketika dunia menekankan transisi energi berkeadilan, beberapa proyek di Sumatera menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian ekologis masih diabaikan. Ketika para pemimpin dunia menegaskan pentingnya mitigasi dan adaptasi, kita di dalam negeri masih sibuk memadamkan api akibat kelalaian sendiri, alih-alih mencegahnya.

Realitas Sumatera hari ini menunjukkan pepatah tua yang kian relevan: apa yang kita tebar, itulah yang kita tuai. Kita telah menebar kerakusan, maka yang kita tuai adalah bencana. Banjir, longsor, kabut asap, krisis air, dan cuaca ekstrem bukanlah kejadian tiba-tiba. Semuanya adalah konsekuensi logis dari eksploitasi yang tidak pernah dikendalikan. Sumatera tidak sedang dilanda musibah alam, tetapi sedang menuai hasil dari tindakan manusia yang merusak.

Di tengah semua ini, pemerintah tidak boleh diam. Ketidakberanian untuk menindak tegas pelaku perusakan lingkungan akan memberi pesan buruk bahwa bumi bisa terus dieksploitasi tanpa batas. 

Negara harus memperkuat penegakan hukum, menerapkan moratorium terhadap proyek-proyek rawan, melakukan audit lingkungan menyeluruh, serta memulihkan ekosistem melalui pendekatan berbasis masyarakat. 

Komitmen iklim tidak boleh berhenti sebagai dokumen diplomatik; ia harus diterjemahkan dalam tindakan nyata di lapangan. Sumatera adalah cermin masa depan kita. Jika kita gagal menjaganya hari ini, maka kita sedang menulis babak kelam bagi generasi mendatang.

Alarm bumi telah berbunyi, dan Sumatera adalah bukti paling jelas bahwa waktu kita semakin habis. Kita tidak boleh menunggu dampak yang lebih dahsyat untuk akhirnya bertindak. Bumi memberi peringatan, dan tugas kitalah untuk menjawabnya sebelum semuanya benar-benar terlambat.

***

*) Oleh : Mohammad Iqbalul Rizal Nadif, Kalijaga Class Bonek Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.