https://jakarta.times.co.id/
Opini

Tantangan Pers di Masa Mendatang

Senin, 01 Desember 2025 - 20:36
Tantangan Pers di Masa Mendatang Aji Setiawan, Alumni Universitas Islam Indonesia (UII), Mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia-Reformasi Korda Dista Yogyakarta 1999-2002.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Hingga Desember 2025, media di Indonesia yang telah terverifikasi oleh Dewan Pers. Data  terkini mengenai jumlah perusahaan pers yang terverifikasi melalui portal resminya. Anda dapat melihat rincian jumlah media berdasarkan status (terverifikasi administrasi dan faktual) serta jenisnya (cetak, siber, TV, radio) di Data Perusahaan Pers Dewan Pers ada sekitar 2336 media.. 

Awan kelabu menaungi kehidupan pers nasional sepanjang tahun 2025. Setelah dua tahun sebelumnya beberapa media cetak skala besar berhenti melayani pembaca, pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap insan pers di beberapa platform media lainnya juga terus terjadi. Sepanjang tahun 2023, 2024, dan 2025  sa tak kurang dari 1.200 karyawan perusahaan pers termasuk jurnalis harus menjalani PHK.

Iklim usaha industri memang tidak berada dalam kondisi yang menguntungkan. Di samping media massa tidak lagi menjadi sumber utama masyarakat dalam mencari berita, kue iklan nasional perusahaan pers pun sekitar 75% diambil alih oleh platform digital global dan media sosial. 

Hal ini menjadi tantangan berat bagi perusahaan di masa mendatang. Kondisi ini membuat Dewan Pers prihatin dan melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan ekosistem yang lebih baik bagi kehidupan masyarakat.

Aturan tentang tanggung jawab platform digital. Upaya itu membawa hasil dengan diterbitkannya Perpres Nomor 32/2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas pada 20 Februari 2024.

Perpres itu ditindaklanjuti Dewan Pers dengan membentuk (melalui proses seleksi terbuka) Komite Tanggung Jawab Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Tugas utama komite ini adalah mengawal pelaksanaan perpres tersebut agar terciptanya hubungan yang terbuka dan adil antara platform digital global dan perusahaan pers nasional, termasuk dalam sistem bagi hasil untuk perolehan iklan.

Tantangan terbesar pers masa sekarang dan mendatang  adalah digitalisasi. Fenomena disrupsi media, senja kala media cetak menjadi fenomena yang kini dihadapi media secara global. Dunia pers Indonesia menghadapi jalan berliku, seiring dengan yang dihadapi untuk menegakkan nilai-nilai profesionalisme dan kebebasan pers dan berekspresi. 

Tantangan yang dihadapi adalah konsekuensi yang tidak diinginkan terjadi, seperti mana konvergensi yang tidak akan menjadi sarana monopoli, sarana oligopoli, kartel, persaingan tidak sehat, dan konglomerasi pers. Persoalan pers terletak pada peraturan, agar konvergensi pers memberi manfaat sebesar-besarnya pada keluasan pers, bukan hanya membebani hak hidup pers.

Tantangan juga datang dari perkembangan media sosial. Media sosial lahir dan berkembang pesat karena bebeapa hal, perkembangan teknologi informasi, kebutuhan informasi yang cepat, mudah dan murah dan individual. 

Sejauhmana media sosial akan menjadi pesaing yang akan mematikan pers atau media tradisional. Sejauh mana media sosial dapat menjadi bagian dari pers yang bergairah, menjunjung tinggi azas-azas dan kelaziman pers.

Sedangkan dari eksternal, dominasi pemilik modal menimbulkan tantangan. Pertama, motif ekonomi. Rating menjadi ukuran keberhasilan suatu program seseorang, tidak diukur oleh seluruh program, melainkan semata-mata ukuran laba ekonomi yang akan diperoleh. 

Kedua, fungsi utama masyarakat tidak untuk memperoleh dan menyebarkan informasi seluas-luasnya kepada publik. Suatu informasi akan dimuat atau tidak dimuat semata-mata ditentukan oleh transaksi ekonomi dengan sumber berita, baik dengan cara yang dapat diterima oleh hukum maupun yang bertentangan dengan hukum.

Pesantnya digitalisasi, tak hanya melahirkan media digital, tetapi juga meluasnya penggunaan media sosial dan mudahnya penyebaran hoax dan disinformasi. Meluasnya hoax menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat dan membuat orang mulai memperbincangkan bahaya media sosial. Sebagian besar orang kemudian beralih ke media konvensional yang menghasilkan informasi lebih kredibel.

Tantangan dunia pers dalam menjembatani kepentingan rakyat dan pemerintah salah satunya adalah pers yang tidak netral. Sebagian media pers merupakan milik suatu golongan maka akan memihak ke golongan tersebut dan digunakan untuk mencapai tujuan dari golongan itu sendiri. Sedangkan membutuhkan masyarakat yang netral, berita yang benar dan tidak terlalu dibumbui. 

Pers yang cerdas akan mencerdaskan masyarakat luas. Namun, yang terjadi saat ini adalah media pers berisi pembodohan publik. meskipun sudah ada undang-undang yang mengatur tentang masyarakat, namun tetap saja terjadi penyimpangan.

Riset Nielsen, Consumer & Media View menunjukkan bahwa media-media konvensional masih tetap menjadi andalan publik di tengah-tengah melesatnya penetrasi digital. Baik itu koran, radio, maupun televisi.

Alquran, meski hanya memiliki daya penetrasi pada kurang dari 8% penduduk Indonesia, nyatanya merupakan sumber utama bagi mereka yang berasal dari kalangan yang lebih makmur. Meski frekuensi mereka menggunakan internet mencapai 86%, unsur kepercayaan terhadap koran tetap lebih besar karena kebutuhan akan informasi yang akurat hingga sumber referensi dapat terpenuhi karena analisis yang sangat detail hanya bisa ditemukan di media cetak.

Radio, dengan tingkat penetrasinya yang berkisar pada angka 37% dengan lama waktu mendengarkan rata-rata 129 menit per hari, memiliki daya tarik berbeda karena programnya dan Penyiarnya yang memiliki kekhasan tersendiri di antara lantunan musik yang diputar. Pendengar radio pun cenderung lebih percaya dengan iklan yang disiarkan oleh radio (54%) dibandingkan video online (48%).

Televisi sendiri masih bertengger sebagai pemuncak karena penetrasinya masih yang tertinggi di antara seluruh media, mencapai 96%. Terbatasnya infrastruktur dan pengetahuan teknologi terkini yang masih rendah pada sebagian lapisan masyarakat serta kenyamanan dengan konten yang disediakan oleh TV konvensional merupakan beberapa alasan utama yang membuatnya tetap paling terjangkau.

Menengok pada data-data tersebut, maka sebetulnya kekuatan media-media konvensional masih sangat besar meski arus digital juga terus menguat. Agar dapat menyesuaikan diri dengan era digital ini, maka media-media konvensional memang sudah selayaknya juga menambah/menguatkan platform-nya di ranah online agar dapat mengimbangi dinamika yang sedang dan akan berlangsung.

Tingkat kepercayaan terhadap koran, durasi radio, serta penetrasi televisi sesungguhnya dapat menjadi kombinasi yang ampuh untuk menimbulkan efek negatif yang muncul dari dunia maya. Hoaks dapat dikunci jika wartawan-wartawan media konvensional bersatu padu menangkalnya.

Saat ini, meski media-media online terus lahir dan sempat menembus 40.000-an media, pada tahun 2025 turun drastis menjadi 2336  saja.,Namun penguatan peran media-media konvensional yang telah merambah platform online sangatlah diperlukan. 

Masih banyak media online yang belum mampu berperan dengan baik dalam memberikan informasi yang jernih dan menjernihkan. Masih sangat sedikitnya jumlah media online yang belum lolos verifikasi dewan pers juga menjadi salah satu indikator.

Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya mengingatkan kembali kepada semua elemen pers agar dapat mendorong pelaksanaan ratifikasi Piagam Palembang (2010) semaksimal mungkin, terutama pada 4 hal: penegakan kode etik jurnalistik pada seluruh kegiatan jurnalistiknya, memenuhi standar perusahaan pers, standar perlindungan wartawan, dan standar kompetensi wartawan.

Dengan mendorong keempat hal tersebut, maka penulis yakin bahwa wartawan akan menjadi garda terdepan dalam menangkal berbagai efek negatif revolusi digital.

Kebebasan pers menjadi jalan bagi massa media yang menjadi jembatan kepentingan antara negara dan masyarakat. Kebebasan tersebut harus ditopang oleh independensi dan profesionalisme pers.

Inilah modal sosial bagi pers dalam menghadapi tantangan yang setiap saat hadir menguji kebebasan pers itu sendiri. Kebebasan pers di mata publik dimaknai sebagai ruang terbukanya bagi pers untuk bekerja secara profesional, mandiri, dan membawa amanat kepentingan publik.

Kebebasan pers menjadi dasar dari kerja-kerja pers seperti amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 2 UU ini menyatakan, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. 

Namun, kebebasan manusia tidak bisa berdiri sendiri. Ia perlu dipimpin oleh independensi dan profesionalisme dalam menjalankan tugas dan misinya, salah satunya adalah memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Inilah tantangan utama bagi kebebasan pers.

Bagi publik, independensi merupakan harga mati yang harus diperjuangkan pers terus-menerus. Kekerasan menjadi tantangan berat bagi kebebasan pers pasca reformasi. 

Sepanjang tahun 2025 sudah lebih dari 70 bahkan lebih  kasus kekerasan terhadap pekerja pers, angka yang cukup tinggi di banding tahun-tahun kemarinl. Artinya, tidak ada penurunan jumlah kasus secara signifikan dalam 10 tahun terakhir.

Dalam rentang waktu tersebut, rata-rata jumlah kasus kekerasan terhadap pekerja mencapai 50 kasus dalam setahun. Kekerasan fisik dan ancaman teror terhadap pekerja pers menjadi kasus yang paling banyak terjadi, bahkan kasus pembunuhan masih mewarnai dan menghantui perjalanan pers di negeri ini. Ini belum termasuk data kekerasan dan jerat hukum terkait kebebasan informasi. 

Pada tahun 2025, indeks kebebasan pers Indonesia berada di peringkat 127 di dunia dengan skor 44,13, turun dari peringkat 111 pada tahun sebelumnya. Peringkat ini menunjukkan penurunan, dan Indonesia berada di posisi ketujuh di ASEAN setelah Timor Leste, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Singapura. Kondisi kebebasan pers global juga memburuk secara keseluruhan. Tentu saja kondisi ini harus diakui jauh lebih baik jika dibandingkan era Orde Baru. 

Tantangan Media

Perubahan dan tantangan Perkembangan teknologi digital turut mengubah wajah konsumen media. Mereka menjadi lebih aktif dan interaktif dalam bermedia. Hasil jajak pendapat ditampilkan, frekuensi mengikuti pemberitaan di media cetak, media berita online, dan media sosial menunjukkan angka yang relatif sama. Rata-rata mengaku responden setiap hari mengikuti pemberitaan dari ketiga jenis media tersebut.

Hal ini menjadi gambaran gencarnya penetrasi dunia digital yang berhasil memecahkan minat publik untuk memasukkan berita dari jalur digital selain dari media cetak. Perubahan ini menciptakan publik yang semakin kritis, terbuka, dan juga aktif mempengaruhi proses jurnalisme itu sendiri. Pendek kata, jika sebelumnya jurnalisme satu arah, perlahan telah 'digempur' oleh jurnalisme dua arah dan interaktif.

Bisa jadi inilah yang oleh Jurgen Habermas (2001) disebut sebagai public space (ruang publik), komunikasi dilakukan dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Hal ini pada akhirnya menjadi tantangan kedua bagi kebebasan itu sendiri. 

Profesionalisme pers menjadi kata kunci dan syarat mutlak untuk menyajikan kredibilitas produk jurnalistik yang disuguhkan ke publik. Sebab, tidak jarang kemudian jika tanpa melakukan ini, pers akan menjadi sorotan dan tentu saja ancaman, terutama bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Berbeda dengan masa Orde Baru ketika tekanan berwujud sensor, pemberedelan, dan pelarangan, kini ancaman dan potensi tekanan lahir justru dari masyarakat itu sendiri. Tokoh pers Atmakusumah, dalam tulisannya pada Hari Pers Nasional Menyebutkan soal tekanan publik terhadap pers, terutama terkait apa yang disebut kriminalisasi pers. Pekerja pers masih terancam terjerat hukum terkait penggunaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dapat memenjarakan pekerja pers karena karya jurnalistiknya.

Beruntung lahir Surat Edaran Mahkamah Agung yang ditunjukan kepada para hakim di seluruh Indonesia berupa anjuran agar hakim meminta bantuan Dewan Pers untuk mengirimkan Saksi ahli pers ketika pengadilan memproses perkara pers. Hal ini sedikit mengurangi tekanan secara hukum pada pekerja pers. Namun, ini pun belum menjamin pasti pers aman dari jeratan hukum akibat karya jurnalistiknya.

Kemandirian pers dan kecepatan laju digital saat ini patut kita syukuri, hal ini merupakan sarana hakiki setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi guna meningkatkan dan mengembangkan saling kehidupan dan penghidupan manusia.

Kebebasan pers memang bukan lagi persoalan, namun sampai kapan pun pers tetaplah harus menjadi alat perjuangan. Jika dahulu pers berperan dalam menyatukan bangsa melawan penjajahan, maka hari ini pers harus berhadapan dengan dirinya sendiri dalam menahan lajunya, berkomitmen penuh untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menegakkan kebenaran demi hadirnya persatuan.

Pers jaman sekarang adalah pengawalan demokrasi, lebih berkelanjutan, partisipatif dalam pembangunan, berkualitas serta  lebih mensejahterakan jurnalis. 

Untuk itu pers harus semakin terbuka dan dewasa, terutama dalam menerima kritik, khususnya elemen televisi sebagai pemegang tampuk penetrasi tertinggi saat ini. Apa yang pers sajikan tentu saja akan mempengaruhi masyarakat luas. Jangan sampai pers kita hanyut dalam sajian pemberitaan yang justru menguatkan apa yang menjadi efek negatif dari revolusi digital dan membantu cacatnya demokrasi (flaw demokrasi).

Untuk itu juga menjadi penting agar pers tidak terkungkung dalam kepentingan yang sempit dan menjadi alat propaganda. Pemimpin pers yang berani dan berintegritas tinggi merupakan sebuah keniscayaan.

Prinsipnya dengan memegang prinsip teguh menutupi kedua sisi dan tekad untuk menghadirkan persatuan melalui berita yang benar dan tak membodohi, maka saya percaya revolusi digital ini justru dapat dimanfaatkan dengan baik untuk menyebarkan informasi penuh kebaikan, penuh maslahah dan  kejujuran serta menyejukan semua. 

Ada tiga hal yang membuat kebebasan pers di Indonesia tidak tumbuh. Pertama adalah sistem yang korup yang membuat lembaga negara tak berfungsi dengan baik

Kalau sistemnya korup di mana negara tidak akan menoleh kepentingan secara interest, kepentingan sesaat, tidak akan mungkin ada kebebasan pers. Dalam situasi seperti itu jangan diharapkan akan ada lahir regulasi-regulasi yang akan melindungi kebebasan pers.

Kedua, terkait kekerasan terhadap wartawan itu sangatemengaruhi kebebasan pers di Indonesia adalah iklim ketakutan. Wartawan sering menghadapi ancaman, dan itu tidak hanya berwujud ancaman fisik.

Dalam kasus di Indonesia yang kami lihat, perlu kesadaran bersama bahwa wartawan bekerja dilindungi undang-undang pers UU No 40 Tahun 1999. 

Ketiga, kemiskinan yang menjerat kalangan wartawan. Kebebasan pers di Indonesia, sulit tumbuh jika kesejahteraan wartawan memprihatinkan. Bahkan sampai jelang dini hari tadi saya berdiskusi dengan banyak media online,tentang kesulitan meraih ceruk iklan dan pasar media di saat Pandemi.

Mau tidak mau, media online, terbit gratis dan tidak bisa bekerja sama dengan partai politik untuk memuluskan kandidat calon bupati dalam Pilkada. Ingat, tugas jurnalis adalah berdasar fakta bukan uang yang bicara dan kuasa.

Jika gaji wartawan tidak cukup. Dia tidak akan punya waktu yang cukup banyak berkonsentrasi menghasilkan karya jurnalistik yang baik. Konsentrasinya akan terpecah dengan membuat berita yang bagus dengan makanan bagus di atas meja dengan ada uang untuk membayar sekolah anak-anaknya.

Jadi dalam situasi seperti itu, kemiskinan akan berpengaruh terhadap kebebasan manusia. Oleh karena itu mengapa kesejahteraan adalah tema yang penting jika kita berbicara tentang kebebasan pers.

Perlindungan kerja dan kesejahteraan bagi wartawan bisa dibangun melalui serikat kerja, media dan jaminan sosial tenaga kerja (BPJS) dalam iklim kerja, wartawan diasuransikan, itu menjamin hak-hak bekerja serta tentu saja wartawan harus mendapat upah yang cukup layak. (*)

***

*) Oleh : Aji Setiawan, Alumni Universitas Islam Indonesia (UII), Mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia-Reformasi Korda Dista Yogyakarta 1999-2002.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.