TIMES JAKARTA, JAKARTA – Jawa Timur adalah salah satu provinsi dengan warisan agraria paling berharga dalam sejarah Indonesia. Sejak era kolonial, wilayah ini dikenal sebagai sentra penghasil komoditas perkebunan unggulan seperti manisnya gula dari Kediri, harum tembakau Besuki Na-Oost dari Jember, kopi pegunungan Ijen–Raung di Bondowoso, hingga wangi cengkeh dari lereng Trenggalek pernah menjadi primadona pasar dunia.
Kejayaan itu tercermin pada tahun 1930 ketika di Pulau Jawa beroperasi 179 pabrik gula dengan konsentrasi terbesar berada di Jawa Timur, menegaskan posisi provinsi ini sebagai tulang punggung industri perkebunan nasional pada masanya.
Memasuki paruh kedua abad ke-20, industrialisasi dan urbanisasi memang mendorong alih fungsi lahan produktif, sehingga peran perkebunan sempat tergerus secara struktural. Jati diri agraris Jawa Timur tak pernah benar-benar pudar, karena ditopang oleh kesuburan tanah vulkanik yang terus menjaga denyut perkebunan di berbagai kabupaten hingga kini.
Data mutakhir menunjukkan sektor perkebunan Jawa Timur masih menjadi pilar penting ekonomi daerah sekaligus penentu peta produksi nasional. Pada 2022, produksi gula kristal putih dari tebu mencapai sekitar 1,1 juta ton atau hampir 50 persen dari total nasional, sementara tembakau menembus sekitar 98 ribu ton atau 43,4 persen produksi Indonesia.
Di saat yang sama, Jawa Timur juga menghasilkan sekitar 69 ribu ton kopi, 33 ribu ton kakao, 10 ribu ton cengkeh, serta 228 ribu ton kelapa dari areal lebih dari 200 ribu hektare.
Capaian ini menegaskan peran strategis provinsi ini sebagai pemasok utama gula dan tembakau nasional, sekaligus empat besar produsen kopi dan kakao Indonesia, dengan komoditas rempah dan palma yang tetap menunjukkan kinerja stabil dari tahun ke tahun.
Keunggulan agraris Jawa Timur bertumpu pada keragaman komoditas andalan yang tersebar merata di berbagai wilayah. Dari wilayah barat hingga tapal kuda di ujung timur, tebu menjadi tulang punggung industri gula nasional.
Saat ini tercatat 32 pabrik gula masih beroperasi di 16 kabupaten/kota, antara lain Probolinggo, Pasuruan, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, Malang, Kediri, Madiun, Tulungagung, dan Sidoarjo.
Modernisasi budidaya turut mendongkrak produktivitas, tercermin dari rata-rata rendemen tebu yang kini mencapai sekitar 7,47 persen, indikasi meningkatnya efisiensi ekstraksi gula berkat kolaborasi petani, pabrik, dan pemerintah daerah. Dengan fondasi ini, Jawa Timur secara konsisten memasok lebih dari separuh produksi gula nasional, menegaskan posisinya sebagai jangkar ketahanan gula Indonesia.
Pada saat yang sama, tembakau Jawa Timur tetap berjaya sebagai komoditas kelas dunia. Madura dan Jember mempertahankan reputasinya sebagai penghasil tembakau unggulan, baik sebagai bahan baku rokok kretek maupun tembakau cerutu untuk ekspor.
Kekhasan tembakau Besuki dan Madura telah lama diakui dalam industri hasil tembakau global. Kini, peluang peningkatan nilai tambah semakin terbuka melalui diversifikasi produk, seperti pengembangan cerutu premium hingga ekstrak nikotin untuk kebutuhan farmasi.
Lonjakan produksi pada 2023 yang mencapai sekitar 135 ribu ton, lebih dari separuh produksi nasional, semakin menegaskan posisi Jawa Timur sebagai lumbung tembakau Indonesia yang tidak hanya kuat secara volume, tetapi juga unggul dari sisi mutu.
Dari dataran tinggi hingga wilayah pesisir, komoditas perkebunan lainnya menunjukkan dinamika yang tak kalah menjanjikan. Jawa Timur tengah memasuki masa keemasan baru kopi, ditandai naik daunnya robusta Dampit dari Malang yang mulai menembus pasar Amerika, serta pengakuan global terhadap arabika Java Ijen–Raung Bondowoso melalui sertifikat Indikasi Geografis.
Di sektor kakao, Kampung Coklat di Blitar menjadi contoh nyata hilirisasi terpadu dari hulu hingga hilir, yang bukan hanya menggerakkan pariwisata edukatif, tetapi juga membuka akses pasar ekspor bagi produk cokelat lokal.
Sementara itu, wilayah pesisir selatan dan Madura memperlihatkan kekuatan komoditas kelapa sebagai “tree of life” yang menopang ekonomi desa dari gula semut, minyak VCO, hingga briket arang, industri rumah tangga berbasis kelapa tumbuh berkat inovasi kemasan dan pemasaran digital. Seluruh dinamika ini menegaskan bahwa perkebunan Jawa Timur tidak hanya bertahan, tetapi terus berevolusi menuju sistem agribisnis bernilai tambah tinggi dan berkelanjutan.
Di tengah gempuran modernisasi, Jawa Timur berhasil menjaga napas panjang tradisi perkebunan sambil melompat ke fase inovasi melalui hilirisasi. Kunci masa depan sektor ini terletak pada kemampuan mengolah hasil pertanian hingga bernilai tambah tinggi, bukan sekadar menjual bahan mentah.
Dengan pasokan bahan baku yang melimpah, komoditas seperti kopi, kakao, kelapa, dan tebu memiliki potensi besar untuk diolah menjadi produk premium: mulai dari kopi siap saji, cokelat olahan, minyak kelapa murni (VCO), hingga bioetanol dan listrik biomassa berbasis tebu.
Hilirisasi memastikan nilai ekonomi tetap tinggal di daerah, memberi harga jual lebih adil bagi petani, membuka ruang tumbuh bagi UMKM pedesaan, serta menciptakan lapangan kerja baru yang memperkuat ekonomi lokal.
Sejumlah kisah sukses menunjukkan bahwa hilirisasi di Jawa Timur bukan sekadar wacana. Kampung Coklat di Blitar menjadi contoh model hulu–hilir terpadu yang bahkan dijuluki “Desa Pendulum Devisa” karena potensi ekspornya.
Di Bondowoso, kopi arabika Java Ijen–Raung yang mengantongi Indikasi Geografis mampu melambungkan harga jual dan membuka akses ekspor langsung bagi petani.
Sementara di Pacitan, industri rumah tangga olahan kelapa, dari gula semut, VCO, hingga briket arang, tumbuh pesat berkat inovasi kemasan dan pemasaran digital. Transformasi ini membuktikan bahwa ketika desa diberi akses teknologi, pasar, dan pendampingan, pertanian mampu naik kelas sebagai sumber pertumbuhan baru.
Dampak hilirisasi tidak hanya terasa secara ekonomi, tetapi juga sosial. Desa-desa sentra produksi kembali menjadi pusat pertumbuhan baru, petani beralih peran dari sekadar pemasok bahan mentah menjadi pelaku usaha dalam rantai industri bernilai tinggi. Efek berantainya terasa luas dengan tumbuhnya industri pengolahan skala kecil dan meningkatnya minat generasi muda untuk kembali Bertani.
Tantangan tentu masih membayangi, mulai dari alih fungsi lahan, perubahan iklim, hingga fluktuasi harga global. Semua itu menuntut penguatan riset varietas unggul, adopsi smart farming, stabilisasi harga, serta sinergi kebijakan pusat–daerah untuk mendorong investasi industri pengolahan dan regenerasi petani muda.
Dari sisi kinerja, capaian lima tahun terakhir mengonfirmasi kuatnya potensi perkebunan Jawa Timur. Pada 2022, subsektor ini mencatat nilai tambah bruto sekitar Rp 44,1 triliun atau 14,54 persen dari PDRB sektor pertanian provinsi.
Ekspor komoditas pertanian daerah ini didominasi hasil perkebunan dan juga sektor ini menyerap lebih dari 30 persen tenaga kerja Jawa Timur. Artinya, setiap keberhasilan hilirisasi langsung berdampak pada kesejahteraan jutaan warga desa. Dengan fondasi ini, Jawa Timur berada pada jalur strategis sebagai pilar ekonomi hijau nasional yang inklusif.
***
*) Oleh : Kuntoro Boga Andri, Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |