TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kita bersama-sama kembali menyaksikan fenomena horor lagi, bukan karena aktor, lokasi atau cerita yang menyeramkan. Namun hujan deras yang menyapa tiga provinsi, air bah, lumpur, dan longsor seketika menyapu tempat tinggal warga dan satwa yang akhirnya menelan banyak jiwa.
Media massa ramai, politisi hadir dan bercitra, dan kita sebagai masyarakat lagi-lagi harus menghela napas sembari menyalahkan Tuhan dalam hal ini takdir atau paling tidak, intensitas hujan yang “tidak biasa” menjadi kambing hitam.
Mari kita jujur dan merenung sejenak. Berapa kali kita akan mengulang ucapan yang sama? Tragedi di Sumatera telah melenyapkan ratusan jiwa dan menghancurkan infrastruktur, bukanlah murni kemurkaan alam.
Bencana ini telah dipesan, tragedi yang terlahir dari pilihan kebijakan publik yang korup, serakah dan bermental jangka pendek. Korban yang saat ini bukan korban cuaca ekstrem, namun korban sistem yang secara sadar mengorbankan ekologi demi keuntungan. Saya beranggapan, bencana Sumatera adalah desain bukan Kebetulan.
Jantung Masalah yang Dihalalkan Negara
Sudah jelas inti masalah ini adalah deforestasi masif, saya melihat lereng bukit longsor, jangan bayangkan mereka runtuh karena kehendak geologi, melainkan karena kebijakan izin yang sebelumnya telah mencabut seluruh “jantung” penahan air dan tanahnya.
Di bentang alam Sumatra, hutan adalah sabuk pengaman yang seharusnya tak tersentuh. Namun, selama Orde Pembangunan yang tak pernah usai ini, kebijakan negara justru memfasilitasi penggundulan brutal. Izin Hak Guna Usaha (HGU) kelapa sawit, konsesi pertambangan, dan izin pemanfaatan hutan (PBPH) disebar bak kartu domino di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan sensitif Bukit Barisan.
Secara legal, kita punya undang-undang yang melindungi hutan. Namun, secara praktis, kita menciptakan paradoks hukum: aturan perlindungan ada, tetapi mekanisme perizinan industri ekstraktif justru berjalan jauh lebih mulus.
Negara seolah memberikan kunci kepada para cukong untuk masuk ke kamar tidur alam, merampas, dan mengotorinya. Ketika alam bereaksi (mengubah limpasan air hujan menjadi bandang yang merusak) kita lantas terkejut. Logika macam apa yang kita pakai? Kita telah menembak kaki sendiri, lantas merengek kesakitan.
Untuk memahami mengapa tragedi ini terus berulang, kita perlu meminjam kacamata sosiolog kontemporer, Ulrich Beck, melalui konsep Masyarakat Risiko (Risk Society). Beck berpendapat bahwa masyarakat modern tidak lagi hanya terancam oleh risiko tradisional (kelaparan, kemiskinan alamiah), tetapi justru oleh risiko yang diproduksi sendiri oleh sains, teknologi, dan keputusan politik-ekonomi. Risiko ini adalah konsekuensi tak terhindarkan dari upaya kita untuk mencapai modernitas dan kekayaan industrial.
Sebagai contoh, ledakan Chernobyl atau krisis iklim bukanlah takdir, mereka adalah hasil sampingan (atau side effects) dari kebijakan energi nuklir dan industri masif. Bencana di Sumatra persis berada di bingkai teori ini. Longsor dan banjir bandang di sana bukan kecelakaan geografis, melainkan risiko yang diproduksi oleh kebijakan pembangunan yang terlalu fokus pada pertumbuhan PDB tanpa menimbang daya dukung ekologi.
Seperti yang ditegaskan Beck, “Risiko yang diproduksi secara sistemik saat ini (risiko ekologis, finansial, dan teknologi) memiliki karakter yang berbeda. Risiko tersebut adalah hasil sampingan (side effects) yang tak terhindarkan dari upaya kita untuk mengontrol alam dan menciptakan kekayaan.”
Kita telah menciptakan sistem ekonomi yang menuntut hutan dihancurkan; konsekuensinya adalah bencana ekologis yang kini harus dibayar mahal oleh rakyat di hilir. Risiko ini dipesan dan dibayar mahal oleh keputusan politik yang keliru, yang diamini oleh elite yang merasa kebal dari lumpur dan longsor.
Setelah bencana terjadi, fokus kebijakan publik beralih ke respons darurat. Di sinilah sandiwara lain dimulai. Muncul polemik tentang status bencana nasional. Pemerintah Daerah merengek, meminta status nasional agar dana dan sumber daya pusat mengucur deras, sementara Pemerintah Pusat sering kali enggan memberikan status tersebut.
Ini bukan sekadar pertengkaran administrasi; ini adalah indikasi ego sektoral yang lebih besar dari nyawa manusia. Status bencana nasional adalah pengakuan politik atas skala kegagalan sistemik yang telah terjadi, sebuah pengakuan yang tampaknya sangat mahal harganya.
Negara, dalam kondisi ini, hanya muncul sebagai pemadam kebakaran yang gagah berani setelah seluruh hutan habis dilahap api. Respons darurat hanya berfungsi sebagai politik belas kasih yang menutupi akar masalah. Dana diturunkan, mi instan dibagikan, relawan dikerahkan.
Namun, tak ada yang sungguh-sungguh berani menyentuh izin-izin konsesi di hulu. Sikap reaktif ini menunjukkan bahwa kita hanya sibuk dengan simptom (gejala), sementara penyakit kronisnya (kebijakan eksploitasi) dibiarkan merajalela.
Politik Hijau atau Tragedi Berulang
Lantas, apa yang harus diubah? Bukan iklimnya, melainkan etikanya dan kebijakannya. Perubahan harus dimulai dari tata ruang yang radikal dan jujur. Kebijakan harus memasukkan Audit Ekologis secara menyeluruh terhadap semua izin konsesi yang beroperasi di wilayah hulu Sumatra.
Jika izin tersebut terbukti berkontribusi terhadap degradasi lingkungan, maka izin harus dicabut tanpa kompromi dan pemegang konsesi harus diwajibkan melakukan restorasi lingkungan secara tuntas.
Ini membutuhkan keberanian politik untuk melawan kepentingan modal yang sudah bercokol dan menembus jaringan shadow state yang mengendalikan perdagangan izin. Kebijakan kita tidak boleh lagi menganggap ekologi sebagai variabel yang bisa diabaikan dalam persamaan ekonomi.
Kita harus beranjak menuju Politik Hijau sejati, yang menempatkan daya dukung lingkungan sebagai batas tertinggi dari segala ambisi pembangunan. Jika tidak, kita hanya akan bersiap menyambut bencana yang sama dengan setting yang berbeda di musim hujan berikutnya.
Korban bencana Sumatra bukan semata korban takdir. Mereka adalah korban kebijakan. Mereka adalah harga yang kita bayar atas kebodohan kolektif yang mendiamkan perampasan hutan. Bencana ini adalah cermin buram dari tata kelola negara yang masih mendewakan beton dan sawit di atas keselamatan warganya sendiri.
Jika negara tak mampu melindungi hutan, lantas, siapakah yang akan melindungi kita dari kemarahan hutan yang dipecundangi? Kita wajib menuntut pertanggungjawaban politik. Cukup sudah tidur dalam narasi takdir.
***
*) Oleh : Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |