TIMES JAKARTA, JAKARTA – Langkah tegas pemerintah untuk berani melakukan evaluasi cepat terkait tata kelola lingkungan nasional harus menjadi kunci utama dalam melindungi keberlanjutan masa depan kehidupan Indonesia.
Berdasarkan rilis resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terus menerus memperbarui data penting dari dampak bencana banjir bandang-tanah longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November 2025 lalu.
Dari identifikasi korban ini jumlah korban banjir Sumatera yang terbanyak ada di Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Kota Sibolga, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Pakpak Barat, Kota Padang Sidempuan, Deli Serdang, dan Nias (BPNB, 2025).
Di Sumatera Barat, ada banyak korban tersebar di Kabupaten Agam, kota Padang Panjang, kota Padang, Padang Pariaman, Tanah Datar, Pasaman Barat, Pasaman, Solok, Kota Solok, dan Pesisir Selatan.
Sementara untuk kawasan Provinsi Aceh korban banjir banyak ditemukan di Bener Meriah, Aceh Tengah, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tenggara, Aceh Utara, Aceh Timur, Lhokseumawe, Gayo Lues, Subulussalam, dan Nagan Raya (BPNB, 2025).
Banyaknya jumlah korban banjir Sumatera pada 2025 memberikan refleksi penting bagaimana melihat kontekstualisasi masalah bencana banjir ini dengan kausalitas dari sebab terjadinya bencana banjir.
Catatan ini penting menjadi penting untuk dicermati bersama karena menjadi bekal sekaligus cerminan dari masalah kronis yang terjadi dalam tata kelola lingkungan hidup di Indonesia, termasuk diantaranya tentang lemahnya kesadaran merawat lingkungan dan hutan.
Masalah deforestasi atau hilangnya tutupan hutan secara permanen merupakan maslaah klasik yang seolah belum mampu terselesaikan dengan baik di Indonesia. Deforestasi terjadi karena terjadinya peralihan lahan berhutan yang digunakan untuk penggunaan lain seperti untuk pertambangan, perkebunan, pertanian dan permukiman dengan aksi ppenebangan liar dan pembakaran hutan. Terjadinya perubahan ini jelas membawa dampak yang sangat besar bagi perubahan keseimbangan alam, lingkungan dan kebutuhan manusianya.
Namun, seolah tak pernah dari belajar dari sejarah terdahulu, masalah bencana banjir besar seolah tak kunjung dapat diselesaikan di Indonesia. Masifnya tekanan sistem politik dan ekonomi yang korup dimana hanya menganggap sumber daya alam (SDA), khususnya hutan yang secara mudah di eksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi membuat bencana banjir kerap dengan mudah terjadi.
Jika melihat kondisi sejarah lingkungan di Indonesia, gambaran asri alam Indonesia nyatanya masih dapat dirasakan sampai pada 1950-an dimana Indonesia masih memiliki hutan yang sangat hijau dan lebat.
Bahkan dalam penelusuran di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sudah hampir sekitar 40 persen dari luas hutan pada 1950 telah ditebang dalam waktu 50 tahun berikutnya. Jika ditotalkan, tutupan hutan di Indonesia turun dari 162 juta ha menjadi 98 juta ha. (ANRI, 1953). Namun, kian hari laju kehilangan hutan semakin meningkat setiap harinya.
Besarnya laju kehilangan hutan faktanya semakin meningkat Realitas yang terjadi pada tahun 1980-an menunjukkan jika masalah kehilangan hutan yang ada di Indonesia rata-rata sekitar 1 juta ha per tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha per tahun. Visual ini tergambarkan dalam tahun tahun pertama 1990-an.
Sejak tahun 1996, laju deforestasi justru meningkat menjadi menjadi rata-rata 2 juta ha per tahun. Situasi ini mudah dimengerti karena ekonomi era 1980-an masih sangat menitik beratkan pada perkembangan pertumbuhan ekonomi tinggi, industrialisasi, dan eksploitasi sumber daya alam sebagai motor pembangunan.
Melalui pendekatan ekonomi ini jelas mempengaruhi kondisi lingkungan. Pada era Soeharto, beberapa kebijakan kontroversial diantaranya terkait soal HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang diberikan kepada kroni politik dari lingkungan pemerintah pusat. Kebijakan ini menyisakan tanda tanya, karena setelah masa Reformasi tidak ada penyesuaian baru terkait tata kelola izin HPH.
Jika negara menjadikan dasar pembangunan atau developmentalisme sebagai prioritas utama konstekstual lingkungan alam dan masyarakat maka dengan model pendekatan ini jelas negara akan mengutamakan pencapaian aspek pertumbuhan ekonomi daripada pertimbangan ekologis.
Apalagi jika hal ini didukung oleh kekuatan sentralisasi keputusan kebijakan publik dari pemerintah pusat yang kiranya memberikan akses kemudahan para pengusaha dan swasta untuk dapat memegang kendali penuh perizinan terutama pada sektor produktif seperti kehutanan dan pertambangan tentu akan memberikan dampak tak biasa bagi pengendalian lingkungan hidup.
Sikap sikap peminggiran keterlibatan aktif dalam kelompok masyarakat lokal maka pengambilan keputusan umum menjadikan kebijakan dan regulasi perlindungan lingkungan kita menjadi semakin lemah.
Dalam catatan sejarah, sebenarnya ada beberapa regulasi hukum yang dapat menjadi acuan untuk keberlanjutan pelestarian lingkungan hidup seperti halnya Undang-Undang Pokok Lingkungan Hidup 1982 yang menjadi fondasi hukum lingkungan Indonesia akan tetapi ruang implementasinya ini masih lemah.
Ada juga kajian tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang masif diperkenalkan oleh pemerintah pusat pada 1986. Kajian ini sering dijadikan referensi utama dan standar kewajiban untuk setiap pelaksanaan proyek besar tetapi keberadaannya sering hanya bersifat formalitas, tidak transparan dan lebih parahnya seringkali mudah dimanipulasi oleh kepentingan politik dan bisnis.
Secara geografis, negara Indonesia sebenarnya merupakan kawasan hutan tropis dataran rendah Indonesia yang memiliki persediaan kayu dan keanekaragaman yang paling tinggi, adalah yang memiliki resiko paling tinggi.
Menariknya tipe-tipe hutan ini lazim ada di Kawasan Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi. Ini jelas memberi resiko jika mitigasi dalam pengendalian lingkungan tidak benar benar dijalankan secara baik di Indonesia.
Hampir setengah luas hutan di Indonesia sudah terfragmentasi oleh jalan dan kegiatan pembangunan perkebunan dan hutan tanaman industri. Hutan-hutan yang indah pada masa awal kemerdekaan Indonesia nyatanya sudah lebih dari 50 persen telah ditebang secara masif.
Pesatnya laju penurunan tutupan hutan di Indonesia ini jelas memberikan fakta rasional jika masalah pengendalian lingkungan hidup bukan sebuah hal main- main. Pada masa Soeharto saja, tutupan hutan di Indonesia sudah mengalami penurunan dari sebanyak 162 juta ha menjadi 98 juta ha. (ANRI, 1997)
Pada tahun 1980-an laju kehilangan hutan di Indonesia rata-rata sekitar 1 juta ha per tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha per tahun pada tahun-tahun pertama 1990-an. Sejak tahun 1996, laju deforestasi tampaknya meningkat lagi menjadi menjadi rata-rata 2 juta ha per tahun.
Berkaca dari realitas sejarah yang terjadi di masa lalu, tentu kita harus menyadari jika masalah mitigasi pengendalian lingkungan sudah sangat urgen untuk dihadirkan sebagai upaya rasional untuk meminimalisir segala macam dampak bencana dengan perencanaan tepat.
Kebutuhan rancangan mitigasi sekarang ini menjadi sangat urgen dilaksanakan. Dalam rencana, mitigasi tentu menjadi implementasi untuk mengurangi dampak bencana, baik struktural seperti pembuatan bangunan fisik dan non struktural dengan berdasarkan acuan perundang-undangan dan riset baku yang dilakukan.
Implementasi mitigasi juga harus terukur termasuk mampu dilakukan untuk segala jenis bencana, baik bencana alam maupun bencana non alam seperti bencana yang disebabkan perbuatan manusia. Dengan kata lain, penerapan mitigasi harus berpatokan dengan strategi tepat dan akurat, perlu dilakukan kajian risiko (risk assessment). Kegiatan mitigasi bencana harus dilakukan secara rutin dan berkelanjutan (sustainable).
Dari banyak pengalaman sejarah tampak jelas jika penanganan banjir harus selalu melibatkan pengendalian sistematis yang tak hanya bicara dalam mitigasi secara manusia tapi juga menciptakan sebuah rekayasa alam untuk dapat menjadi katalisator dalam hal pengendali banjir sebagai akibat kerusakan hutan.
Disinilah, sebagai masyarakat kita sangat berharap pemerintah mulai berani dan tegas untuk mendorong langkah pelestarian lingkungan berbasis berbasis masyarakat. Tekanan besar dampak bencana alam seperti banjir besar yang terjadi di kepulauan Sumatera ini kiranya dapat benar-benar diantisipasi jika masyarakat lokal diberikan peranan lebih agar mereka bersama sama dengan pemerintah agar diberikan kontribusi besar dalam langkah melestarikan alam dan lingkungan.
Diluar itu, tentu persoalan keseimbangan menjaga pengendalian lingkungan dan gerak pertumbuhan ekonomi harus diberikan dialogis yang humanis dan berbudaya supaya kantong kantong pertumbuhan ekonomi lokal tidak harus merusak pada ekosistem alam dan lingkungan hidup.
Misalnya saja, dengan cara menciptakan keterlibatan aktif pemerintah pusat dan daerah untuk memindahkan ruang produktif ekonomi lokal pada kawasan ekonomi perkotaan lama yang biasanya sudah jauh lingkungan hutan alam yang semestinya dirawat bersama.
Dengan perkembangan ekonomi digital yang sangat modern seperti sekarang tampaknya bukan sesuatu yang sulit jika pemerintah secara bijaksana mau mengubah pola pola pertumbuhan ekonomi lokal untuk dapat eksis dan berkembang pada sarana modernisasi zaman dan tidak lagi pada pembangunan ekonomi di kawasan hutan hutan lindung tropis yang kita jaga bersama.
***
*) Oleh : Haris Zaky Mubarak, MA., Analis, Sejarawan dan Kandidat Doktor Universitas Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |